Bisikan Iblis (Nyawa yang tergadaikan)



Horror Thread

Gambar cover bisikan iblis tugimanblog sumber simpleman



Malam ini, gw(simpleman) mau cerita sebuah cerita nyata yang pernah di ceritakan oleh salah satu teman gw waktu SMP.
Sebuah cerita yang membuat bulukuduk gw selalu merinding tiap mendengar detail dari sebuah peristiwa yang lebih dari sebuah terror!!


Sebuah cerita yang akan membuat gw berpikir ulang dari apa arti sebuah kematian yang sebenarnya. Sebuah cerita tentang sebuah keluarga yang terikat dengan sebuah takdir yang akan membawa mereka dalam satu bencana yang di sebut “SIREP DUNYOTO” (Hidup namun Mati)


Disini gw akan menceritakan semuanya dari sudut pandang Andi, teman SMP gw yang pernah menjadi saksi peristiwa ini. Berlatarkan tahun awal 2000’an cerita ini terjadi di sebuah kabupaten di jawa timur, yang gak bisa gw katakan dimana tempatnya berada.


Dan disinilah semuanya kita mulai.


“Ndi, ki omahe sopo to? Gede bener” (Ndi, ini rumahnya siapa? Kok besar sekali) Tanya teman gw, Randu.


Seperti biasa, setiap minggu pagi adalah waktu yang tepat bagi gw untuk bersepeda keliling kampung, dan pagi ini menjadi lebih special ketika teman baik gw di SMP, Randu dan Riven, datang jauh dari kota untuk bisa berlibur dan menginap di kampung gw.


Sebenarnya, alasan teman gw menginap bukan untuk sekedar menginap dan mengenal rumah dan kampung gw, namun untuk melihat saksi bisu dari peristiwa yang tempo hari gw ceritain ke mereka, sebuah cerita yang akan berhubungan dengan rumah besar di depan gw ini.


“Iki omahe sing tak ceritak’ne wingi” (Ini rumah yang aku ceritakan kemarin) kata gw, sembari menatap jauh jendela-jendela serta pintu yang sudah rusak tergerus jaman. Peristiwa ini sendiri sudah terjadi sekitar 4 tahun yang lalu dan sampai saat ini, rumah ini tak terurus, seolah menyimpan semua kengerian itu sendiri, di atas tanah ini.


Gw sendiri selalu merinding tiap melewati jalanan ini, terlebih bila melihat rumah besar ini, dengan pagar berkaratnya, rumput liar di halamanya, dan terlebih setiap melihat ke jendela-jendela yang kacanya sudah


Pecah disana-sini, gw merasa, di dalamnya, seperti ada yang sedang mengamati gw darisana. Apapun itu, gw merinding.


“Oh iki ta. Oleh melbu ora iki?”(oh ini ta. Boleh masuk gak nih?)


“Haa” gw menatap Randu yang baru aja turun dari sepedanya, sementara Riven masih menimbang apakah dia mau senekat itu, apalagi bila tau sejarah rumah ini.


Suara berderit dari pagar besi yang berkarat terbuka, ketika Randu sudah masuk dan memasuki halaman rumah yang di penuhi rumput liar dengan tumbuhan putri malu disana-sini dimana durinya harus di hindari.


Seolah gw tau kelakuan teman gw Randu yang memang sudah penasaran sejak awal gw ceritain cerita ini maka gw pun terpaksa mengikuti, Riven pun mau tak mau juga harus ikut.


Setelah susah payah, melewati semak belukar dan rerumputan yang tingginya hampir sedengkul akhirnya kami sampai di teras rumahnya, keramiknya masih tampak bagus meski di penuhi debu dan dedaunan yang entah tertiup angin dari pohon yang mana di sekitar sini.


“Isok di buka gak iki” (bisa di buka gak ini?) kata Randu
“ojok” (Jangan) kata gw khawatir, gw udah buat perjanjian sebelumnya bahwa kami seharusnya hanya melihat dari pagar luar rumah, namun realitanya malah kita masuk sampai di teras.


Dasar Randu kebangetan, dia malah memutari rumah dan bergerak pergi ke pintu belakang. Mau tak mau gw dan Riven mengikuti.


Di samping Rumah ada tanah lapang yang juga di penuhi rerumputan liar, banyak pohon disana, mulai dari mangga hingga rambutan, di balik langkah kaki kami, gw terpaku menatap jendela-jendela yang berjejer di sisi rumah, berharap gak mendapatkan pemandangan yang tidak di inginkan.


Syukurlah, kami sampai di pintu belakang, dengan pemandangan yang gak kalah tak karuan seperti teras depan, bau amis dan pesing tercium disana-sini, beberapa kali gw menahan penciuman hidung gw, di lain hal, Riven hanya diam memandang kesana-kemari, nyalinya menciut manakala dia melihat kearah ayunan besi yang gak kalah berkarat di bandingkan pagar rumah depan.


“Iku ta ayunan sing mok ceritak’ke” (itu kah ayunan yang kamu ceritakan itu)


Randu pun menatap ayunan itu, kami bertiga tampak tegang, karena gw pernah mendengar bahwa setiap malam hari, ayunan itu selalu berayun sendiri, meninggalkan suara berdencit dari besi yang sudah lama tidak di lumasi, namun hari ini, tampaknya semua baik-baik saja. Toh, itu hanya cerita dari warga kampung.


Randu yang pertama mencoba membuka pintu, sesaat, gw di buat mengangah, karena pintu belakang tampak terbuka lebar di depan kami.


“Isok di buka loh” (bisa di buka loh rupanya) kata Randu, yang entah begitu antusias. “melbu yok” (masuk yok)


Gw berpikir, mungkin benar kata beberapa pemuda kampung gw, banyak yang bilang , semenjak kosong, rumah ini di gunakan untuk anak-anak nakal menenggak miras namun gak sedikit dari sana muncul cerita-cerita bahwa terkadang ada penghuni tak kasat mata yang tinggal di dalam rumah ini menampakan wujudnya.


Gw terdiam lama, sampai Randu menarik tangan gw, sementara Riven, mulai berjalan mengikuti.


Dari rumah kebanyakan, mungkin karena sudah lama tidak berpenghuni. Pikir gw Hal yang pertama gw rasain saat melihat bagian dalam rumah adalah, dingin. Hawanya benar-benar berbeda.


Randu yang memimpin. Gw melihat di tembok kiri kanan, penuh dengan coretan vandalisme, kadang gw miris melihatnya, namun bila gw lihat lagi coretan-coretan itu, gw rasa ini berhubungan dengan cerita masalalu rumah ini, terlebih saat gw tertuju pada sebuah kalimat yang membekukan tubuh gw, tulisan itu di coret dengan cat warna merah besar, sebuah tulisan yang akan membuat siapapun yang masuk tertuju membacanya.


KELUARGA IBLIS!!


Gelap, pesing, dan dingin. Semuanya begitu terasa, terlebih saat kita masuk lebih dalam lagi ke rumah itu.


“Ojok adoh-adoh rek” (jangan jauh-jauh teman) kata Riven, gw baru sadar, kalau sedari tadi Riven tampak tertarik, begitu bertentangan dengan nyalinya yang gak seberapa.


Randu, masih menelusuri rumah itu, sangat-sangat antusias, dia melihat kesana-kemari dan itu menganggu gw. Sangat menganggu. Sepertinya gw tau apa yang dia coba cari.


Rupanya dia sudah menemukanya. Sebuah tangga ke lantai 2 rumah ini. “Ayok goleki kamar’e sa’Diah” (ayo cari kamarnya mbak Diah)


Gw merinding tiba-tiba ketika Randu menyebut nama itu. Seolah ada angin dingin berhembus di belakang gw.


“Huss. Ojok ngomong ngawur koen yo” (huus. Jangan ngomong sembarangan kamu ya) kata gw menekan. Randu tampak paham ucapan gw, dia menyesal namun tak beberapa lama dia kembali menjadi Randu yang super penasaran. Akhirnya kami naik ke lantai 2.


Di lantai 2, kondisinya tidak banyak berubah dari lantai 1. Perabotan rusak disana-sini dan semakin banyak tulisan yang tidak mengenakan ketika di baca, Randu masih menelsuri kamar per kamar, membuat gw tau darimana saja pemandangan jendela ini tertuju kearah luar. Ketika asyik melihat-lihat bagian kamar per kamar, gw berhenti di salah satu kamar, sebuah kamar yang gak asing di mata gw.


Gw mendekati jendela dan langsung bisa melihat pemandangan di luar, ada sepeda kami bertiga, terparkir di depan gerbang besi itu. Sontak, otak gw memutar ulang semua pengalaman gw selama ini, ketika melewati rumah ini. Kamar ini, adalah kamar dimana gw pernah melihat sosok yang seperti berwujud namun menatap sembunyi-sembunyi di balik jendela.


Seketika itu juga, leher gw merasakannya, kamar ini, suasananya lain dari kamar lain, dan ketika gw berbalik mau meninggalkan kamar ini, gw terkejut dengan kehadiran Riven yang menatap gw tampak tenang.


“Iki kamar’e Sa’Diah” (ini kamarnya kak Diah kayanya)


Gw menatap Riven, menyipitkan mata, seolah mendengar ucapan menduga-duga namun membuat gw seolah setuju dengan ucapanya.


“Keroso gak?” (berasa gak) kata Riven, tanganya menyentuh dinding kamar.


“Keroso opo?” (berasa apa?)


“Arek’e jek gok kene loh”(anaknya masih tinggal disini loh)


Di tengah perbincangan gw sama Riven, gw merasa perasaan gw semakin gak nyaman, pembahasan ini membuat gw di buat semakin takut dan parahnya, yang membuat gw lebih takut adalah, bagaimana orang yang bahkan gak tau seluk beluk tempat ini justru seakan-akan lebih tau dari gw yang tinggal di lingkungan ini.


Lamunan gw buyar, waktu gw denger suara langkah kaki berlari, sangat keras dan di ikuti suara Randu berteriak. Sontak gw ikut lari, dan mencari tau apa yang terjadi.


Bertemulah gw dengan Randu, yang tengah menuruni anak tangga, berlari dengan wajah panik sekali.
“Lapo tah” (kenapa?)


“Wes ayok metu sek, gak aman tempat iki” (sudah ayo keluar lagi, tempat ini gak aman).


Kami berdua berlari, keluar dari pintu belakang, menyusuri rumput liar halaman rumah dan akhirnya keluar dari pagar, disana, gw terdiam saat melihat Riven sudah berdiri disana, menunggu di atas sepeda.


“As*, mosok aku di tinggal ijen nang kene” (a*ji**, masa aku di tinggal sendirian disini).


Gw tertegun mendengar ucapan Riven untuk sementara, sebelum gw melihat Rumah itu lagi dari jauh. “Lapo koen mlayu koyok ngunu” kata gw berusaha mengalihkan perhatian menatap Randu.


“Gok kamar pojok, gok kamar pojok, dancok!! Onok jelangkung’e “ (di kamar paling ujung, di kamar paling ujung, ada yang baru saja bermain jelangkung).


Pagi itu, kami meninggalkan rumah itu, dengan berbagai teka-teki. Di mulai dari sosok yang menyerupai Riven, sampai jelangkung di kamar ujung, apapun itu, sekarang gw tau, dimana kamar sa’Diah berada.


Gadis yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Karena tidak sanggup lagi, menanggung beban dari perjanjian keluarganya dengan Iblis yang kabarnya, masih ada di atas tanah ini.


Mulai dari sini. Kita masuk ke peristiwa 4 tahun yang lalu, dimana semua ini, bermula.


Diah Muninggar, nama itu tidak akan pernah di lupakan di kampung ini. Bukan, bukan karena ia seseorang yang berprestasi, melainkan karena kematianya yang di anggap ganjil oleh warga, bahkan kematianya sendiri masih di anggap menyisahkan misteri hingga saat ini.


Lahir di keluarga yang sederhana, membuat Diah di kenal sebagai gadis ayu kembang desa yang selalu mendapat puja puji disana-sini, namun, malam itu. Ketika bulan tak menampakkan diri, ketika suara serangga malam sunyi tak berpelik, terlihat dari jauh, siluet seseorang dari bawah Rumah gedong yang di sebut warga sebagai rumah terbesar di kampung ini, yang entah bagaimana keluarga dia yang awalnya bukanlah keluarga kaya raya, di sulap hanya dalam beberapa bulan menjad sebuah keluarga terkaya dan termasyur.


Meski menyimpan tanda tanya besar, namun, semua warga tau. Ada yang ganjil dari keluarga ini. Kita lupakan sejenak keluarga ini, di depan rumah, Pak Mito lah yang pertama melihat siluet bayangan di kamar atas, tampak sedang melayang, berayun pelan namun tetap terlihat jelas.


Sontak pak Mito membangunkan seisi rumah, dan di lihatlah siluet itu di dalam kamar, malam itu, adalah malam dimana, tubuh Diah atau gadis yang kerap di panggil dengan nama sa’Diah, tergantung dengan kepala di jerat tali tambang.


Sontak, semuanya kaget tak terkecuali, pak Wanto


Pak Wanto adalah ayah sekaligus orang yang kini menarik perhatian warga kampung. Apa yang sebenarnya di sembunyikan oleh pak Wanto.


Namun, malam itu cukup membuat semua yang menyaksikan bertanya-tanya, kenapa postur sa’Diah yang tergantung, menunjukkan ekspresi tak biasa, ekspresi, seseorang yang tengah tersenyum bahagia.


Satu hal yang di ingat oleh semua orang yang menyaksikan peristiwa itu, kematian sa’Diah adalah kematian yang berhubungan dengan keluarga ini. sesuatu yang di percaya, berhubungan dengan “bisikan IBLIS”


Kita akan kembali, ke waktu yang jauh ke belakang, manakala cerita ini semua bermula. bukan 4 tahun, melainkan lebih jauh lagi. Saat sa’Diah hanyalah gadis polos yang tidak tahu apapun tentang apa yang akan menimpa keluarganya.


Pak Wanto adalah seorang buruh tani yang menggarap sawah milik seseorang bersama bu Robiah isterinya, meski umur mereka tidak lagi muda namun mereka hidup berkecukupan.


Di karuniai 4 orang anak, yang kesemuanya adalah seorang perempuan.


Diah, Yuni, Rina, dan Uswatun adalah anak-anak pak Wanto. Layaknya anak-anak lain, di usia mereka yang saat ini masih tergolong masih sangat muda, mereka bermain dan bersekolah sewajarnya, hanya saja, terkadang mereka membantu pak Wanto dan bu Robiah di sawah.


Si Sulung lah yang paling di kenal warga, karena kebiasaanya pula memanggil pak Wanto dan bu Robiah, bapak emak, membuat warga pun ikut-ikutan memanggil Bapak-Emak, hidup keluarga pak Wanto baik-baik saja layaknya kehidupan tentram pada umumnya di desa, namun, semuanya berubah ketika bu Robiah yang kerap di sapa Emak, mengatakan bahwa beliau hamil tua, yang konon, menurut orang jawa jaman dahulu, hamil tua adalah pertanda yang kurang baik.


Meski begitu, tidak percaya dengan mitos, pak Wanto dan sekeluarga, menyambut hangat calon anak sampai, di kehamilanya yang ke 5 bulan, pak Wanto bermimpi di datangi seekor kambing betina hitam, yang konon, kambing ini dapat berbicara dan menyapa pak Wanto. hal itu terjadi selama 7 hari berturut-turut.


Tidak yakin dengan mimpinya, pak Wanto tidak bercerita hal ini kepada siapapun, meski ia masih kerap terbayang sosok yang ia temui dalam mimpi.


Entah itu kambing atau binatang lain, yang pak Wanto ingat, suaranya tidak seperti suara manusia normal, sangat halus dan memikat, di malam kedua, mimpi itu kembali, dan kambing hitam itu juga kembali lagi.


Kali ini, ada yang berbeda dari mimpi sebelumnya, badan si kambing tampak membesar, seolah-olah ia sedang mengandung.


Namun, malam itu, ia hanya mendengar satu kalimat.
“Jati Apit”


Tidak ada yang tahu apa itu Jati apit, termasuk pak Wanto yang sebegitu penasaranya sampai menuliskanya dalam selembar kertas.


Setelah menjalani hari-harinya seperti biasa, ketika pulang, pak Wanto tertuju pada lahan samping sawah, disana, berjejer pohon jati entah apa yang membuat pak Wanto yang tiba-tiba penasaran dan mendekati lahan itu.


Rupanya, ia mengerti maksud kalimat itu. Jati apit merujuk pada pohon Jati, maka di lihat-lihatlah sore itu, pak Wanto berkeliling lahan Jati, sampai ia melihatnya.


Pak Wanto melihat sebuah pohon, tidak terlalu tinggi, mungkin sedadanya, dan pohon itu tumbuh, di antara 2 pohon Jati yang tumbuh meliuk, sangat aneh. pikir pak Wanto.


Pohon Jati tumbuh tidak meliuk seperti itu, pohon jati harusnya tumbuh lurus ke atas.


Bergegaslah pak Wanto manakala ketika ia mendekati pohon itu. tercium aroma bau kambing yang sengak, maka, pak Wanto mengelilingi pohon kecil itu, di dalamnya, pak Wanto menemukan sesuatu.


Kecil, berlendir dan menggeliat. rupanya, ada seekor anak kambing di dalam rimbunan pohon itu.


Petang itu, pak Wanto kembali pulang, dengan menggendong anak kambing misterius itu.


Pak Wanto tidak tahu, apa yang sedang dia lakukan.


Sesampainya di rumah. bu Robiah lah yang pertama kali curiga, melihat pak Wanto menggendong sesuatu membuat beliau penasaran, rupanya benar, pak Wanto membawa sesuatu yang ganjil.


“Nopo niku pak?” (apa itu pak?) tanya bu Robiah.


“Cempe buk” (anak kambing buk) ucap pak Wanto.


“Cempe’ne sopo toh pak?” (anak kambingnya siapa itu pak?)


“Ten ngertos, nemu gok kebon jati” (tidak tau, menemukan di pohon jati)


“Loh kok di gowoh muleh to, nek sing nduwe goleki piye” (kok di bawa pulang, kalau yang punya nyari)


“Ben. Engkok nek onok sing goleki, tak kek’no, sak no jek anakan” (biarin, kalau ada yang nyari nantik tak kasihkan, kasihan, masih anakan)


“Ngoten toh, nggih pun, sak karepe bapak” (gitu ta, ya sudah. terserah bapak)


Hari itu juga, pak Wanto membuatkan kandang kecil.


Malam itu. kabarnya, ada sesuatu yang terjadi. bu Robiah lah yang pertama tahu. ketika pak Wanto tengah tidur, bu Robiah mendengar suara seseorang tangah tertawa, suaranya menyerupai anaknya yang paling bungsu, Uswatun.


“Tun. awakmu ta iku” (Tun itu kamu kah?)


Meski hamil tua, bu Robiah masih kuat untuk bangun dari ranjangnya, ia berjalan menuju ruang tamu, namun, ia tak melihat siapapun disana, ketika bu Robiah akan kembali ke kamar, suara itu terdengar kembali.


Namun, suaranya terdengar dari luar rumah. tanpa curiga, bu Robiah membuka pintu, mencari dimana sumber suara yang menyerupai suara anak bungsunya.


Suaranya berhenti di kandang belakang rumah.


Bu Robiah segera mendekatinya. namun, bukan Uswatun yang ia lihat.


Melainkan, siluet hitam, bayangan seorang anak kecil tengah meringkuk di pojokan kandang. Kaget bercampur takut, bu Robiah bertanya, siapa gerangan yang ada disana. Namun, sosok itu hanya diam di pojokan.


Tiba-tiba. Sosok itu mulai bergerak, menggeliat layaknya binatang yang tengah terbangun dari tidurnya. Ia melihat bu Robiah dengan mata merah menyala, lalu merangkak cepat sekali menuju bu Robiah yang shock siap berteriak.


Keesokan paginya. Bu Robiah terbangun dengan wajah yang pucat. Entah mimpi atau bukan, bu Robiah menceritakan hal ini pada mbok Sartem, tetangga sekaligus wanita tua yang senantiasa di mintai tolong bila ada yang aneh.


Dengan wajah tegang, mbok Sartem bertanya.


“Cempe?” (anak kambing) “gowoen aku, gok ndi Cempe’ne iku” (bawa aku kemana anak kambing itu berada)


Bu Robiah pun mengajak mbok Sartem ke kandang belakang rumah. Anehnya. tidak ada apapun disana. Cempe yang kemarin, lenyap begitu saja.


“Meteng tuo, trus Cempe. Firasatku elek” (hamil tua, lalu anak kambing, firasatku kok jelek) kata mbok Sartem, beliau menunggu pak Wanto dari sawah.


Tepat ketika pak Wanto sudah tiba, mbok Sartem langsung bertanya.


“Ceritakno yo opo kok isok awakmu nemu Cempe”(Ceritakan bagaimana kamu kok bisa menemukan anak kambing)


Pak Wanto tidak paham apa yang terjadi, namun ia tau, mbok Sartem mungkin di beritahu oleh bu Robiah, maka pak Wanto pun bercerita namun ia belum menceritakan mimpinya, ia hanya bercerita bahwa ia menemukan Cempe saja


Di beritahulah bila Cempe itu hilang, dan membuat pak Wanto kebingungan.


Maka, jam berganti menjadi hari, hari berganti menjadi bulan, pak Wanto masih tidak tau, apa yang tengah mengintai keluarganya. Sampai tibalah, masa persalinan bu Robiah yang di bantu mbok Sartem dan Safi.


Safi adalah dukun beranak di kampung itu. Ada hal yang Safi ceritakan, sebelum beliau masuk ke rumah pak Wanto.


Di sepanjang jalan, ia mendengar suara kambing mengembik, anehnya, dia tidak melihat satu kambing pun di sana-sini. Hal itu, membuat Safi sedikit merinding


Ini di lanjut apa gak ya, badan sudah mulai merinding di kamar sendirian. sudah lama gak ngerasain ini. Tapi serius cerita ini bener-bener ngeri dulu. Dan masih sangat-sangat panjang ceritanya.


Safi sudah mempersiapkan semua untuk lahiran anak ke lima pak Wanto, di bantu mbok Sartem, bu Robiah sudah berbaring, tepat ketika baju bu Robiah di angkat oleh mbah Safi, maka saat itulah mbak Safi tidak bisa bicara banyak.


Perut bu Robiah menghitam, sangat hitam dan itu ganjil, bahkan menurut Safi, ini kali pertama ia melihat hal seperti ini, namun bukan kali pertama ia mendengar hal ini, dulu, Safi pernah di ceritakan oleh buyut beliau, salah satu hal mengerikan yang terjadi adalah, ketika melihat Wungkuk ireng. apa itu Wungkuk Ireng?


Wungkuk Ireng adalah perut yang konon di setubuhi oleh Jin yang sudah bukan Jin lagi, melainkan iblis jahanam yang menyusupkan anaknya di roh bayi yang akan lahir.


Tidak hanya Safi. Mbok Sartem juga bisa melihatnya. Mereka menatap bu Robiah dalam diam, namun tangan dan badan mereka gemetar, sebegitu hebatnya sampai wajah mereka berdua pucat pasi.


Ini bukan pertanda buruk, melainkan petaka dari petaka yang paling di takuti manusia.


Mereka tau apa yang akan terjadi selanjutnya, namun mereka tidak bisa menebak apa yang sedang dan akan menimpa mereka, dosa apa yang di perbuat oleh keluarga pak Wanto.


Pak Wanto menunggu dengan cemas, ia berharap akan mendapat seorang anak lelaki. Sudah 4 anak yang ia miliki namun tidak satupun dari mereka mendapatkan seorang anak lelaki. Jadi, salahkah bila pak Wanto berharap kali ini anaknya adalah anak lelaki??


Kecemasan yang semakin memuncak, membuat pak Wanto melupakan 5 mimpi yang dahulu pernah ia alami, salah satunya adalah, ketika kambing hitam itu menjamin pak Wanto akan hidup enak, masyur dan kaya raya, bila ia mau melakukan satu tugas kecil.


Menggorok Cempe yang ia temukan. kemudian menguburkanya di halaman belakang rumahnya.


Anehnya, pak Wanto tidak punya kuasa menolak. Dan ia melakukanya tanpa bertanya akibat perbuatanya.


Karena ketika pak Wanto melihat mbok Sartem bertanya tentang Cempe, ia tahu. Ada sesuatu yang tengah terjadi namun tidak ia ketahui. Di mimpi terakhirnya. Pak Wanto tidak lagi melihat makhluk itu, melainkan, ia melihat dirinya sendiri, bertanduk dan menyerupai wajah seekor kambing.


Di tengah kegelisahanya, lamunan pak Wanto buyar manakala ketika ia terperanjat saat mendengar suara kambing mengembik, sangat keras, sampai seisi rumah yang di penuhi tetangga yang penasaran dengan kelahiran anak kelima pak Wanto berkerumun, di Desa -desa jawa timur, memang hal biasa ketika tetangga berkumpul untuk melihat dan menyaksikan persalinan sebuah keluarga, guna menyemangati dan memberi selamat, namun tidak pada hari ini, semua orang tampak bingung, dimana seharusnya yang mereka dengar adalah tangisan bayi, berubah menjadi suara kambing mengembik.


Masih dalam suasana kebingungan, pak Wanto terkejut begitu saja saat mbah Safi berteriak memanggil namanya.


Tepat ketika pintu terbuka dan pak Wanto masuk. Ia melihat isterinya, bu Robiah lemas, dengan mata merah karena menangis.


Bingung menyelimuti wajah pak Wanto, mbah Safi dan mbok Sartem menatapnya nanar penuh simpati, karena mereka menatap ke satu titik, dimana, di balut kain putih dengan darah merah segar yang membasahi ranjang, ada sesuatu yang hitam, besarnya tidak lebih dari tangan menelungkup itu adalah bayi mungil.


Hanya saja, bentuknya tidak menyerupai manusia sedikitpun. Kulitnya berkeriput hitam dengan bola mata menonjol keluar, meski matanya terpejam, dan hidungnya pesek, dengan bibir panjang setelinga, di kepalanya ada tanduk kecil, dan beraroma busuk, pak Wanto masih tidak mengerti, sampai mbok Sartem mengatakanya.


“Anakmu. sudah meninggal To”


“Cublak-cublak suweng
suwenge ting gelenter
Mambu ketudhung gudhel
Pak Gempong lera lere
Sapa ngguyu ndelikake
Sir sir pong dele gosong
Sir sir pong dele gosong”


Sa’Diah memilih mengaji manakala 3 adiknya sedang bermain “cublak-cublak suweng” yang memang permainan kesukaan adik-adiknya.


Ia bisa mendengar suara riang dan tawa mereka dari teras rumah ketika memainkan itu, di tengah ia membaca rentetan huruf arab di depanya, tiba-tiba, perasaan sa’Diah mendadak menjadi tidak enak dan saat itu juga, ia tidak lagi mendengar suara adk-adiknya, pnasaran, Diah mengintip kamar sa’Diah tepat berada di samping teras sehingga ia hanya perlu berjinjit untuk bisa melihat apa yang menyebabkan adik-adiknya berhenti bermain.


Rupanya. Ketiga adiknya masih di sana, berdiri memutar, namun, anehnya, mereka hanya diam, seolah-olah bagai patung tak bergerak, bingung. sa’Diah keluar, untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.


“Dek lapo kok meneng-menengan?” (dik kalian ngapain diem-dieman disana?)


Bukan jawaban yang ia dapat, melainkan kesunyian yang menghantam sa’Diah dimana hari mulai petang.


sa’Diah hanya ingat, saat itu, tidak ada apapun yang bisa ia rasakan, semuanya seolah-olah sepakat untuk diam, bahkan angin pun tidak berhembus, mendekatlah sa’Diah ke arah adik-adiknya, namun, belum beberapa meter, sa’Diah di buat diam tercengang manakala dia melihat, sosok jauh siluet hitam yang rupanya sedari tadi memperhatikan yang luput oleh mata sa’Diah, kini menjadi fokusnya yang hanya mengandalkan cahaya rembulan, sa’Diah melihat siluet hitam itu yang tidak lebih tinggi dari sa’Diah, dengan cemas dan takut, sa’Diah memaksakan kakinya mendekati adiknya.


Sembari tetap memperhatikan sosok siluet hitam yang hanya memperhatikan, sa’Diah mulai mengetahui apa itu, rupanya, siluet hitam yang sedari memperhatikanya adalah seekor kambing hitam, namun, entahlah. Kambing siapa yang belum di kandangkan ketika petang sudah datang.


Sa’Diah menarik adik-adiknya, mengatakan mereka harus masuk karena malam sudah menjelang.


Ketiga adiknya menurut, dan mengikuti langkah sa’Diah, tepat ketika mereka sudah masuk ke dalam rumah, sa’Diah berniat menutup pintu dan memperhatikan kembali dimana kambing itu berdiri..


Akan tetapi, tidak ada apapun disana. Hanya tanah lapang kosong tanpa kehadiran kambing hitam yang ia lihat tadi. Mendadak, perasaan buruk itu kembali muncul, dan seolah-olah, memberitahu malapetaka sedang menyambangi keluarganya.


Bila ada yang berbeda dari hari ini, maka pak Wanto adalah salah satunya, semenjak kematian jabang bayi yang sudah ia damba-dambakan, yang kabarnya berkelamin laki-laki itu meninggal, pak Wanto kini menjadi pribadi yang tertutup bahkan ia sudah lupa cara menyapa tetangganya.


Mbok Sartem dan mbah Safi, sepakat. Apa yang ia lihat hari ini tidak akan pernah ia ceritakan kepada siapapun bahkan kepada bu Robiah isteri pak Wanto yang saat itu, pingsan lemas, tanpa tahu apa dan bagaimana ia bisa melahirkan makhluk yang lebih terlihat seperti anakan kambing.


Di saat itu juga pak Wanto hanya bisa murung, sementara mbok Sartem dan mbah Safi mempersiapkan perkuburan itu, disinilah letak keanehan yang kini menjadi buah bibir pembicaraan tetangga. Hal itu adalah, ketika jabang bayi itu di gendong mbok Sartem, kain yang di gunakan, berwarna hitam, banyak warga yang kebingungan dan bertanya-tanya dalam hati mereka, kenapa kain yang di gunakan untuk perkuburan bayi ini berwarna hitam legam, bukan putih bersih seperti mayit-yang lain?!.


Kejadian yang sebenarnya terjadi adalah, ketika bayi itu di kafani oleh mbah Safi, tidak ada yang lebih tersentak dan kaget karena saat kain putih di balut pada tubuh kecil jabang bayi, tiba-tiba kain itu menghitam seolah-olah ada hal-hal di luar nalar sedang bermain disini.


Tak henti-hentinya mbah Safi istighfar, sembari gemetar, ia memberanikan diri menggendongnya dan memberikanya kepada mbah Sartem.


Pak Wanto lebih banyak diam, bahkan ketika si bayi sudah di kuburkan, ia masih diam, seakan-akan ia tahu, apakah ada hubunganya dengan cempe itu.


Malam harinya, pak Wanto kembali bermimpi untuk kesekian kalinya. Namun, di mimpinya yang ini, pak Wanto terjebak di sebuah tempat lapang, yang di selimuti kegelapan total, tidak ada apapun disana, sampai, terdengar suara mengembik. Maka, di tataplah seekor kambing di hadapanya


Di hadapan kambing itu ada jabang bayi kecil, kulitnya masih kemerahan, dan pak Wanto menatapnya bingung.


“Iki anakmu” (ini anakmu) kata kambing itu.


Dengan perasaan gugup, pak Wanto mengangkat tubuh kecil itu, suara tangis mengoek dari jabang bayi, membuat pak Wanto luluh


Lalu, perlahan, jabang bayi kecil itu mulai berubah, kulitnya yang kemerahan menjadi hitam dengan bola mata menggelembung, bibirnya yang kecil mungil membengkak sampai mewujudkan diri bahwa jabang bayi itu adalah cempe yang ia gorok tempo hari.


“Gak” “Gak” teriak pak Wanto, menepis bahwa jabang bayi itu bukanlah anaknya.


“Woi menungso” (woi manusia) , “opo awakmu eroh, sopo sing ngeraipno anakmu” (apa kamu tau siapa yang sudah mencabut ajal anakmu)


Pak Wanto bingung, kambing itu terus berbicara dengan suara menggelegar


“Entenono mene, yen mene onok sing mati yo iku tuntut balasku gawe anakmu” (tunggu besok, bila ada yang meninggal itu adalah pembalasanku untuk mendiang anakmu)


Keesokan paginya, pak Wanto bekerja seperti biasanya, meski hari-harinya jauh lebih kelabu di bandingkan hari kemarin, ketika pak Wanto sedang membabat rumput di lahan yang ia garap.


Terdengar seseorang mendekatinya, sembari berujar dengan nada tergopoh-gopoh.


“Pak, pak Wanto, nuwun sewu, sudah dengar?” (pak, pak wanto, mohon maaf, bapak sudah dengar)


“Dengar opo?” (dengar apa?)


“Mbok Sartem, tetangga sampeyan baru saja meninggal”


Kaget, pak Wanto teringat dengan kambing di dalam mimpinya. Hingga pak Wanto berujar. “Karma!!”


Desas-desus tersebar, kabarnya, meninggalnya mbok Sartem ganjil. Selain itu, mayitnya juga tidak kalah membuat orang geleng-geleng kepala, salah satunya, mbok Sartem meninggal dengan bau seperti kambing. lebus.


Tidak hanya itu, sebelum meninggal, mbok Sartem kabarnya berteriak, memaki dan mengutuk, seolah-olah dia sedang berbicara dengan sesuatu, di akhir kalimatnya selalu satu kalimat yang terucap terus menerus, yaitu “IBLIS”


Namun, yang paling mengerikan, mbok Sartem meninggal dengan memuntahkan darah yang warnanya hitam kemerahan, menyerupai j**in.


Banyak orang mulai menyebar rumor, mulai dari santet hingga sangkut paut dari perbuatan demit (Setan), namun, mbah Safi lah yang tau apa yang terjadi, hari itu juga, di pemakaman mbok Sartem, mbah Safi tampak sedang mencari seseorang, namun ia tak kunjung di temukan disana.


Sampai, di sudut matanya, akhirnya ia melihatnya, pak Wanto, berdiri jauh dari kuburan mbok Sartem yang baru saja di kuburkan, mengamatinya dengan bibir tersungging, sebuah senyuman yang tidak sepantasnya terlihat dari seorang tetangga.


Sudah lebih dari 5 hari, pak Wanto tidak pulang, kalaupun pulang hanya untuk mengganti baju kemudian keluar lagi, meskipun pak Wanto masih memberi nafkah berupa uang yang cukup banyak, namun, bu Robiah bingung, darimana uang itu, bila pak Wanto sudah tidak kerja lagi garap sawah, tidak hanya bu Robiah, namun tetangga di kanan kiri juga bingung, pernah mereka tanpa sengaja melihat pak Wanto berjalan, anehnya, ketika di sapa, pak Wanto seperti tidak mau dengar dan melanjutkan perjalananya seolah-olah ia sengaja tidak mengubris niat baik tetangganya.


Puncak keanehan yang di saksikan warga adalah, pak Wanto selalu berjalan dengan pose menggendong anak kecil, seolah-olah di tanganya ia sedang menggendong entah apa itu.


Warga mulai curiga, pak Wanto sudah gila.


Meski begitu, tidak ada yang berani menegur atau sekedar bertanya apa yang terjadi pada pak Wanto, karena bagaimanapun juga, pak Wanto pernah menjadi seseorang yang di hormati dan di tuakan di kampung ini.


Sa’Diah pernah melihat, suatu malam. Ketika ia berniat untuk tidur namun pikiran-pikiranya masih memaksanya untuk terjaga tiba-tiba di bangunkan dengan suar pintu berderit, dengan cepat, sa’Diah berpura-pura untuk tidur.


Di dalam kamarnya, sa’Diah tidur bersama ketiga-adiknya


Di situlah ia melihat pak Wanto, bapaknya masuk dan berjalan melewatinya, ia membangunkan salah satu adiknya. Uswatun dengan nada suara berbisik seolah-olah, si bapak tidak mau, anak-anaknya yang lain dengar.


“Tun, tangi nak” (Tun bangun nak) katanya, “melu bapak yuk diluk ae” (ikut bapak yuk, sebentar saja)


Di dalam keremangan kamar, sa’Diah melihat gelagat yang aneh dari si bapak, seumur-umur, ini adalah kali
pertama bapak membangunkan anaknya di jam yang sudah selarut ini.


Uswatun bangun, meski ia masih mengantuk. Tanpa membuang waktu, dari bayangan di gubuk, Sa;Diah melihat si bapak mengangkat Uswatun dan pergi meninggalkan kamar, tanpa lupa menutup pintu kembali.


Sa’Diah terbangun, mengintip dari jendela kamarnya, ia melihat, si bapak pergi, keesokan paginya, sa’Diah bangun dan hal pertama yang ia lakukan adalah, mencari Uswatun yang rupanya sedang ada di pawon (dapur) tampak lahap memakan seiris daging, mereka saling menatap satu sama lain. sebelum sa’Diah mendekatinya.


“Mambengi awkmu nang ndi Tun”(semalam dirimu kemana tun)


Uswatun tampak bingung, ekspresnya menunjukkan ekspresi ketidaktahuan apapun, “nang ndi to mbak, Atun ndak kemana-mana” (Kemana ta mbak, Atun tidak kemana-mana)


Aneh, namun sa’Diah yakin ia melihat dengan mata kepala sendiri, dan bagaimana bisa Atun mengatakan hal sebaliknya.


Meski penasaran, namun sa’Diah tidak bisa mendapatkan jawaban apapun dari Uswatun sekeras apapun ia memaksanya berbicara, karena Atun hanya mengatakan ia tidak kemana-mana.


Si bapak sendiri, masih jarang pulang, sekalipun ia pulang, paling hanya untuk mengganti bajunya saja. Di Malam yang entah keberapa dimana sa’Diah kembali memergoki si bapak membawa Uswatun pergi, sa’Diah nekat untuk mengikuti.


Meski di liputi perasaan was-was, dan ketakutan yang menjadi-jadi, sa’Diah berjalan jauh di belakang, mereka menuju sebuah jalan yang sa’Diah tau, kebun. Itu adalah kebun Jati.


Apa yang di lakukan bapak dan Uswatun di tengah malam seperti ini, terlebih di sebuah kebun jati yang sa’Diah tau, adalah salah satu tempat yang jarang di datangi oleh siapapun.


Dinginya malam, tak menghentikan rasa penasaran sa’Diah, sampai, ia melihatnya, sa’Diah melihat Uswatun di depan sebuah pohon rimbun, pohonya sendiri tidak lebih tinggi dari dirinya, namun, di depan pohon itu, ada luyak, berisi bunga dan sesaji, lengkap dengan jarum dupa di atasnya.


Uswatun, kemudian melahap isi luyah itu dengan tangan kosong


Si bapak, hanya duduk menyaksikan anak bungsunya melahap habis apa yang ada di depanya, termasuk bebungaan dan kopi hitam itu.


Jantung sa’Diah, berdegup kencang tidak karuan, sebelum, terdengar suara mengembik di belakangnya, sa’Diah terdiam, kaku, lalu jatuh pingsan


sa’Diah terbangun dengan kondisi demam tinggi, namun ia masih mengingat jelas apa yang ia lihat.


Pak Wanto, duduk di sampingnya, menatapnya dingin, namun tak sepatahpun kata keluar dari mulutnya. Apakah ini cara bapak membungkam mulut sa’Diah, agar tidak menceritakan pd siapapun? Berbeda dengan bapak yang lebih banyak diam, Uswatun tampak sedang bermain dengan 2 kakaknya, Yuni dan Rina. seperti biasanya, seperti tidak ada yang terjadi kepadanya.


Namun, semenjak itu, hanya Uswatun yang memandang sa’Diah dengan tatapan penuh kebencian, selebihnya ia tau, Uswatun bukan lagi seperti adik bungsunya lagi.


“Mbak” “Mbak”


seseorang menggoyang tubuh sa’Diah, sebelum ia menyadari siapa yang membangunkan dirinya, ia melihat Rina, wajahnya panik.


“opo Rin?” tanya Diah ikut panik.


“Atun gak ada di tempatnya”


Diah melirik tempat dimana Atun biasanya tidur. kosong.


<<SELANJUTNYA>>