Bisikan Iblis (Nyawa yang Tergadaikan) Episode Akhir



Thread Horror Storry Lanjutan!!

Gambar cover bisikan iblis sumber simpleman



Sempat terdiam beberapa saat, karena entah bagaimana menjelaskan kepada Rina, Diah tau dimana Atun berada, masalahnya, sejak kejadian itu, Diah tau, dirinya seperti selalu di awasi, entah oleh siapa, namun perasaan itu membuatnya terus khawatir.
Dengan berusaha tetap tenang, meski ketakutan meliputi perasaan Diah, ia beranjak dari tempat tidurnya, melangkah keluar kamar, ia hanya mengatakan, mungkin Atun ada di kamar orang tuanya, karena ini bukan kali pertama si bungsu pergi dan berpindah ke kamar orang tuanya.


Diah menutup pintu kamarnya, yang terbuat dari triplek tipis, karena memang, keluarganya bukanlah keluarga yang di gelimangi harta.


Sempat ragu, namun Diah membulatkan tekat, sebelum, ia mendengar suara Atun, ia sedang mendendangkan sebuah nada permainan kesukaanya.


“Cublak-cublak suweng
suwenge ting gelenter
Mambu ketudhung gudhel
Pak Gempong lera lere
Sapa ngguyu ndelikake
Sir sir pong dele gosong
Sir sir pong dele gosong”


Suaranya terdengar dari halaman belakang rumah, sa’Diah berjalan mendekatinya. ia yakin, itu suara Atun, tetapi, Atun tidak sendirian. Ia mendengar, ada 2 atau 3 suara lain sedang menyanyikanya bersama-sama.


Yang jadi pertanyaan adalah, untuk apa Atun bermain cublek cublek sueng, tengah malam seperti ini.


Berusaha mengintip, sa’Diah mendekati gubuk rumahnya yang terbuat dari bambu, di sela-sela lubang itu, ia mendekatkan wajahnya. Melihat dengan seksama, namun, tepat ketika sa’Diah melihat figur Atun yang tengah duduk bersila, nyanyian mereka berhenti, berganti menjadi kesunyian.


Kesunyian itu membuat suasana saat itu menjadi begitu mencekam, seolah-olah mereka tahu, seseorang sedang mengamatinya.


Di tengah pikirannya tentang “mereka” sa’Diah melihat Atun, kepalanya menoleh tepat dimana sa’Diah berdiri menatapnya. jantung sa’Diah rasanya seperti mau copot.


Belum berhenti smpai disana, sa’Diah seperti ingin lari saja dan kembali ke atas ranjangnya, namun, semua ini membuat sa’Diah penasaran, berbuah nekat, sa’Diah mengintip kembali, namun yang dia dapat, tepat di lubang itu, mata mereka saling bertemu


Atun tahu, sa’Diah melihatnya


“Mbak” kata Atun, ia memanggil nama Diah, “Ayok maen”


Karena seperti tertangkap basah, maka sa’Diah melangkah keluar, membuka pintu belakang rumahnya, dan di lihatnya Atun, mengamatinya dengan senyuman ganjil yang menakutkan.


Sa’Diah mengikuti langkah Atun, penasaran dengan suara siapa saja yang ia dengar tadi, sa’Diah di buat diam mematung, manakala ia melihat di hadapanya, ada Rina dan Yuni, duduk bersila seolah menunggu mereka, bila Rina dan Yuni ada disini bersama Atun, lalu, siapa yang ada di kamar?


Meski puluhan pertanyaan muncul, di dalam pikiranya, sa’Diah mencoba untuk tenang dengan apa yang terjadi, ia duduk bersila sama seperti yang lain, sampai ia mendengar Atun mengatakan.


“Sing dadi pak Empo sampeyan dulu ya mbak” (yang jadi pak Empo kamu dulu ya mbak)


Awalnya ragu, namun sa’Diah mengiyakan permintaan Atun, ia tahu, akhir-akhir ini hubungan mereka seperti berjarak dan Diah tidak tahu apa alasanya, jadi, bila menjadi pak Empo bisa membuat Atun dekat lagi dengan Diah, maka, Diah akan melakukanya.


Semua tau, apa itu pak Empoh dalam permainan cublek cublek suweng, pak Empoh akan menjadi penebak dalam permainan ini, karena sejatinya, permainan ini adalah permainan untuk mencari batu yang akan di sembunyikan di salah satu telapak tangan si pemain lain, masalahnya, pak Empo haruslah di wajibkan untuk berbaring telungkup, sementara permainan lain mulai menyanyikan lagunya, sekaligus membuat batu itu agar pak Empoh tidak tau dimana batu itu berada.


Maka, sa’Diah mulai berbaring telungkup menghadap lantai, sementara 3 saudaranya mulai bernyanyi.


Anehnya, ketika sa’Diah telungkup, ia merasa, ada pemain ke 4 di antara mereka, meski begitu, sa’Diah lebih takut tentang suara lain yang ia dengar, suara yang tidak pernah ia kenal. sampai akhirnya, ia mencium aromanya, aroma kambing itu, kembali. Di antara mereka


Ketika sampai di lirik “sapa ngguyu ndelikake” maka sa’Diah mulai membuka matanya, menatap ke 3 adiknya, tanpa tahu dimana ia merasakan pemain ke 4 itu berada, semua wajah adiknya mengisyaratkan ekspresi yang sama, pucat dan begitu datar, tidak seperti adik-adiknya selama ini.


Sa’Diah menunjuk Atun, ia memilih tangan kirinya, maka Atun membuka tanganya, dan batu kerikil itu tidak ada disana, sekarang ia menunjuk Rina, Rina juga sama, di atas telapak tanganya, batu itu tidak di temukan, maka, Diah harus kembali menjadi pak Empoh..


Hal ini terus terjadi lebih dari 7 kali, ketika sa’Diah mulai telungkup lagi, terdengar suara tertawa yang membuat sa’Diah tidak nyaman, seolah-olah, ketiga adiknya mengerjainya, bahwa sebenarnya, batu itu memang tidak pernah ada bahkan sejak permainan di mulai.


Menunggu, sa’Diah menunggu ketiga adiknya mulai menyanyikan liriknya, namun, mereka tak kunjung menyanyikanya, bingung, sa’Diah ingin membuka matanya namun ia ingat, ia adalah pak Empo dan tidak di ijinkan baginya membuka mata sampai nyanyian di senandungkan. saat itu, bisikan itu terdengar.


“MATI”


Suaranya begitu dingin, dan menusuk. ia tahu, itu bukan suara adiknya, apakah itu suara pemain ke 4 yang sedari tadi ia rasakan.


Angin dingin tiba-tiba berhembus, sa’Diah terjebak dalam keheningan yang membuat ketakutan memenuhi isi kepalanya.


Di tengah sa’Diah menunggu, terdengar suara familiar yang membuat sa’Diah tersentak.


“Lapo koen nang kene!!” (ngapain kamu ada disini?)


Sa’Diah melihat ibu Robiah, menatapnya dengan tatapan tajam.


Tidak hanya bu Robiah yang membuat sa’Diah kaget, rupanya, ketiga adiknya tidak ada disana, jadi sedari tadi, berarti, sa’Diah hanya sendirian disini.


Meski amarah bu Robiah meluap-luap, sa’Diah hanya diam, tak terfikirkan untuknya menceritakan semuanya, dan ketika Diah masuk kamar, ia melihat ketiga adiknya tertidur lelap, termasuk Atun yang sedari tadi nampaknya tidak pernah terbangun dari ranjangnya, hanya saja. Aroma kambing itu belum juga hilang dari penciuman di hidungnya.


Sejak malam itu banyak kejadian yang terjadi, dan rumah sa’Diah suasananya sudah sangat berbeda, namun ada satu hal yang Diah ingat, entah sejak kapan, rumahnya jadi sering di lewatin oleh seseorang yang sa’Diah kenal, Safi.


Dukun beranak itu, kadangkala melewati rumahnya seperi mengawasi.


Tidak hanya itu, Atun adik bungsunya juga mulai aneh, dia seringkali menjauhkan diri dari ketiga kakaknya, tidak mau makan sampai sering terlihat menyendiri, hal ini, membuat sa’Diah curiga, ada yang di sembunyikan oleh Atun, puncaknya, saat Atun muntah di kamar.


Muntahnya sendiri, bukan muntah sembarangan, melainkan muntah darah kehitaman.


Darah yang seperti sudah lama mengendap dalam tubuhnya.


Bu Robiah yang paling khawatir, namun pak Wanto tampak tidak perduli, beliau masih sering pergi entah kemana dia berada.


Sampai akhirnya, perlahan-lahan, penyakit misterius yang menyerang Atun berujung pada nyawanya. Ini terjadi tepat di malam hari, Atun berteriak seperti orang yang kerasukan.


Diah dan kedua adiknya hanya bisa melihat Atun yang mencakar-cakar badanya, tidak hanya itu, ia juga menghantamkan kepalanya ke semua benda di sekelilingnya, membuat tetangga berkerumun datang.


Mobil Carry tua, milik pak Lurah sampai terparkir di depan rumah bu Robiah, berniat membawa Atun ke rumah sakit terdekat.


Sembari orang-orang mencaritahu dimana keberadaan pak Wanto. Hingga tepat subuh, di rumah sakit, Atun meninggal dunia.


Suasana Rumah bu Robiah ramai orang, dan seseorang yang paling di cari itu muncul. Pak Wanto pulang dengan mata marah mengawasi, semua warga tampak geram dengan apa yang pak Wanto lakukan, entah apa itu, sa’Diah hanya menatap nanar wajah Atun terakhir kalinya, sebelum liang lahat menutupi wajah adik bungsunya. Yang ia tahu, meninggal dengan cara yang tidak wajar.


Hanya Diah yang tau, bahwa sebelum Atun meninggal, ia menyerupai wujud seekor kambing.


Di tengah duka itu, sa’Diah mencuri dengar pak Wanto dengan seseorang, ia kenal dan tahu siapa itu.


Mbah Safi, tampak bersitegang dengan bapaknya, entah apa yang ia bicarakan, mbah Safi hanya mengatakan “Wes ta lah, marinono timbang kabeh anakmu di jupuk nang ngarep raimu” (sudah, hentikan saja semuanya, sebelum semua anak-anakmu, di ambil di depan mukamu)


Dengan wajah tak berdosa, pak Wanto hanya menjawab pelan.


“Guk urusanmu” (bukan urusanmu)


“Wedus Gibas” (Kambing Gibas= Kambing kotor/berbulu) “itukah jenis perewangan sing nuntun awakmu” (itukah jenis iblis/jin yang menuntunmu)
“Mbok Sartem gak salah, pancen pantes anak iblismu mati”(Mbok Sartem tidak bersalah sepenuhnya, memang anak iblismu pantas mati)


Mbah Safi pergi, meninggalkan pak Wanto sendirian, namun di matanya, ia tahu, ia tidak atau lebih tepatnya, belum mau berhenti untuk memulai semua ini.


Iblis masih berbisik di telinganya.


Kematian Atun banyak menimbulkan pertanyaan, selain hal itu, banyak warga yang juga melihat gelagat aneh pada pak Wanto, namun tidak ada yang berani menegur apalagi bertanya apa yang sedang pak Wanto lakukan.


Lamban namun pasti, rumor keluarga pak Wanto menyebar bagai penyakit.


Namun satu hal yang di inget temen gw.


Pak Wanto yang di kenal warga bermata pencaharian sebagai buruh tani, tiba-tiba menjelma menjadi orang yang kaya raya. tidak ada yang tahu darimana dia mendapatkan sumber kekayaan itu.


Sebegitu kayanya, sampai mampu membeli tanah luas.


Tanah yang ia beli adalah tanah dimana kebun jati itu berdiri.


Di bangunlah rumah besar dengan 2 lantai, lengkap dengan semua tetek bengek menyerupai orang kaya baru. sampai sini, masih tidak ada yang berani mempertanyakan darimana sumber kekayaan itu.


Mulai banyak orang membicarakan tentang, pesugihan, bersekutu dengan setan, atau melakukan tindakan ilegal. akan tetapi, tidak ada yang bisa membuktikan ucapan itu.


Satu hal yang membuat warga semakin curiga, setiap hari, di depan rumahnya, terparkir mobil mewah berbagai merek.


Mobil-mobil itu berjejer di depan rumah pak Wanto, sampai-sampai seperti melihat pemandangan hajatan anak presiden, tidak hanya itu, kampung ini jadi ramai oleh wajah-wajah baru yang selalu berseliweran di depan rumah pak Wanto.


Disini, warga mulai resah, dan mulai mencari tahu.


Selidik demi selidik, rupanya, entah sejak kapan, pak Wanto menjadi tabib yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit dengan cara memindahkan penyakitnya ke tubuh binatang.


Binatang itu adalah seekor kambing.


Kambing ini, khusus dan harus sesuai oleh arahan pak Wanto.


Bisa di bilang, setiap kambing memiliki ciri khas khusus dan hanya pak Wanto yang tahu model kambing seperti apa yang harus di bawa oleh mereka yang ingin mencari jalan sembuh lewat jalur yang menurut beberapa orang di percaya, sesat.


Dari sini, kita akan mulai masuk ke inti ceritanya. Cerita yang dulu sempet bikin gw penasaran dan melihat langsung lokasinya.


Malam ini di selesaikan apa tidak??


Kalau sampai habis bisa lewat jam 12?? atau di cicil lagi??


Ada hal yang menarik, semenjak berita kehebatan pak Wanto ini menyebar, banyak keanehan yg membuat warga curiga, salah satunya adalah, tidak ada lagi yang pernah melihat bu Robiah, Yuni dan Rina. Padahal kabarnya, beliau ada di dalam rumah besar itu, yang sekarang, di jaga ketat.


Hanya anak sulungnya saja yang sering keluar rumah, itu pun tidak ada warga yang berani mendekat, semua ini tidak lepas dari kejadian-kejadian mengerikan setiap kali bersinggungan dengan keluarga pak Wanto.


Kabarnya, sesiapa yang membenci keluarga ini, selalu mendapat sial.


Namun, ada satu cerita yang pernah atau sempat menyebar, dimana ada warga yang tidak sengaja melihat sesuatu ketika melewati rumah pak Wanto malam hari.


Di jendelanya, ia melihat bu Robiah, rambutnya panjang tergerai, di wajahnya, ia tampak memelas meminta tolong.


Terlepas asli atau tidaknya cerita itu, warga tetap merasa ngeri, seperti ada yang ganjil di rumah sebesar itu. Di sinilah, baru terbuka satu rahasia kecil, konon, ada satu kamar yang tidak boleh di masuki sembarangan orang.


Bahkan, pasien-pasien pak Wanto, di larang masuk kesana


Safih, di usia uzurnya, tidak pernah ia berpikir menyaksikan fenomena Wungkuk ireng, namun, semenjak kejadian itu, berbulan-bulan ia tidak lagi bisa tidur nyenyak, setiap malam, makhlu itu terus dan terus mendatangi mimpinya, hari ini, pintunya di ketuk oleh seseorang.


Sa’Diah, awalnya ragu. Namun, ia melihat tatapan mata kosong membuat Safi akhirnya mempersilahkan masuk anak yang juga lahir dari buah kerja kerasnya dulu.


“Ono opo ndok. Gak biasane awakmu mrene” (ada apa nak, gak biasanya kamu kesini)


Sa’Diah masih diam, menimbang maksud kedatanganya


“Mbah” kata Diah, ia sudah bertekad membagi ketakutanya pada seseorang yang mungkin tahu langkah apa yang harus ia perbuat atas peristiwa yang menimpa keluarganya. “Ibuk. Ibuk, jadi Gila”


Safi hanya diam, matanya menerawang jauh.


“Adik-adikmu piye” (adikmu bagaimana?)


Heran bercampur bingung, seperti Safi tau apa yang terjadi di dalam rumahnya. Seharusnya tidak ada yang tau apa yang terjadi, mengingat bagaimana si bapak menutup semua akses peristiwa di dalam rumahnya


“Rina. Lumpuh mbah”


Saat itulah, wajah tua yang lelah itu akhirnya menangis


“Lumpuh yo opo maksudmu?” (Lumpuh bagaimana maksudmu?)


Sa’Diah mulai menceritakan semuanya. di mulai ketika pertama mereka menginjakkan kaki di atas tanah itu, sa’Diah tau, dimana Rumah itu di bangun, apalagi bukan, di atas Tanah dimana Diah menyaksikan adik bungsunya dulu. Atun malam itu. masih teringat suara marah dan penuh kelakar ibunya agar pak Wanto menyudahi apa yang sudah ia lakukan. bukan tidak tahu, namun bu Robiah sangat memahami apa yang sedang pak Wanto lakukan. Termasuk setiap malam, kemana pak Wanto berada. Apalagi bila bukan, bersekutu, rupanya, bebauan amis yang awalnya bu Robiah tidak tahu itu tercium dari aroma mulut pak Wanto, perlahan, kejanggalan itu semakin terungkap manakala bu Robiah sampai harus berpuasa dan sholat malam, yang konon membawanya untuk menyaksikan suaminya, pak Wanto, tengah mengunyah cempe(anak kambing) yang dahulu tidak di temukan arah batangnya, ternyata terkubur di belakang rumahnya. Tidak hanya itu, di mimpi yang membuat bu Robiah tidak bisa bersikap tenang itu, ia melihat, pak Wanto selalu membawa anak itu di punggungnya.


Pose sedang menggendong anak itu adalah gambaran dari orang yang tengah memelihara iblis dalam hidupnya.


Namun, pak Wanto memilih bungkam, dan selanjutnya, terorr itu mulai membuat bu Robiah kehilangan akalnya. Sa’Diah masih ingat, bagaimana akhirnya ibunya mulai kehilangan akal sehatnya saat mulai menangis.


Safi hanya mendengarkan, sementara sa’Diah seolah bingung apakah ia harus melanjutkan ceritanya.


Sampai akhirnya kalimat itu terucap.


“Mari Rina, Yuni sing bakal nampani duso bapakmu, baru mari iku, awakmu ndok” (setelah Rina, yuni yang akan menerima dosanya, baru setelah itu kamu yang akan menanggungnya).


Sa’Diah adalah salah satu gadis primadona kampung ini, namun tidak ada yang menyangka ia memiliki garis nasib yang sial. Meski begitu, ia tahu, mbah Safi masih menyembunyikan banyak hal, namun entah apa yang di sembunyikan sepertinya menyangkut misteri tentang bapaknya


“Kulo kudu yok nopo mbah?” (saya harus apa mbah?)


Ia menatap wanita tua yang tampak salah tingkah, seperti dugaan sa’Diah ada rahasia yang di sembunyikan, maka mbah Safi mengatakanya hari itu juga.


“Petangbelas dino tekan sak iki, mbalik’o mrene, aku onok seng arep tak kek’no” (Empat belas hari dari hari ini, kamu kembali lagi kesini, ada sesuatu yang harus ku berikan)


Sa’Diah bersiap pamit, namun, mbah Safi memanggil lagi.


“Sek sek ndok” (sebentar nak). Mbah Safi masuk ke dalam kamarnya, kemudian keluar membawa 4 helai bunga kamboja, ada firasat aneh ketika Diah menerimanya.


“Gowoen. mbah gak isok teka ngelayat” (bawa aja, mbah tidak bisa dateng melayat)


kaget. Sa’Diah bertanya apa maksudnya, namun mbah Safi mengantar sa’Diah keluar lalu menutup pintu gubuknya rapat-rapat. Tersimpan tanda tanya besar dalam benak sa’Diah ketika ia pulang. Namun, 4 helai bunga kamboja, apalagi bila bukan pertanda kematian.


Pertanyaan sa’Diah terjawab ketika di jalan ia bertemu beberapa orang, mengamatinya dengan mimik wajah prihatin, dan ketika sa’Diah sampai di depan rumahnya, ia melihatnya, bapaknya, pak Wanto sudah menunggunya dengan mata berapi-api. “Tekan ndi koe?” (darimana kamu?)


Sa’Diah tidak menjawabnya, ia fokus melihat apa yang ada di belakang bapaknya, disana, ada 2 jasad yang di tutup selendang. Ketika ia mendekat, adiknya Yuni memberitahunya.


“Mak, ambek Rina gak onok mbak” (ibuk sama Rina meninggal kak)


Detik itu, waktu seperti berhenti.


Sa’Diah diam, mematung, lalu berujar dengan nada penuh kebencian.


“PENGIKUT IBLIS LAKNAT”


Teriakanya membuat semua hadirin yang melayat diam, tidak ada suara. Hanya tatapan benci, anehnya, pak Wanto bersikap tenang, ia membiarkan sa’Diah pergi, berlari menuju kamarnya.


14 Hari, bukan waktu yang sebentar.


Selama 14 hari itu juga, bapaknya tidak pernah mengijinkan pengajian atau apapun yang berhubungan dengan agama, hal yang tentu menjadi perhatian warga kampung, banyak dari mereka yang mulai curiga dengan ucapan Diah, benarkah iblis itu ada?.


Sore buta, sa’Diah pergi ke rumah mbah Safi, dan ketika mbah Safi melihat Diah, wajahnya penuh dengan teror.


“Ayo ndok melbu ndok, cepet” (ayo masuk nak masuk, cepat)


Ia menyuruh Diah duduk, sementara mbah Safi masuk ke dalam kamar. Ia keluar dengan membawa kain putih di robeknya kain itu, lalu di berikan ke tangan Diah. Terjadi keheningan dalam waktu lama sampai Diah bertanya.


“Opo iki mbah?” (apa ini mbah?)


“Rungokno ndok, rungokno, aku bakal ngasih tau, opo sing terjadi ambek bapakmu kui” Diah bisa melihat bibir mbah Safi gemetar, “kafan”


“Iki ngunu kain kafan” (ini itu kain kafan)


Jantung sa’Diah seperti mau copot, pantas ia mencium bebauan busuk di kain itu.


“Kain kafan sinten niki mbah” (kain kafan siapa ini mbah?)


“Kain kafan’e mbok Sartem” (kain kafanya mbok Sartem)


“Mbah bongkar kuburan mbah Sartem” (Mbah membongkar makamnya mbok Sartem)


“Sek ta lah ndok, rungokno dilek” (sebentar ya nak, dengarkan dulu), “sing garai mbok Sartem mati, iku bapakmu” (yang membuat Mbok Sartem meninggal adalah bapak kamu)


Hari itu sa’Diah seperti di sambar petir.


“PalaWijah” kata mbah Safi “Makhluk iki lah seng gowo balak nang keluargamu, sak iki, simpenen kain kafan iki nduk, trus rungok’ke pesenku” (PalaWijah, adalah nama makhluk ini, bawa kain kafan ini, simpan di dekat kamu, lalu dengarkan pesanku ini)


“Ojok turu nisore jam rolas yo”(jangan tidur di bawah jam 12 ya)


“Opo iku PalaWijah mbah?” (apa itu PalaWijah)


Mbah Safi seperti tidak ingin melanjutkan percakapan ini, ia menenggak kopi hitamnya, lalu mulai bercerita.


“Ceritane, dowo ndok, tapi awakmu kudu eroh” (Ceritanya panjang tapi kamu harus tahu)


“PalaWijah, iku wedus njelmo menungso” (Palawijah adalah kambing yang menjelma manusia)


“Biyen, onok wong sing ngelahirno anak ra normal, awak menungso, tapi ndas wedus” (dahulu ada orang yang melahirkan anak tidak normal, badan manusia tapi kepala mirip kambing)


“Ceritone, jabang bayi iku di kubur nang kene, deso iki” (kabarnya, anak bayi itu di kubur disini, di desa ini)


“Tapi ra onok sing eroh enggon pastine” (tapi tidak ada yang tahu dimana tempat pastinya)


Nek jare mbok Sartem, bapakmu sing nemu kuburane (kalau kata mbok Sartem, bapakmulah yang menemukan kuburanya)


Jenenge’e Demit (namanya iblis) paling pinter mbujuki menungso, bapakmu keblobok ambek Demit siji iki” (pintar menipu manusia, bapakmu sudah terjerumus sama iblis satu ini)


Wes, sak iki muleho, pesenku siji, ojok sampe ilang kain kafan iki” (Sudah, kamu pulang saja, pesanku cuma satu, jangan sampai hilang kain kafan ini)


Seperti apa yang di katakan, mbah Safi, Diah tidak pernah lagi tidur di bawah jam 12, ia sengaja mengikat kain itu di pergelangan tanganya seolah-olah itu gelang penjaganya. Dan di malam yang entah keberapa, Diah ingat, ada satu kamar di dalam rumahnya yang tidak pernah ia masuki.


Malam ini, pak Wanto pergi sedari sore tadi, di luar tengah hujan lebat, hanya ada Diah dan Yuni serta 2 pembantunya.


Dengan perasaan bimbang, sa’Diah pergi menuju ke kamar pak Wanto. kamar yang tidak pernah boleh di masuki siapapun.


Baru saja ia menutup pintu kamarnya. Sa’Diah di kejutkan oleh Yuni.


Yuni menatapnya dengan tatapan datar. Sebelum sa’Diah bertanya kenapa Yuni masih terjaga di jam malam seperti ini, tiba-tiba Yuni tertawa cekikikan, berlari meninggalkan Diah dengan wajah kebingungan.


Tanpa menghiraukan Yuni, sa’Diah tetap berjalan menuju kamar pak Wanto, tercium aroma wewangian yang biasa pak Wanto gunakan. Sangat familiar, namun memuakkan bagi sa’Diah yang sudah lupa bahwa ia punya figur seorang bapak


Ketika Diah tepat di depan pintu itu. ia tahu, ia tdk sendirian


Pintu yang biasa terkunci rapat malam ini, anehnya, bisa di buka dengan sangat mudah.


Maka, sa’Diah melesat masuk. Dan hal pertama yang sa’Diah lihat adalah, temboknya di tutup dengan kain hijau zambrud, suasana di kamarnya, membuat sa’Diah merinding. Ada rahasia di dalam sini.


Tanpa membuang waktu, sa’Diah mengamati setiap detail kamar ini, banyak topeng Anggon dari barong sampai Wurukan, (topeng mitos jawa), banyak keris terpajang di atas meja, lengkap dengan kemenyan yang di bakar di atas bak tanah liat kecil, namun, Diah terfokus menatap satu titik.


Ada keranjang bayi, yang di selimuti oleh sewek (kain yang di gunakan oleh ibu jawa) , di atasnya ada payung khusus Mayit, dan ketika sa’Diah mendekatinya, tiba-tiba badanya menjadi berat.


Berat sekali, seperti ada yang naik di atas punggungnya.


Saat itulah, sa’Diah sudah tidak sanggup lagi untuk mengangkat beban tubuhnya, tiba-tiba, tercium aroma yang sudah lama sa’Diah lupakan, bau lenguh seekor kambing.


Maka sa’Diah berbalik, mengamati, sesuatu yang sedaritadi mengikutinya.


Terkejut, sa’Diah melihat sosok jangkung dengan bulu hitam lebat, tanganya bengkor tak berjari, matanya merah menyala dengan hidung melesak keluar, di kepalanya, ada tanduk kecil, ia berdiri seperti tengah mengamati sa’Diah, yang membuat Diah mematung ngeri, caranya bergerak seperti penari jaipong dengan kepala miring ke kiri dan ke kanan, ketika ia bersiap mencengkeram sa’Diah, pintu terbuka dan pak Wanto berteriak dengan keras.


“Ojok Anakku seng mbarep!!” (jangan anak sulungku) suaranya bergetar marah, dan sa’Diah jatuh pingsan.


Sa’Diah terbangun di dalam kamarnya, masih setengah sadar, ia mendengar suara yang entah darimana datangnya. lirih, dan seperti putus asa, sampai Diah sadar, bahwa di hadapanya, berdiri pocong tepat di depan wajahnya.


Pocong itu adalah mbok Sartem.


Mbok Sartem lah yang sedari tadi berteriak minta tolong, namun sa’Diah ketakutan setengah mati, melihat langsung 2 makhluk yang wujudnya tidak pernah sa’Diah bayangkan, membuat sa’Diah sampai berpikir lebih baik ia pingsan lagi, dan harapanya terwujud, karena sekarang, yang ada di hadapanya adalah bapaknya.


Pak Wanto, yang tengah menatap Diah dengan wajah penuh amarah sembari mengangkat sesuatu yang Diah kenal. “sopo sing ngekek’i barang iki gok awakmu?” (siapa yang baru saja memberimu ini?)


Sa’Diah menatap takut bapaknya, ini pertama kalinya ia melihat bapaknya semarah itu.


Di depan sa’Diah, bapaknya kemudian membakar gelang yang terbuat dari kain kafan mbok Sartem.


Namun semenjak hari itu, setiap malam, sa’Diah selalu merasa di awasi, makhluk yang ia lihat di dalam kamar pak Wanto apakah itu yang di maksud oleh mbah Safi.


Maka, ia berkeinginan untuk menemui mbah Safi kembali, sampai, sa’Diah baru sadar, di depan pintu kamarnya, Yuni melihatnya..


Yuni mendekati sa’Diah yang berbaring di atas ranjangnya. Lalu kemudian mengatakan. “mbak ayo maen cublek cublek suweng”


Diah hanya diam, ia tidak tahu harus menjawab apa, permainan ini mana bisa di mainkan hanya oleh 2 orang.


“Ora isok ta yun, yo opo carane” (gak bisa lah yun memang gimana caranya)


“Lapo gak isok?” (kenapa gak bisa?)


“Sopo maneh sing maen, nek wong loro ora isok” (siapa lagi yang main, kalau berdua mana bisa?)


“Iku” Yuni menunjuk sa’Diah.


“Onok Atun karo Rina gok pinggir sampeyan” (itu ada Atun sama Rina di samping mbak)


Maka, malam itu, ia menemani Yuni, berpura-pura ikut bermain, yang entah bagaimana caranya, ia merasa Yuni seperti benar-benar merasa ada Atun dan Rina, 2 adiknya yang sudah meninggal terlebih dahulu.


Semenjak saat itu, sa’Diah merasa semakin lama, semua semakin aneh.


Meski kain kafan yang di beri oleh mbah Safi sudah di bakar oleh pak Wanto, namun sa’Diah masih merasa bahwa sesuatu tetap mengawasinya.


Di suatu malam, tanpa sengaja, sa’Diah melihat ke halaman belakang rumahnya, tempat dimana, sore tadi, pak Wanto mendirikan sebuah ayunan tua.


Ia melihat bapaknya. Pak Wanto, tampak berdiri sendirian, menyendiri, menatap ayunan di depanya yang tengah bergerak-gerak, tanpa ada yang mendorongnya.


Penasaran, sa’Diah mendekat ke jendela.


Di lihatnya lebih jeli, apakah matanya tidak salah melihat hal itu.


Mengikuti naluri penasaranya, sa’Diah berjalan turun, berharap bisa mendekat, mencari tahu apa yang bapaknya lakukan disana..


Sampailah ia di dapur rumah. Tempat dimana jarak antara dirinya dan pak Wanto tidak begitu jauh, disana, ia mendengarnya. Pak Wanto tampak sedang berbincang


Yang jadi masalahnya. Tidak ada siapapun disana, kecuali pak Wanto, dan ayunan yang bergerak dengan sendirinya. Sampai, Diah di kejutkan dengan suara familiar yang ia kenal.


“Atun muleh ya mbak” (Atun pulang ya kak)


Kaget. Sa’Diah melihat Yuni, sudah berdiri di belakangnya.


“Atun” bingung, Diah mengulanginya.


“Nggih mbak, niku, onok ibuk ambek Rina sisan, gok kunu” (iya kak. itu lihat, ada ibuk juga sama Rina disana)


Diah tidak mengerti apa yang terjadi di dalam keluarganya, apakah hanya dirinya yang tidak bisa melihatnya. sampai, ia mengingatnya


“Yun” kata Diah


“nggih mbak” (iya kak)


“Koen tau ndelok gak menungso sing raine koyok wedus, duwur, wulune ireng, nang sirah’e onok sungu” (kamu pernah lihat gak ada manusia, wajahnya menyerupai kambing, tinggi, berbulu hitam, di kepalanya ada sepasang tanduk)


Yuni mengangguk


“Adik” ucap Yuni, seraya menunjuk sa’Diah.


Sa’Diah terdiam, mencoba mencerna maksud perkataan Yuni “Adik?” sampai sa’Diah baru sadar, Yuni tidak menunjuk dirinya, namun, ia menunjuk sesuatu di belakangnya.


Sosok yang sa’Diah bicarakan, rupanya sedari tadi berdiri di belakang sa’Diah.


Yang ia ingat kemudian, sa’Diah merasa sentakan kuat, mencengkram lehernya, menghantamkannya ke lantai. Suara terakhir yang ia dengar adalah suara pak Wanto. Berteriak marah dan mengatakan.


“Ojok anak Mbarepku!! ojok” (jangan anak pertamaku, jangan).


Lalu, semuanya menjadi gelap.


Andi, usianya beum genap 13 tahun, saat kejadian ganjil itu terjadi di kampungnya, keseharianya hanya mendengar desas-desus yang semuanya sama, membicarakan sebuah keluarga.


Keluarga yang konon, bersekutu dengan Iblis. Hal itu terjadi, saat berita kematian Yuni, sekali lagi, menggegerkan kampungnya.


Warga mulai resah, bahkan sebegitu resahnya, setiap malam, di balai desa, bapak-bapak atau kepala keluarga berkumpul guna mencari jalan, dimana sempat tersebar bahwa, Iblis itu konon sering menampakkan diri dan menyebar terror.


Warga memanggilnya dengan “PalahWija”


Semua tahu apa itu “palahWija” dan peristiwa ini bukan pertama kali terjadi di kampung ini.


Palahwija atau yang berarti Rupa kambing, biasanya hidup di sebuah keluarga, namun, kehadiranya biasanya mendatangkan, kekayaan, kemasyuran, hanya saja, imbal balik dari semua itu adalah nyawa anak-anak keluarga yang memelihara Palahwija.


Biasanya di mulai dengan anak termudanya hingga sampai anak tertua di keluarga tersebut.


Yang jadi masalah adalah, setelah anak-anaknya habis, palahWija tidak berhenti untuk mencari tumbal, yang ia incar selanjutnya adalah, anak termuda dari tetangga si pemelihara.


Hal ini, membuat warga mulai membicarakan ini dengan serius.


Sebelumnya, tidak ada yang percaya dengan berita bahwa pak Wanto memelihara Palahwija, namun, serentetan kejadian yang terjadi, dimana anak-anak pak Wanto yang meninggal secara tidak wajar, membuat warga mulai yakin.


Andi, yang sebegitu tertarik dengan ini, mencari tahu, kematian Yuni, dimana sebelumnya ia sampai koma selama 7 hari.


Kejadianya sendiri masih simpang siur, ada yang mengatakan Yuni terjatuh dari anak tangga, ada yang mengatakan Yuni terjatuh di kamar mandi hingga saraf di kepalanya rusak, namun, satu hal yang Andi tahu adalah. Yuni tidak pernah memejamkan matanya, bahkan ketika ia meninggal, mayat Yuni, tertidur di liang lahat dengan mata masih terbuka.


Satu perubahan yang Andi sangat rasakan adalah, perubahan kepada kakanya, sa’Diah.


Sa’Diah yang terkenal ramah dan supel kepada tetangga, lebih banyak murung dan bahkan batang hidungnya tidak lagi terlihat berjalan ke kampung-kampung, kabar terakhir mengatakan, sa’Diah tau sesuatu.


Depresi adalah gambaran yang tepat untuk menjelaskan kondisi sa’Diah, setidaknya itu yang Andi dengar dari percakapan ibuk dan bapaknya.


Di tengah masalah yang entah tiada berujung ini, Andi mendengar sebuah kabar mengejutkan. Apalagi bila kabar tentang meninggalnya seseorang.


Sa’Diah Muninggar, di temukan tewas dengan kondisi kendad (tergantung) di dalam kamar di rumah besar miliknya.


Sontak berita itu tidak hanya menghebohkan warga kampung, namun, membuat resah, bahwa memang ada yang salah dengan keluarga pak Wanto.


Mengerikanya kisah ini, adalah Pak Wanto sama sekali tidak menunjukkan ekspresi sedih. Bahkan, ada yang pernah melihat pak Wanto, tampak tersenyum, melihat jasad anak yang seharusnya menjadi satu-satunya, yang ia jaga, namun berakhir dengan kematian yang tragis.


4 kematian. Yang kesemuanya menyimpan teka-teki. Warga kampung, sehingga keyakinan warga untuk mengusir pak Wanto tidak terbendung.


Hanya saja. Warga masih di seliputi rasa ngeri, karena kabarnya, pak Wanto menunjukkan gelagat tidak takut sama sekali dengan sikap warga yang menolak keras-keras untuk hidup berdampingan dengan manusia yang menyekutukan tuhan.


Ada kejadian aneh yang mulai bermunculan, salah satunya adalah, konon, setiap jam menunjukkan pukul dua belas malam, terkadang, warga melihat seseorang wanita melintas di jalanan kampung.


Sosoknya menyerupai sosok yang familiar, “Sa’Diah” itulah sosok yang sering di lihat warga.


Yang menakutkan dari sosok yang menyerupai sa’Diah adalah, cara berjalanya yang seperti cara berjalan orang yang kewalahan menahan kepalanya, seolah kepalanya akan jatuh sewaktu-waktu, dan setiap di dekati warga, sosok ini akan menghilang dan meninggalkan suara menangis, setiap hari, muncul cerita-cerita baru yang mengaku bahwa ia melihat sa’Diah berjalan di depan rumahnya, terkadang, sa’Diah berhenti di depan rumah, seperti memperingatkan.


Puncaknya adalah, di sebuah rumah, dimana baru saja lahir bayi kecil, sa’Diah setiap malam, datang kesana


Sosok sa’Diah akan mengetuk pintu rumahnya, dan bila di lihat dari jendela, wajah sa’Diah akan terlihat di depan rumah, berdiri sendirian di tengah kegelapan malam.


Namun, ketika pintu di buka, sosok itu lenyap entah kemana. hal ini, membuat warga yang bersangkutan ketakutan Mbah Safi lah yang pertama memperingatkan agar senantiasa menjaga bayi kecil itu. Karena kemunculan sa’Diah bisa menjadi sebuah pertanda, pertanda yang kemungkinan sangat buruk.


Di malam yang entah keberapa, ibu dari bayi kecil itu tidak bisa tidur akibat bayi kecil di sampingnya terus terjaga dan menangis terus menerus, si bapak sedang keluar dan tidak ada di rumah.


Bayi itu, menangis seolah ada sesuatu yang menganggunya.


Sampai, terdengar ketukan, ketukan itu membuat si ibu kebingungan, tidaklah mungkin bertamu di rumah orang tengah malam seperti ini, awalnya, ia mengabaikan ketukan itu, namun, semakin lama, ketukan itu semakin keras, di liputi rasa takut, si ibu melangkah ke pintu.


Meninggalkan jabang bayi di dalam kamar


Ketika ia memeriksa siapa yang bertamu malam-malam begini, wajahnya di liputi shock luar biasa, karena sesiapa yang bertamu adalah seseorang yang ia kenal.


Sa’Diah atau siapapun yang menyerupai sa’Diah menatapnya dengan tatapan mendelik, kemudian menunjuk sesuatu, sebuah arah, arah yang di tunjuk sa’Diah adalah kamar tempat si ibuk meninggalkan bayinya, dengan wajah khawatir dan tergopoh-gopoh, si ibuk kembali ke kamar, namun yang ia dapati adalah sosok makhluk hitam besar, tengah mencengkram jabang bayi dengan tanganya yang di penuhi bulu hitam.


Si ibuk berteriak keras, membuat makhluk hitam besar itu lenyap, warga pun berkumpul, suasana saat itu ramai, warga berbondong-bondong mencari tahu apa yang terjadi, namun, semuanya terjawab saat melihat, ibu dari bayi yang baru lahir itu tengah menangis histeris, di depanya bayi kecilnya, di temukan meninggal dengan kondisi kulit dingin.


Warga yang melihat itu, tak habis pikir, sampai terdengar seseorang berseru. “Wanto sing mateni bayi iki” (Wantolah yang membunuh bayi ini)


Teriakan itu di sahut oleh warga lain, membuat gaduh suasana saat itu.


Tanpa membuang waktu, Warga yang marah, bergerusuk menuju rumah pak Wanto, bersenjatakan sajam, dan obor, Warga berteriak riuh, meneriakkan nyawa harus di tebus dengan nyawa.


Sebegitu ramai saat itu, Andi yang menyaksikan kejadian itu, sampai merinding melihat wajah marah warga


Di depan rumah pak Wanto, warga menjebol pagar besi sembari berteriak-teriak, meminta pak Wanto keluar.


Penjaga rumah pak Wanto sampai menyingkir ngeri melihat banyaknya Warga yang datang entah dengan tujuan apa. Andi ingat betul, pak Wanto keluar dengan tampang biasa saja.


Yang pertama pak Wanto lakukan adalah, bertanya apa yang terjadi dan kenapa warga bertamu ke rumahnya malam-malam seperti ini.


Saat itulah, seorang dari warga menceritakan apa yang terjadi, namun pak Wanto tidak membantah sedikitpun ucapan warga itu, sebaliknya, pak Wanto malah menantang warga, bahwa tidak ada yang bisa mereka lakukan.


Ucapan itu membuat warga semakin gusar. Teriakan kemarahan terdengar disana-sini, Andi menyaksikan kejadian itu, dimana pak Wanto di sabit oleh sebilah parang tepat di bahunya oleh seorang warga.


Anehnya, parang yang seharusnya bisa mengoyak seonggok daging itu tampak tak berkutik di depan pak Wanto, malah warga yang menyabitkan parang itu, berteriak-teriak seolah sesuatu membuat lenganya menjadi bengkok.


Ngeri. suasana saat itu.


Warga pun semakin beringas menghujami pak Wanto dengan senjata yang mereka bawa.


Namun semuanya sia-sia. Tidak ada satu senjata pun yang bisa melukai pak Wanto.


Pak Wanto semakin angkuh dan mencibir warga bahwa tidak satupun orang yang dapat melukainya dengan apa yang mereka bawa, bahkan sebegitu menantangnya pak Wanto sampai menceritakan bahwa ia adalah orang sakti di kampung ini.


Namun, keadaan berbalik saat seseorang muncul dan berteriak, “Melbuo gok omahe Wanto, Bakar omahe bakar kamare” (masuk ke rumahnya, bakar rumahnya, bakar kamarnya)


Warga yang mendengar itu, membabi buta melesat masuk dan membakar semuanya.


Disini, wajah pak Wanto yang awalnya terlihat jumawa, tiba-tiba mulai panik, ia melesat ikut masuk ke dalam rumah, namun Warga sudah membabi buta membakar rumah itu.


Andi menyaksikan semua itu, di usianya yang saat itu menyaksikan hal seperti ini membuatnya tidak dapat berkomentar banyak.


Kobaran api merah menyala mulai terlihat disana-sini, disitulah, Andi mendengar, suara-pak Wanto berteriak-teriak, saat Warga menyeretnya, lalu mengguyurnya dengan minyak tanah.


Kobaran Api membakar pak Wanto.


Teriakan memilukan itu di saksikan oleh warga. Yang ia ingat kemudian adalah seseorang menariknya dari tempat itu, membawanya ke tempat jauh, namun, satu hal yang tidak dapat ia lupakan.


Teriakan pak Wanto yang terngiang-ngiang


Kejadian ini benar-benar menghebohkan. Kasus pembakaran ini sampai di liput media lokal, Andi inget, sebegitu hebohnya sampai menjadi Headline, hanya saja, Headline yang di tulis di beri judul berbeda. “Dukun cabul di bakar warga” terlepas dari itu, kejadian ini menjadi salah satu kejadian paling mengerikan di desa itu.


Seperti awal bagaimana cerita ini gw tulis, gw sampai repot-repot buat datang dan menyaksikan saksi bisu kejadian ini, yaitu, sisa Rumah yang kini menjadi rumah kosong tak bertuan.


Gw gak bisa komentar banyak setiap kali melihat rumah itu. Namun satu hal yang gw gak akan lupain.


Di atas rumah itu. Warga bercerita kadang, ia masih melihat sosok wanita yang tengah mengintip di kamar lantai 2 yang di yakini adalah sosok sa’Diah, namun yang masih Andi ceritakan dari peninggalan rumah ini adalah, PalaWijah yang dulu kabarnya, masih ada di atas tanah ini.


Tanah yang tidak akan ada satupun orang waras untuk tinggal di dalamnya.


well, sampai sini gw akhiri cerita ini.


Serius, dulu gw nger-ngeri sedap setiap kali inget waktu Andi ceritakan cerita ini. Dan untuk plot storynya, Andi bercerita dengan gaya sepotong-sepotong namun gw buat ulang dengan penyusunan cerita yang lebih terurut agar kalian bisa tahu kondisi kejadianya dari gaya bahasa gw(simpleman). Meski begitu, gw selipkan beberapa kejadian dengan mengambil intisari kengerian dan ketakutan yang Andi rasakan dari semua keluarga pak Wanto.


Untuk nama tokoh sendiri, itu bukan nama aslinya, karena gw gak mau menggunakan nama asli mereka, meski cerita ini di ambil dari kisah nyata mereka.


Sampai saat ini. rumahnya masih berdiri meski sudah sangat mengenaskan, di dekat rumahnya, sendiri sudah di bangun wahana wisata kolam renang jadi wilayah itu lebih ramai.


Meski begitu, suasana mencekam rumah ini masih terasa sangat kental.


Jadi, malam ini, gw akhiri cerita ini. pesan gw mungkin satu, jangan pernah menyekutukan Tuhan, karena sesungguhnya bujuk rayu setan atau iblis nyata adanya. Selamat malam, dan selamat melanjutkan aktifitas, gw simple_Man pamit.


sampai jumpa di thread gw selanjutnya.


Wassalam.


Sumber : SimpleMan