Pesan dari Mereka



Mentions Selamat malam.

Kali ini, gw ingin menyajikan sebuah cerita yang dulu, sempat booming di sekolah gw, mungkin bukan hanya sekolah gw, lebih tepatnya, semua sekolah di kota gw, tentang sebuah cerita yang masih terpatri dalam ingatan gw, tentang, kehadiran mereka yang nyata adanya!!

Gambar cover pesan dari mereka



Seperti yang gw katakan, cerita ini dulu, hampir di ketahui semua anak sekolah, mungkin ada pesan yang ingin di sampaikan dalam cerita ini, sehingga cerita ini sangat cepat tersebar, pesan itu adalah, “kami ada” , dan gw akan menceritakanya dari sudut pandang gw sebagai dia.


Dia, yang mengalami semuanya, sehingga pesan ini bisa sampai kepada kalian.


Dia, adalah gw, mereka memanggil gw dengan nama “Dayuh”


Dan darisini, mari kita mulai, memulai peran gw, sebagai Dayuh.


“Yuh, ayok muleh, mumpung rung bengi nemen” (Yuh, pulang yuk, mumpung belum larut) kata teman ngaji gw, Pandu.


Gw memandang ke langit, dari ubin langgar (surah) yang dingin, disana, langit sudah menghitam, dengan cepat, gw bereskan peralatan belajar gw, memasukkanya dalam kresek


Setelah mencari dimana sandal gw berada, dengan cekatan, gw menyusul Pandu, yang sudah berjalan cepat menelusuri jalan setapak persampingan sawah.


Susah memang tinggal di desa pelosok, untuk belajar pun, harus pergi ke balai desa, karena hanya disana, lampu terang benderang


Tidak seperti di rumah, listrik saja belum pasang, bukan cuma gw, namun, hampir semua rumah, jarang ada yang pasang, karena mahalnya biaya.


Namun, mata gw teralihkan pada Pandu, yang berjalan, semakin cepat, nyaris seperti berlari, gw pun, mengikutinya dengan langkah cepat juga


“Jok banter-banter tah, nek melaku” (jangan cepat-cepat tah kalau jalan) kata gw setengah berteriak.


Pandu masih berjalan cepat, seakan di kejar sesuatu. “Kebengen Yuh, ben cepet sampe omah, wedi aku nek liwat kebon kelopo” (kemalaman kita, biar cepat sampai rumah, takut aku, kalau lewat kebun kelapa)


“Kebon kelopo cak Sarmbon” (kebun kelapa milik pak Sarmbun!)


“Iyo” kata Pandu,


“Onok opo seh nggok kunu, kok Wedi” (memang ada apa sih disitu, kok takut) kata gw bingung.


“Cah iki, gak tau krungu tah” (anak ini, emang gak pernah dengar ya)


Pandu berhenti, ia melotot sembari berbisik di telinga gw, “wingi, onok sing liwat kunu bengi, trus, onok suoro nyelok-nyelok, eroh, teko ndi suoro iku?”(kemarin ada yg lewat situ, ada suara memanggil, tahu darimana suara itu terdengar?)


Gw cuma menggelengkan kepala.


“Tekan nduwor wit kelopo, eroh, opo sing nyelok” (dari atas pohon kelapa, tahu, apa yang memanggil) tanya Pandu,


Gw terdiam cukup lama, memproses ucapan Pandu, yang masih menunjukkan ekspresi ngeri.


“Opo kui” (memang apa?)


Pandu meminta gw mendekatkan telinga lebih dekat


“Hok nduwor onok” (diatas ada) Pandu terdiam lama, “Kemamang”


Gw mengerutkan dahi, mencerna ucapanya lagi. Tidak ada yang tidak mengenal nama itu.


Namun, bukan nama itu yang di takuti, jarang orang takut dengan kemamang, yang mereka takutkan bahkan bukan itu, melainkan, siapa pemilik kemamang itulah yang di takuti oleh orang.


“Onok Janggor ireng lak’an” (ada Janggor hitam dong)


Pandu mengangguk, “mangkane, ayo cepet” (makanya ayok cepat) ucap Pandu, setengah berlari, gw pun mengikutinya, sebenarnya, hal seperti ini sudah sering terdengar di desa ini, mulai dari Kemamang (binatang berwujud api), Janggor ireng yang menyerupai wujud manusia dengan kulit hitam, sampai kuntilanak bahkan pocong, namun gw, tidak pernah percaya akan hal itu, tidak! bahkan, sampai saat ini. Semua itu, hanya Mitos belaka.


Mitos yang di buat hanya agar anak-anak tidak bersikap nakal, mitos untuk membuat orang kemudian percaya dan menjadi takut, mitos, yang hanya di buat sebagai penghantar pesan dengan tujuan yang tidak di ketahui, namun, semua berubah, ketika gw meninggalkan desa ini.


Gw masih inget bagaimana Pandu mengantar gw sampai ke stasiunt, bagaimana gw mengucapkan salam perpisahan, dan kami tidak pernah bertemu lagi.


Di kota, bapak yang seorang PNS, mendapat rumah dinas baru, semua itu merubah ekonomi keluarga gw sejak bapak naik pangkat.


Gw, tentu harus siap dengan gaya hidup yang baru, punya sekolah baru, punya teman baru, bahkan pada hari itu, seolah menjadi titik dari semua hal baru yang gw miliki, dimana ibuk, melahirkan seorang anak perempuan, adik gw, Hanif.


Dihari pertama sekolah, gw banyak mendapatkan teman baru, namun yang paling dekat dengan gw, hanya, Tio dan Hendra, 2 anak yang kelak akan menjungkirbalikkan dunia gw, sampai gw gak tau lagi, bagaimana biar gw tetap sadar dengan dunia ini.


Siang itu, Tio dan Hendra, banyak membahas tentang cerita-cerita hantu, mulai dari penanggalan jawa (prambon) sampai ke cerita kuntilanak di jln, Taru**ne****, jujur, gw gak peduli dengan itu.


Semakin lama, cerita itu terus menerus terdengar di telinga gw, sampai, gw akhirnya muak, dan mengatakan, bahwa, gak ada yang namanya kuntilanak, gak ada yang namanya hantu, apalagi percaya pada penanggalan jawa (prambon) semua itu, hanya mitos.


Gw masih ingat, Tio dan Hendra tidak terima, jadi, dia menantang gw untuk membuktikan, gw putar pertanyaanya, bagaimana cara gw bisa membuktikanya, entah apa yang gw pikirkan waktu itu, setelah tiba-tiba, Tio dan Hendra mengatakan. “wani merjur gak?” (berani merjur gak?)


Gw gak paham apa itu merjur, sampai mereka mulai menceritakanya, dan gw cuma mengerutkan dahi mendengarnya.


“Merjur” adalah sebuah tindakan dimana kita, memeras jeruk nipis, di atas darah orang yang meninggal.


Terdengar lucu, namun gw, menerimanya. Toh, itu semua mitos belaka.


Gw tanya dimana bisa mendapatkan darah orang meninggal, dan tampak dua teman baru gw bingung, karena waktu itu, kami hanyalah anak SMP, yang masih terbatas dalam segala hal.


Gertakan gw, setidaknya cukup membuat 2 teman gw gak melanjutkan cerita mereka, tidak sampai saat itu.


Sekolah SMP gw, hanya berjarak beberapa meter dari pasar, tidak jauh darisana, lalu lalang kendaraan besar menjadi pemandangan yang biasa, seusai bel pulang sekolah, seperti biasa, satpam mengamankan jalan, tidak ada yang aneh dari semua itu, kemudian, terdengar suara orang menjerit


Jeritanya, membuat seisi pasar heboh dan kemudian tertuju kepadanya, yg tampak shock melihat pemandangan di depanya.


Seorang wanita, terlindas Truk tronton, dimana badanya tergilas, hingga kepala si perempuan memutar mengikuti roda, kejadian itu berlangsung sangat cepat, namun sialnya, gw melihat semuanya, melihat bagaimana wajah wanita itu, kepalanya tersangkut di sela, antara roda dan kap dalam Ban, rambut panjangnya, melilit bagian bawah mobil, dengan darah yang tercecer di sepanjang jalan. gw, shock. diam, mematung.


Selang beberapa lama, insiden itu menimbulkan kehebohan yang tak terkendali, semua anak SMP bahkan memenuhi jalan hanya untuk sekedar melihat pemandangan naas itu, dan entah bagaimana, Tio dan Hendra, menatap ke arah gw, sontak, gw tahu arti tatapan mereka.


Gw masih inget, bagaimana gw berdebad, bahwa memeras jeruk nipis di darah korban kecelakaan tadi sangat tidak pantas di lakukan, namun Tio dan Hendra hanya mengatakan bahwa ucapan gw gak lebih dari ucapan seorang yang takut, seorang pengcut yang tidak mau mengakui bhwa mereka itu ada


Dengan wajah gemas, gw hanya menjawab. “engkok bengi, mari maghrib, nang kene, tak enteni” (nanti malam, habis maghrib, saya tunggu kalian disini)


Tio dan Hendra, tampak puas mendengar jawaban gw.


Seperti yang seharusnya, gw datang sesuai janji pertemuan, di tangan, terdapat kantung kresek, berisikan jeruk yamg gw ambil dari dapur, Tio dan Hendra rupanya sudah menunggu, seakan bahwa pembuktianya, di lakukan, malam ini.


Berbekal, senter kecil, di jalanan lenggang itu, kami mulai mencari, korban sudah tidak ada, jalanan pun tampak sudah bersih, tidak ada bercak darah lagi disini, tidak sampai Tio, menunjuk sesuatu yang merah kehitaman, tanda bahwa ada beberapa bagian jalan, yang luput dari pembersihan. dengan cepat, mereka mulai mengiris jeruk itu.


Memberikanya pada gw, yg tiba-tiba mulai ragu.


Tatapan Tio dan Hendra adalah tatapan dari teman yang tidak akan pernah gw lupain bahkan hingga saat ini.


Gw memeras potongan jeruk nipis itu, meneteskanya pada darah kering itu, yang konon, mereka percayai, bahwa tetesan dari jeruk itu, akan membuat rasa sakit teramat sangat.


Sehingga mereka, kelak, akan mengejar, siapapun yang melakukanya.


Dan mulai darisini, semua akan di mulai.


“Mak, Dayuh mantok” (buk, Dayuh pulang)


Rumah dinas bapak, memang rumah tua, dan mungkin sudah di tinggali oleh banyak keluarga, setiap malam, teras memang di biarkan gelap, hanya di pintu, bapak memasang lampu kuning 5 watt, cahaya lampu itu tidak merubah banyak hal.


Gw masih mengetuk pintu, berusaha memanggil ibuk, mungkin ibuk sedang di kamar dengan Hanif, adik kecil gw yang masih sangat butuh perhatianya.


Tiba-tiba, sekelebat gw merasa, ada sosok yang melihat gw dari kebun, di samping pohon mangga. Sontak, rasa pensaran itu perlahan muncul.


Dengan perlahan, gw turun dari anak tangga ruma gw yang memang tinggi, maklum, rumah tua.


Hw berdiri tepat di depan rumah, menatap jauh, ke sebuah pohon mangga besar yang usianya mungkin puluhan tahun.


Gw yakin, sekelebat ada seseorang yg mengintip dari balik pohon itu.


Tidak mungkin bila itu adalah tetangga, apalagi tamu, jadi, siapa kalau bukan orang yg mungkin berniat jahat.


“Mbak” kata gw, entah bagaimana kalimat itu yang pertama kali meluncur, seakan dari sekelebat pemandangan itu, gw yakin, yang mengintip adalah sosok perempuan.


“Mbak” lagi, gw masih memanggil, karena tidak ada jawaban, maka gw mendekatinya.


Gw berusaha memutar sehingga bisa melihat keseluruhan apa yang ada di balik pohon itu, dan benar saja, ada seseorang disana, ia membelakangi gw, terlihat rambut panjang, lengkap, dengan gaun putihnya,


Gw gak pernah berpikiran aneh-aneh, yang jelas, gw yakin, itu orang yang entah mau apa, berdiri di bawah pohon mangga di depan rumah gw.


“Mbak” masih berusaha gw panggil, namun, ia hanya diam, mematung, seakan tidak mendengar panggilan gw, si pemilk rumah.


Namun, gak bisa gw pungkiri, bahwa kecurigaan selalu ada, dan entah, perasaan berdebar macam apa, dimana gw di tempatkan di posisi yang seakan gw terancam oleh sesuatu yang gak gw pahami.


Namun, situasi itu, berlangsung sangat cepat, terutama, saat, gw terperanjat, ketika seseorang, mencengkram bahu, dan memutar gw untuk bisa melihat, siapa yang melakukan itu.


“Mak” (buk) kata gw,


Gw bisa melihat wajahnya yang memendam marah. “tekan ndi, kok jek tas muleh ngene” (darimana kok baru pulang)


Mak menggendong Hanif yang entah bagaimana, ia belum juga tidur padahal hari sudah selarut ini.


“Sinau buk, nang griyane Hendra” (belajar buk, di rumah Hendra)


Meski, ada tatapan kecurigaan disana, namun akhirnya beliau percaya, sejenak, Mak menguapkan amarahnya, menyuruh gw agar membasuh kaki sebelum pergi tidur.


Gw berbalik, untuk melihat sosok asing itu, dan lenyap.


Satu yang gak akan gw lupain adalah, ucapan Mak malam itu.


“Loh, Hanif anak’e Emak kok gak nangis maneh, padahal mau nangis teros” (Loh, Anakku Hanif, kok sudah gak nangis lagi, padahal tadi nangis terus loh)


Tatapan Hanif, tertuju pada pohon Mangga itu.


“Wes isya’an rung, sembahyang sek, mari ngunu gur turu” (sudah sholat isya kamu, sholat dulu, baru tidur) kata Mak, setelah ia menutup pintu rumah.


“Nggih mak” (iya buk)


Meski malas, gw menuju kamar mandi, berwudlu, kemudian masuk ke dalam kamar.


Lampu sudah di matikan, gw menghempas sajadah, dan bersiap menunaikan kewajiban gw, sampai, deritan almari, selalu membuyarkan niat sholat gw.


Gw batalkan, dan mengganjalnya dengan kursi, namun, suara deritan itu, terdengar lagi, lagi, dan lagi, membuat gw merasa tidak sendiri.


Suasana malam itu, terasa asing, gw biasa membiarkan lampu di matikan, namun untuk kali ini, seperti itu menjadi hal yang menganggu.


gw pastikan, tidaka ada apapun, menyalakan lampu, dan melanjutkan sholat gw yang terganggu, namun, baru mengucap basmalah, lampu, tiba-tiba mati.


Meski matinya lampu, membuat gw terkejut, namun, gw memaksakan melanjutkan sholat, dan, terlihat bayangan seseorang, melewati jendela kamar gw.


Gw terhentak untuk sesaat, memejamkan mata, dan tetap memanjatkan bacaan sholat, apa yang gw lihat, apa yang gw rasakan, hanyalah segelintir perasaan paranoid, dari apa yg gw lakukan tadi, jadi, gw menolak untuk percaya, maka gw memaksakan sholat, tepat ketika gw bersujud, terasa, ada sosok asing, sedang asyik duduk, di atas ranjang tidur, tepat di samping gw sholat.


Perasaan tidak enak itu terus berlangsung sampai akhir ketika gw mengakhiri sholat gw, tidak ada siapapun disana. Hanya gw sendiri, yang masih tidak habis pikir, bagaimana bisa, gw, separanoid ini.


Puncak kegelisahan ini adalah, ketika, terbangun dari tidur, dimana hari masih sangat gelap, karena haus, gw pergi ke dapur untuk sekeder menghilangkan dahaga.


Manakala gw, melangkah keluar dari kamar, gw bisa mendengar, suara Hanif yang tengah tertawa. Kenapa ia masih belum tidur?.


Suaranya terdengar dari ruang tengah, kamar Mak dan Bapak, tepat di samping ruang tengah, gw mencoba ngeyakinin bahwa Mak dan Hanif masih sama-sama terjaga, mungkin inilah susahnya merawat bayi mungil yang masih membutuhkan perhatian lebih. namun, semakin lama, suara Hanif, semakin tipis, seakan ia, di bawa menjauh dari tempat gw berdiri,


Gw pun pergi, untuk mengecek apa yang terjadi, baru, beberapa langkah, gw terhenti saat melihat Hanif, terduduk tepat di antara ruang tengah dan ruang bagian dalam, Hanif duduk dengan wajah sumringah


Anehnya, tidak ada emak disana.


Bagaimana bayi kecil ini, bisa sampai kesini.


Mulai dari sini, gw akan ambil alih sudut pandang orang ketiga, karena ini bukan cerita pengalaman gw, gw sangat kesulitan menjadi seorang Dayuh apalagi gw bukan Dayuh.
Selain itu, cerita ini juga dulu di kenal bukan hanya Dayuh yang menjadi fokus cerita melainkan tokoh lain


Jadi, mari kita mulai ceritanya


“Tenan, gak onok kejadian aneh-aneh nang omahmu?” (serius, kamu gak ada kejadian yang aneh-aneh waktu di rumahmu?) Tanya Hendra, tatapanya menyelidik.


Dayuh hanya mengangguk, “gak onok” (gak ada)


Tio dan Hendra tampak tidak puas, namun, apa yang bisa mereka lakukan bila memang Dayuh tidak percaya dengan hal semacam itu.


“Engkok dulen nang omahmu, jarene omahmu iku omah Dinas yo, berarti omah lawas yo” (Nanti, maen ke rumahmu ya, katanya rumahmu itu rumah dinas ya)(berarti rumahmu pasti rumah tua ya) kata Tio,


Dayuh mencoba memahami ucapan Tio, meski Dayuh tahu, 2 temannya sedang merencakan sesuatu, namun bila rencana mereka untuk membuat Dayuh percaya dengan hal semacam itu, maka, itu tidak akan pernah berhasil, pikir Dayuh.


“Duleno” (maen saja) kata Dayuh.


Siang itu, 2 temannya benar-benar datang ke rumah Dayuh, mereka memarkirkan sepeda Wimcy**e di samping rumah dekat dengan pohon mangga, disamping pekarangan, sudah lama mereka berteman, namun, ini pertama kalinya mereka berkunjung ke rumah Dayuh


Rumah Dinas tua, yang sudah di kenal semua orang di kota ini dengan sebutan Pondok keD***sa* kota, karena hampir, semua rumah di lingkungan itu milik pegawai negeri, sangat mudah di kenali karena bangunanya serta perkarangan luasnya yang megah dengan sentuhan sejarah kental.


Tio dan Hendra tidak berhenti melihat- lihat apa yang ada di sana, mulai pagar besi tua berkarat di setiap rumah, pohon-pohon besar dengan banyak varian tumbuhan dan bunga, membuat mereka bertanya-tanya, apakah rumah msebesar ini tidak menyimpan hal menakutkan di dalamnya.


Terlebih bangunan rumah ini besar-besar dengan atap setinggi rumah kompeni peninggalan Belanda.


“Ayo melbu, emak wes masak” (ayo masuk, ibu tadi sudah masak) kata Dayuh.


Tio dan Hendra masuk, mereka langsung di sambut dekorasi unik yang tidak pernah mereka lihat dirumahnya, guci besar, dengan bingkai foto Dayuh dan keluarga serta foto-foto tua hitam putih yang kata Dayuh adalah property pemilik rumah dulu yang tidak di bawa.


Beberapa milik pemerintah kota yang memang tidak boleh di ambil atau di buang.


Dayuh mengajak Tio dan Hendra pergi ke dapur, mereka melewati lorong rumah yang memang besar dan panjang dengan daun pintu di sana-sini, sebelum melewati kamar Dayuh, mereka melewati kamar orang tuanya.


Saat itu, Hendra tanpa sengaja melirik daun pintu yang terbuka, disana, ia melihat seorang wanita membelakanginya, tampak asyik dengan menyisir rambutnya yang hitam dan panjang. Ia duduk bersila, hanya menampilkan visual dari gaun putih yang tampak familiar. Beberapa saat ia melongo, ada segaris ingatan seperti Hendra pernah melihatnya namun samar-samar ia melupakanya, maksud hati ingin bertanya namun keinginan itu meluap begitu saja.


Di dapur, mereka melahap, sambal tomat dengan jeruk nipis, berlaukkan tahu dan tempe, cukup menghilangkan lapar mereka.


“Ibu nang ndi Yuh” (Ibuk kemana) Tanya Tio.
“emak” kata Dayuh, “paling nang tonggo, mari iki lak muleh” (paling di rumah tetangga, sebentar lagi juga akan pulang)


“Yuh, awakmu kok gak ngomong nek nduwe mbak” (Yuh, kok gak bilang, kalau kamu punya kakak perempuan) Tanya Hendra.


Dayuh terdiam sebelum mencoba mencerna kalimat Hendra, sebelum mengatakan. “Gak nduwe aku, aku mbarep” (aku tidak punya kok, kan aku anak pertama)


“Loh, teros, sing nang kamar ngarep sopo, nduwe Bibik ta” (lah terus yang dikamar depan siapa, PRT kamu kah?)


“Bibik?” Dayuh menggeleng, “gak onok Bibik kok, nang kene mek onok bapak, emak, Hanif” (disini aku tinggal sama ayah, ibu, Hanif) “kamar ngarep ndi,” (kamar depan mana?)


“Sing nggok ngarep mau loh?” (yang kamar depan itu loh?) Hendra memberitahu.


“iku kamar wong tuoku,” (itu kamar orang tuaku)


“Tapi, aku mau ndelok onok wong wedok surian” (tapi aku lihat ada perempuan nyisir rambut disana tadi) Hendra mencoba meyakinkan.


Ucapan Hendra membuat Dayuh kebingungan, bila itu yang Hendra inginkan, membuat takut dirinya dengan hal semacam itu, tidak akan menggoyahkan Dayuh, maka saat itu juga Dayuh mengajak Hendra dan Tio memeriksanya, ketika sampai di kamar orang tua Dayuh, Dayuh membuka pintu itu.


Perlahan, ketika pintu berderit terbuka, mereka, melihat siapa yang di maksud Hendra tadi.


Kosong.


Tidak ada siapapun disana. Hanya kamar berisikan ranjang yang di tutup tirai, dengan daun jendela terbuka, selain itu, tidak ada apapun kecuali perabotan yang umumnya ada di kamar.


“ojok ngunu tah, guyon yo guyon, tapi ojok kenemenen” (jangan begitu tah, kalau bercanda jangan keterlaluan) kata Dayuh, mencoba menyampaikan ketidaksukaanya dengan apa yang Hendra katakan, Hendra hanya diam, sesekali ia melirik Tio yang sepertinya percaya dengan ucapanya.


Namun, karena Dayuh sudah membuktikan ucapanya, membuat Hendra tidak berkutik, siang itu, mereka kemudian masuk ke dalam kamar Dayuh, mencoba melupakan apa yang baru saja terjadi.


Sesaat setelah mereka masuk ke dalam kamar Dayuh, Tio dan Hendra berpandangan lagi, menatap satu sama lain, sebelum mengatakanya. “gur, wani men awakmu Yuh, gak salah tah bayangmu iki” (berani sekali kamu Yuh, apa gak salah penempatan ranjangmu ini) ucap Tio.


“Maksudmu” kata Dayuh penasaran.


“iki, bayangmu, ndas nang lor, sikil nang kidul, wes koyok wong mati ae, gak wedih ta awakmu di tekani demit” (ini, tempat tidurmu, kepala di utara, kaki di selatan, udah seperti orang yang mau di kuburkan, apa gak takut di datangi setan)


“Wes talah, ojok percoyo mitos ngunu tah” (sudahlah, jangan percaya hal begituan lagi dong)


Hendra dan Tio benar-benar sudah tidak bisa mengatakan apapun, Dayuh benar benar Dayuh, seperti namanya, ia lebih keras dari batu kali (sungai)


Umumnya, di jawa, terutama jawa timur, menghindari posisi tidur untuk tidak menyerupai mayit (jenazah) dimana posisi itu dapat mendatangkan kesialan, yang mungkin ikut datang, selain itu, posisi tersebut di anggap tidak lazhim karena di percaya memanggil mereka yang sudah meninggal.


Sepanjang siang mereka mengobrol kesana-kemari, sembari bercerita apapun, sampai, tiba-tiba Tio tercetus sebuah ide untuk memainkan sebuah permainan yang dulu menjadi semacam euforia menguji mental anak seumuran mereka.


“Jelangkung pensil” begitu, anak-anak dulu memanggilnya.


Meski awalnya menolak, Dayuh tidak bisa membuat kedua temannya menghentikan permainan konyol itu, bahkan sebegitu terkenalnya permainan itu sampai Dayuh tahu cara memainkanya yang nyaris seperti bagaimana jelangkung di mainkan. Meski dengan beberapa media yang berbeda.


Hendra sudah selesai menulis huruf abjad A-Z menuliskan angka 0-9, dan terakhir, dengan sentuhan gambar titik awal pensil diletakkan dimedia kertas.


Tio memastikan pintu dan jendela ditutup, sementara Dayuh, memperhatikan kedua temannya seantuasias itu dengan hal ini lagi.


Hendra memanggil Dayuh dan Tio, meminta mereka memindahkan pensil dari satu tangan ke tangan yg lain, disana, mereka diminta membaca salah satu kalimat yg tentu banyak di kenal oleh orang. memanggil mereka yg ada di sekitar kamar itu.


“Jailangkung jailangset, disini ada pesta, pesta kecil-kecilan, jailangkung jailangset disini ada pesta, pesta kecil-kecilan, datang tak di jemput, pulang tak di antar, jailangkung jailangset!!”


Meski menganggu, Dayuh merasakan ada sentuhan mistis disaat ia mengucapkan itu.


Seperti intensitas seakan didalam kamar itu, tidak lagi hanya ada mereka bertiga, anehnya, pensil berhenti tepat di tangan Hendra, sehingga, Dayuh dan Tio’lah yang berhak mengajukan pertanyaan pada Hendra, disana, ia akan berpura-pura menjadi tangan kanan dari mereka yg bersedia.


“ayo, takok’o,” (ayo silahkan bertanya) kata Hendra, yang sudah menempelkan pensil pada media kertas itu, peraturanya adalah, Hendra tidak boleh mengangkat pensil itu dari permukaan kertas, ia hanya boleh menggores kertas itu dengan coretan dan membentuk kalimat yang dipertanyakan.


Meski Dayuh merasa Hendra berpura-pura berperan seakan ia benar-benar di gerakkan oleh kekuatan tak terlihat, namun, cara Hendra memainkan peranannya benar-benar luar biasa. Tangannya gemetar, seakan menunggu pertanyaan.


“Nuwun sewu,” (permisi) kata Tio, “Apakah disini ada yang bersedia bermain dengan kami”


Hendra menatap Tio, dan dengan perlahan, tanganya bergerak, menggores pensil dan melingkari satu kalimat dari 2 kalimat yang tersedia di media kertas.


“iya”


Dayuh hanya memperhatikan, ia masih belum bisa percaya sepenuhnya, apakah harus sejauh ini, bagi kedua temannya untuk membuat ia harus percaya dengan hal semacam ini, namun, tatapan Hendra seakan ia benar-benar serius dengan permainan ini.


“Asmanipun sinten?” (nama anda siapa?) tanya Tio, Hendra kemudian menggerakkan pensil, ia melingkari beberapa huruf membentuk sebuah nama terang.


“Sulastri”


Dayuh yang melihat itu, tampak curiga, seakan Tio dan Hendra sudah merencanakannya.


“Bagaimana anda bisa meninggal?” tanya Tio kembali, meski menolak namun Dayuh penasaran dengan gerak tangan Hendra, ia mengikuti setiap huruf yang dilingkari oleh Hendra, menyusunnya sehingga membentuk sebuah kalimat.


“Kecelakaan”


“Anda meninggal karena kecelakaan?”


Hendra menjawab “iya”


Dayuh yang mulai tertarik kemudian mencoba mengajukan pertanyaan itu.


“kecelakaan seperti apa yang menimpa anda?”


dengan cepat Hendra melingkari huruf-hurug tersebut, dan itu membuat Tio tampak menegang saat melihatnya.


Anehnya, ekspresi Hendra yang awalnya tenang, tiba-tiba menjadi pucat pasi, seakan ia tidak tahu apa yang terjadi.


“digilas sebuah truk,”


Dalam sesaat, serangan rasa sakit di kepala Dayuh tiba-tiba terasa, seakan ia salah membaca kalimat itu.


sontak Tio, langsung menghentikan permainan dengan menghempaskan pensil itu dari tangan Hendra sembari berujar dengan nada marah.


“guyonmu kelewat batas Hend!!” (caramu bercanda keterlaluan!!)


Hendra yang sedari tadi diam, kemudian berujar dengan nada terbata-bata. “guguk aku” (Bukan aku)


Siang itu di akhiri dengan Dayuh, yang tiba-tiba menjadi diam, seakan, apa yang barusaja ia lalui, tampak nyata, meski Tio sudah menjelaskan awalnya itu hanya permainan iseng belaka.


Ada kejadian menarik, saat Dayuh membuka jendela, dari rumah tetangganya, ia melihat ada yang mengintip dirinya dari balik sebuah tirai di jendela, seakan, ia menunggu moment ketika Dayuh memergokinya. sebelum, sosok itu lenyap kembali dari balik tirai itu.


Malam tiba lebih cepat, Dayuh, mengurung diri di dalam kamar, ia masih kepikiran permainan teman-temannya, meski akhirnya mereka mengaku hanya iseng belaka, namun, nama dan bagaimana pertanyaan Dayuh seakan improve dari Hendra, namun, yang menarik pikiran Dayuh adalah sosok pengintip


Seakan sosok itu membuat pikiran Dayuh melayang jauh. Di tengah pikirannya yg berkecambuk, tiba-tiba, terdengar suara pintu di ketuk.


“Tok tok tok”


“Yuh, keluar nak, mak minta tolong ya”


Dayuh membuka pintu, dilihatnya sosok ibunya, ia tersenyum, sebelum menyampaikan keperluannya


“Mak mau ke rumah tetangga sebentar, si Hanif sedang tidur di kamar, temenin sebentar ya, bisa kan nak?” ucap Mak, sebelum melangkah pergi, Dayuhpun masuk ke kamar, lalu, menutup pintu


Dayuh melihat Hanif, adik perempuanya, ia tengah tertidur pulas di atas ranjang orang tuanya. Bapak belum pulang, mungkin lembur, jadi, di rumah, hanya ada Dayuh dan Hanif.


Untuk membuang rasa bosannya, Dayuh kembali ke kamar, berniat mengambil buku pelajarannya.


Sesaat, sebelum menutup pintu kamar orang tuanya, Dayuh sekilas merasa ada seseorang, ia melintas begitu cepat, samar-samar, membuat bulukuduk berdiri, namun Dayuh menepisnya, cepat-cepat ia ke kamarnya sendiri, mengambil bukunnya, lalu kembali ke kamar orang tuannya.


Namun, aneh. Manakala Dayuh menyentuh handle pintu kamar orang tuanya yang seharusnya tidak terkunci, tiba-tiba terkunci sendiri, seakan ada yang sengaja mengunci kamar orang tuannya.


“Mak, Mak sudah pulang” teriak Dayuh, berharap, ibunya lah yang sudah mengunci pintunnya.


Namun, hening.


Tidak ada jawaban apapun dari dalam kamar, Dayuh masih mengetuk pintu, lalu, ia ingat, Hanif sedang tidur, maka satu-satunya yg Dayuh pikirkan adalah jendela kamar Mak, meski terakhir Dayuh melihatnya tertutup, mungkin ia bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi.


Dayuh keluar, ia harus memutar untuk sampai di jendela kamar Mak, yg tepat di samping petilasan rumah tetangganya.


Gelap sekali, karena lokasinya yang di penuhi tumbuhan serta pohon besar, tidak ada cahaya yg cukup untuk menyinari tempat itu. Dayuh, mulai memanjat.


Ia mencari pijakan kuat untuk kakinya, sembari menahan keseimbangan, Dayuh mencengkram jendela kayu di antara sela tempat angin masuk.


Disana, Dayuh bisa melihat isi kamar Mak, meski tertutup tirai bening, Dayuh masih dapat melihatnya dengan jelas.


ia, melihat Hanif.


Hanif terbangun.


Ia tertawa layaknya bayi kecil yang sedang dikudang (di hibur) , tangan Hanif berusaha entah meraih apa, suara cekikikan Hanif membuat Dayuh bingung, sementara di tempat lain, Dayuh tidak melihat satupun orang lain disana.


Sampai, sudut mata Dayu melihatnya


di meja rias milik Mak, ada sebuah cermin, disana dari pantulan cermin, tepat di depan Dayuh, ada sosok berdiri, seorang perempuan dengan gaun putih, berdiri melihat Hanif, wajahnya tertutup rambut panjang


Ia hanya berdiri saja disana, sebelum, kepalanya berputar 180 derajat


hal itu membuat Dayuh tersentak sebelum kehilangan keseimbanganya, ia jatuh terjerembab, seakan tidak percaya atas apa yg ia lihat, sontak Dayuh langsung berlari, ia harus masuk ke kamar, firasatnya tidak enak dengan adiknya.


Tetapi, belum masuk ke rumah, Dayuh melihat Mak.


“Kamu darimana Yuh, kan emak suruh jaga Hanif” tanya emak, wajahnya bingung,


“Hanif mak, ada orang di kamar Hanif” kata Dayuh, ucapan Dayuh membuat emak panik, mereka langsung menuju kamar, belum sempat Dayuh mengatakan pintu terkunci, tapi, pintu terbuka setelah emak membukanya


Dayuh berjalan masuk ke kamar, tubuhnya masih gemetar bila mengingat apa yg barusaja menimpanya, ia melihat Emak menggendong Hanif yang tengah tertidur pulas.


Emak pun bertanya kepada Dayuh “mana? gak ada siapapun disini. kamu alasan ya biar emak gak marah?”


Dayuh hanya menunduk


Dayuh kembali ke kamar, masih terbayang jelas, sosok itu, meski hanya dari pantulan cermin meja rias, ia yakin matanya tidak salah menangkapnya.


Meski sulit, Dayuh memejamkan matanya, ia larut dalam mimpiya, sebelum pagi menyambut dari tidur lelapnya.


“Kenapa Yuh, diem saja daritadi” kata Hendra di sekolah.


“Gak papa” Dayuh masih bingung, haruskah ia cerita kejadian semalam. “waktu kamu pura pura kemarin, itu beneran kamu sengaja nulis kalau meninggalnya sama kaya mbak yang kita kerjain itu dan namanya juga”


Hendra, mengangguk.


“Sulastri” dapat darimana nama itu?” tanya Dayuh, Hendra hanya menatap Dayuh, ia melihat sorot mata berubah seakan penasaran.


“Gak tau, tiba tiba nyebut nama itu saja, gak ada rencana juga pakai nama itu” “kenapa memang?” tanya Hendra.


“Gak papa” ucap Dayuh, sebelum pergi


Dayuh baru pulang dari sekolah, ia mencari dimana Emak dan Hanif, namun, tak ditemukan juga keberadaan mereka, manakala Dayuh baru saja merebahkan tubuhnya, ia, mendengar seseorang mengetuk pintunya.


“tok tok tok”


Dayuh menunggu, bila itu emak, pasti ia akan memanggilnya


Namun, tak ada suara panggilan apapun, hanya ketukan pintu secara terus menerus, membuat Dayuh kehilangan kesabaran, “Mak?” Hening.


Pintu terus menerus di ketok, seakan sengaja ingin membuat Dayuh marah, dengan gusar, Dayuh membuka pintu kamarnya.


Sepi. Tidak ada orang disini.


Takut bercampur bingung mulai Dayuh rasakan, maka dengan lelah ia menuju ranjang tidurnya, membiarkan pintunya terbuka begitu saja, agar ia tahu, siapa yang sedang mengerjainya, namun, baru saja Dayuh merebahkan badannya, ia tanpa sengaja menemukan berhelai-helai rambut panjang.


Tersebar di atas ranjangnya, seakan ada yang baru saja meniduri ranjangnya.


Tidak ada yang punya rambut sepanjang ini, rambut emak pun tidak sepanjang ini,


Dayuh melihatnya dengan seksama, perasaanya semakin tidak enak, sebelum, ia melihat noda bercak darah di bantalnya,


Dayuh mulai bimbang.


Apakah ada hubunganya dengan perbuatanya tempo hari, siang itu juga, Dayuh pergi ke rumah Hendra.


Kebetulan, Hendra ada di rumah, melihat Dayuh datang dengan sepedanya, membuat Hendra penasaran, Dayuh menunjukkan hasil temuannya pun dengan pengalamanya kemarin malam.


Hendra yang mendengarnya awalnya tidak percaya seakan Dayuh sedang berusaha mengerjainya, namun, setelah ia melihat rambut yang Dayuh tunjukkan, Hendra mengatakan “apa ini rambut mbak yg meninggal itu”


“Iya kan?” “trus gimana?” Dayuh bertanya, kini ia mulai bingung dengan prinsipnya sendiri.


“Aku gak tahu Yuh, tak kira ini juga cuma mitos, tapi setahuku, dia pasti ngikutin kamu”


“Ngikutin bagaimana?” Dayuh bertanya


“Ya, kaya semacam marah sama kamu, jadi dia terus gangguin kamu, tapi aneh loh, apa dia gak ngikutin kamu sebenarnya, tapi menetap gitu di rumahmu, toh kamu cuma merasa dia ada kalau di rumahmu kan” Hendra tiba-tiba teringat,


“Inget kemarin waktu aku tanya apa kamu punya mbak, apa itu dia, dan ngapain dia di kamar orang tuamu”


Dayuh terdiam, berpikir, lalu mengucap “Hanif”


Saat itu juga, Dayuh pergi, ia sekarang tahu, sesuatu, tapi bagaimana ia akan mengatakanya


Di rumah, Dayuh melihat emak, sedang menimang Hanif di teras rumah, ia tidak tahu bagaimana akan mengatakanya pada emak atas apa yang ia lakukan.


Tepat ketika Dayuh duduk, dan Emak melihatnya, tiba-tiba emak mengatakan sesuatu kepada Dayuh.


“adikmu ini, tiap tak bawa ke rumah tetangga, selalu nangis, tapi begitu di rumah, gak nangis lagi”


Dayuh yang mendengarnya, tidak tahu harus berkomentar apa, sampai, seorang datang dan bertamu di rumahnya, rupanya, tetangga tempat Emak biasa datang, kini ganti berkunjung ke rumah Dayuh


Emak langsung menyambutnya, mengenalkannya kepada Dayuh, ia adalah seorang wanita paruh baya, pensiunan yang sudah lama tinggal di samping rumah Dayuh, selama ini, beliau lebih sering menghabiskan waktu di rumah karena masalah kakinya yang sudah tidak sanggup berjalan jauh, namun, hari ini, ia sengaja datang, karena emak yang mengundangnya.


“Ini yang namanya Dayuh, saya sering lihat kamu loh nak, sebenarnya ingin tak sapa, tapi takut, kamu kan tidak kenal sama bu dhe”


Wanita itu ramah, wajahnya keibuan, ia duduk di samping Dayuh, sebelum emak pergi dapur untuk mengambil minum.


Saat tinggal mereka berdua, Dayuh merasa sungkan, sekarang, ia yakin, sosok yang melihatnya tempo hari dari jendelanya pasti adalah dia, tetapi, Dayuh tidak ingin membicarakan itu, sebelum,


“Kamu takut, sama mbak Lastri yang sekarang mendiami kamarmu?”


Kaget. Dayuh tampak terkejut mendengarnya.


“Siapa bu dhe”


“Mbak Lastri” kata wanita itu sembari tersenyum tulus.


“Siapa mbak Lastri?” tanya Dayuh


“Harusnya bu dhe yang tanya, kok bisa dia jauh-jauh cuma ingin nyamperin kamu”


Obrolan mereka terputus, manakala emak muncul, membuat Dayuh bertanya-tanya, siapa wanita ini dan apa maksud ucapannya.


Wanita itu menghabiskan sepanjang siang mengobrol dengan emak, sesekali ia tampak gemas melihat Hanif, namun, ada sorot mata dimana terkadang, si wanita itu mencuri pandang pada Dayuh, seakan ucapannya berhasil membuatnya kebingungan.


“Kalau ada waktu maen lagi ya” kata si wanita pada emak, kemudian, ia melihat Dayuh yang daritadi hanya diam saja.


“Dayuh juga kalau mau maen ke rumah bu dhe, main saja, mungkin Dayuh mau tanya-tanya sesuatu, rumah bu dhe terbuka lebar untuk Dayuh ya”


Si wanita itu, pergi.


Bingung, saat matahari sudah terbenam, Dayuh termenung menatap rumah bu dhe. Apa iya, untuk tahu ia harus kesana, namun ucapanya siang tadi sudah cukup membuat Dayuh paranoid dengan kamarnya sendiri.


“Mbak Lastri” dayuh mengulang nama itu.


Tengah malam, Dayuh terbangun, ia terkaget mendengar suara Hanif, dengan mimik wajah pucat, Dayuh mencoba memasang telinganya, benar, itu Hanif, suara tawa cekikikanya terdengar dari luar kamar.


Dengan pelan, Dayuh melangkah keluar untuk memeriksanya.


Baru saja, Dayuh membuka pintu, sebuah bayangan di ruang tamu terlihat, sosok yang tengah wara-wiri seperti tengah menimang bayi.


Selain itu, sunyi sepi suasana itu mendukung, membuat Dayuh mudah mendengar suara Hanif yang tengah tertawa, selain itu, ada suara lain, suara lirih


Dayuh terpaku, bersembunyi di belakang tirai di samping kamar orang tuanya, sekat antara ruang tamu dan lorong rumah.


Dayuh melihat sosok, bertelanjang kaki, membelakanginya dan sedang menimang-nimang Hanif, namun, tepat ketika Dayuh mengamatinya, sosok itu, berhenti bergerak.


Ia kemudian membungkuk perlahan, menurunkan Hanif, lalu kembali berdiri dengan tetap membelakangi Dayuh yang penasaran.


Dari balik sosok itu, Hanif merangkak mendekati Dayuh, suaranya beriak, Dayuh langsung menyambutnya, sebelum sosok itu lenyap, hilang begitu saja, tetapi


Aroma Hanif berbeda, bukan aroma bedak bayi yang emak biasanya berikan, melainkan aroma bangkai dari darah yang campur aduk dengan bebauan anyir yang memuakkan


Ketika Dayuh, melihat Hanif yang ia peluk dengan kedua matanya, Dayuh memekik berteriak, saat sosok kecil itu tertawa tanpa wajah


Bapak dan emak keluar, wajahnya kaget melihat Dayuh yang terduduk dengan wajah pucat pasi.


“Kamu kenapa Yuh” tanya bapak,


Di belakang emak, Dayuh melihat sosok dari wanita yang ia lihat tergilas remuk di dalam truk, tengah melihatnya tersenyum ke arahnya, sebelum melangkah pergi.


Sepulang dari sekolah, Dayuh berhenti di depan sebuah rumah, dari luar, ia masih ragu, namun tekat yang sudah Dayuh kumpulkan sejak tadi kini menyeruak seakan ia memang harus menemui wanita yang akrab ia panggil bu dhe, benar saja, baru saja di bicarakan, bu dhe keluar, menyambutnya.


“Saya ambilkan minum dulu ya, pasti banyak yang mau kamu ceritakan” kata bu dhe, ia melangkah masuk kedalam


Dayuh melihat rumah bu dhe, yang berbeda dari perkiraanya, ada banyak sekali foto terpampang disana, namun, dari sekian banyak benda yang ada disini, Dayuh lebih tertarik terhadap mesin jahit yg ada didepannya.


Mungkin setelah pensiun, bu dhe membuka usaha jahit ini, tidak ada yang spesial selain itu, sampai akhirnya bu dhe keluar dengan membawa 2 gelas teh, dan beberapa kaleng kue.


“Mau cerita darimana dulu, bu dhe siap dengarkan” kata bu dhe


“Saya, mau cerita tentang mbak Lastri bu dhe”


Wajah bu dhe tampak tertarik, seakan ia mendengarkan dengan serius, meski ada ekspresi geli di wajahnya seakan itu bukan hal yang mengejutkan, bu dhe langsung mengatakannya.


“Kamu apakan dia, kok bisa sampai mengikuti kamu”


“Mengikuti bagaimana bu dhe?” tanya Dayuh.


“Itu, dia sekarang berdiri di belakang kamu” ucap bu dhe sembari menunjuk Dayuh yang tengah duduk di sofa.


“Saya cuma bercanda” kata bu dhe lagi, mencoba mencairkan suasana, Dayuh sudah tidak bisa bicara apa-apa lagi.


“Jadi, kenakalan macam apa yang sudah kamu lakukan sama mbak Lastri ini, sampai ia tidak ikhlas untuk pergi, dan malah mengikuti Hanif”


Dayuh pun menceritakan semua, mulai dari kronologi kecelakaan sampai malam ketika ia melakukan tindakan gegabah itu hanya karena termakan ucapan teman-temannya.


“Dayuh mau ngomong sama mbak Lastri?” tanya bu dhe tiba-tiba.


“Bagaimana caranya bu dhe”


“Bisa, kita cari makamnya, tapi, sebelum itu, Dayuh minta maaf dulu ya, biar saya panggil dulu” bu dhe masih duduk, ia menatap Dayuh, sebelum perlahan, bu dhe membuka kacamata beliau, ia meletakkanya, kemudian tertidur.


Dayuh tidak tau apa yang terjadi selanjutnya, karena bu dhe tertidur pulas di hadapan Dayuh seakan ia tiba-tiba lenyap begitu saja, sebelum, bu dhe terbangun, kemudian, menangis.


Suaranya, begitu memilukan, sorot matanya merunduk, lalu, bu dhe mengatakannya. “namaku Lastri”


Suara bu dhe sangat berbeda, seperti kepribadian lain yang bicara, ia tidak menatap Dayuh sedikitpun.


“Mbak Lastri” kata Dayuh, nada suaranya gemetar, bulukuduknya merinding, berkali-kali, Dayuh sampai memindahkan posisi duduknya.


“Gak usah takut, saya ikutin kamu, tidak ada maksud mencelakai lagi” katanya.


“Saya hanya sedih, kenapa kamu bisa-bisanya melakukan itu, hal yang tidak pantas di lakukan terhadap mereka yang seharusnya sudah terputus dari dunia”


Dayuh masih diam.


“Seharusnya, hanya menunggu beberapa bulan lagi, saya punya anak, tapi ternyata, nasib saya tidak sebaik itu. Kamu tidak perlu minta maaf lagi, saya juga akan pergi dengan sendirinya. Sampaikan saja, pesanku ini, kalau bertemu keluarga saya nanti, saya pamit”


Bu dhe kembali tidur


Sesaat setelah bu dhe terbangun, ia melihat Dayuh, tampak shock, tidak banyak yang di bicarakan setelah itu, namun, bu dhe mengatakannya, “anak saya sudah tahu dimana almarhumah di kuburkan, besok, ajak temanmu ikut, kita minta maaf sama-sama, sementara, biarkan beliau melihat adikmu”


“Jadikan pelajaran saja, tidak etis memperlakukan seseorang yang sudah meninggal dengan melakukan hal semacam itu, mereka sudah terputus dari tugas di dunia, mereka masih pantas di hormati oleh yang masih hidup”


“Kasih tahu temanmu juga, kalau mereka ingin melihat pocong, suruh nemuin bu dhe, nanti tak tunjukin dimana bisa lihat pocong, biar temenmu gak cari-cari lagi, makhluk seperti itu. Paham ya, dayuh”


Dayuh pergi pulang, ia sekarang tahu, siapa sosok yang ia lihat itu,


Mungkin, sosok menyerupai hanif adalah janin yang seharusnya lahir dari rahim mbak Lastri namun, ia gagal lahir ke dunia, dan parahnya, Dayuh malah menabur garam di luka mbak Lastri, keesokan harinya, Dayuh mengajak Hendra dan Tio, menemui bu dhe, dan mereka pergi ke makam Lastri


Cerita ini dulu sempat jadi perdebadan, ada yang bilang, ini pengalaman anak SMP 1 Mo******o, ada yag mengatakan ini pengalaman anak SMP T**** S***A, namun darimana sumber cerita ini berasal, ada pelajaran yang bisa di petik, bahwasanya, penting bagi kita, untuk memperlakukan mereka yang sudah meninggal dengan cara yang terhormat tanpa harus melakukan hal-hal yang bisa mendatangkan karma dan sejenisnya.


Gw berharap, kita tetap mengutamakan kebijakan serta kebajikan dalam menyikapi segala peristiwa di sekeliling kita,


gw simpleMan, pamit. Dan terimakasih sudah mau membaca.


Wasallam.


Sumber : SimpleMan