Penghuni RUMAH ROMBE



HORROR THREAD

Tidak ada yang tidak mengenal peristiwa ini, sebuah peristiwa yang dulu sempet membuat geger satu desa bahkan begitu mengerikanya tragedi ini sehingga membuat banyak orang begidik ngeri tiap melihat saksi bisu peristiwa ini.

Gambar cover rumah rombe

Ya. Benar. Itu adalah RUMAH ROMBE.


Sebelum gw mulai masuk ke bagian ceritanya, tidak ada salahnya bila gw kembali mengingatkan, bahwa peristiwa semacam ini sebenarnya banyak di sekeliling kita, hanya saja, apakah kita begitu peka untuk menyadarinya. Karena apa yang akan kalian baca, merupakan satu dari sekian banyak.


Peristiwa-peristiwa yang mungkin di luar nalar kita. Manusia kadang terlalu kecil untuk tau apa yang tidak seharusnya di ketahui, dan mungkin ketidaktahuan itu adalah hal yang membuat manusia dapat bertahan di tengah banyaknya kengerian di sekeliling kita.


Baiklah. Cukup untuk intronya, jadi. Mari kita mulai ceritanya.


Tahun 2005, gw udah kelas 5 SD, sebelumnya, gw akan tulis kembali dimana gw tinggal.


Gw tinggal di sebuah kecamatan dengan 2 desa yang di pisahkan oleh sungai kecil, jauh di hilir sungai ada sebuah pabrik gula, bekas peninggalan belanda. Kita tidak akan membicarakan pabrik itu


Karna nanti, akan ada waktunya untuk gw, mencertakan apa yang ada disna, ssuatu yang mungkin kadang gak bisa di terima oleh akal sehat. kita masuk ke desa gw lebih dulu, karena apa yang akan gw ceritakan adalah salah satu bagian kelam yang pernah gw saksikan dengan mata kepala gw sendiri.


Desa gw, dulunya adalah sebuah rawa-rawa, sungai yang membelah desa, gak lebih dari sungai kecil yang airnya mengalir dari sungai besar yang jauh di utara, karena Desa gw adalah bekas rawa-rawa membuat banyak orang berpikir ulang buat tinggal di tempat ini


Tapi, yang gw pernah denger dari cerita bapak soal desa gw, adalah, hanya ada 7 orang yang pertama kali tinggal di wilayah ini, itu sebelum desa ini resmi di kenal.


7 orang ini, adalah cikal bakal yg membabat habis semua tumbuhan liar dan pohon besar untuk di jadikan tempat tinggal.


Namun yang harus di ketahui, sebelum 7 orang ini, rupanya, ada 1 keluarga yang lebih dahulu tinggal di desa ini. Dia di kenal dengan nama Mbah puteri.


Wanita paruh baya yang tinggal seorang diri di sebuah rumah tua peninggalan belanda.


Disinilah keanehan itu terjadi.


Konon, dari cerita bapak. rumah mbah puteri, adalah sebuah rumah yang menakutkan. Ada perasaan ngeri setiap kali memandang, dan mbah puteri sendiri, hanya tinggal seorang diri, padahal, rumah itu, cukup besar untuk di tinggali sebuah keluarga besar.


Disinilah gw patut bangga, kenapa? karena 7 orang yang pertama kali membuka lahan di desa ini adalah kakek gw, sekarang gw tau, kenapa kakek gw, bisa membagikan tanah yang luas untuk 10 anaknya.


10 anak bayangkan.


Bapak sendiri adalah anak 3 dari 10 bersaudara.


6 orang lain, gw juga kenal. Usia mereka hampir sama dengan kakek gw, dan gw gak heran, tiap melihat mereka dan mendengar cerita bagaimana mereka menjadi yg pertama membuka lahan gw sangat bangga.


Tapi. Yanh gw ceritain gak ada hubunganya dengan mereka. Karena, cerita ini di mulai.


Dari rumah Mbah Puteri


Seperti yang gw bilang. Mbah puteri hanya tinggal sendirian, beliau tidak memiliki seorang anak, apalagi cucu. Jadi, apakah mbah puteri tidak memiliki suami?


Jawabanya. TIDAK.


Mbah puteri dahulu memiliki suami, namun, mereka sudah meninggal.


Apa gw baru saja bilang “mereka?”


Ya. Mereka yang gw maksud adalah lebih dari 1, Mbah Puteri pernah menikah lebih dari 14 kali. Awalnya gw gak percaya mendengarnya, maksud gw. Mana ada orang yang bisa menikah sampai 14 kali, tapi kemudian gw percaya ketika cerita itu muncul dari.


Nyokap gw sendiri.


Lalu, bagaimana bisa??


Jawabanya. Mbah Puteri rupanya bukan wanita sembarangan. Banyak yang mengatakan, beliau berdarah ningrat, sehingga ilmunya sangat tinggi, lelaki yang menikahinya tak lebih dari lelaki yang tertarik dengan paras ayu beliau, namun, konon, Mbah Puteri memiliki perewangan (pengikut) , yang tidak pernah suka, Mbah Puteri di nikahi oleh lelaki biasa, sehingga, banyak dari mereka yang akhirnya jatuh sakit kemudian meninggal.


Cerita sekedar cerita, mitos terkadang hanya sebuah cerita usang. Gw, kadang berpikir lagi.


Apakah itu benar?


Sayangnya, gw gak pernah bertemu dengan Mbah Puteri, seinget gw, tapi, nyokap selalu membantah tiap kali gw ngomong gw gak kenal sama mbah Puteri.


Nyokap akan bilang, bahwa waktu gw kecil, gw sering di gendong sama mbah Puteri dan beliau sangat menyukai gw.


Setiap denger nyokap ngomong itu, gw, selalu merinding.


Oke. Lalu, sekarang, apa hubunganya dengan RUMAH ROMBE?


Baiklah, setelah ini. Kita masuk ke menu utamanya.


Gw saranin buat kalian yg baca ini, gw gak niat buat menakut-nakuti kalian, atau membuat kalian berpikir bahwa apa yang gw tulis hanya omong kosong, tapi, gw cuma bisa bilang, KEJADIAN YG AKAN GW CERITAIN ADALAH SATU DARI SEKIAN BANYAK HAL YANG BISA MENIMPA SIAPAPUN.


Terkdang, kita gak sendirian.


Gw ceritain dari awal kisah ini di buka. Seperti yang gw bilang, waktu itu, gw masih kelas 5 SD pada tahun 2005.


Gw masih tinggal bareng kakek gw, dan tentu saja saudara-saudara bapak, karena orang jaman dahulu kebanyakan bertetangga dengan saudara kandung mereka sendiri, termasuk bapak.


Di depan rumah gw, sekitar 300 meter, ada sebuah rumah besar, megah, luasnya sendiri bisa 6 kali luas rumah gw.


Namun, semenjak pemiliknya meninggal, rumah itu, menjadi kosong.


Rumah itu, adalah rumah milik Mbah Puteri.


Setiap kali pulang ngaji, mau gak mau, gw bakal lewat samping rumah itu, dan entah kenapa, setiap melihat rumah itu, ada satu titik kecil, rasa penasaran yang buat kadang kaki gw seolah di ajak untuk masuk kesana.


Ya. seolah-seolah rumah itu bisa menarik rasa penasaran seseorang.


bertahun-tahun rumah itu di biarkan kosong begitu saja. Rumput liar sudah mulai tumbuh di halamanya, terkadang bila ada waktu bapak dan tetangga ikut memotong rumput, biar terlihat lebih rapi. Di depan rumah itu ada sebuah pohon mangga, pohonya, besar. Jauh lebih besar dari pohon mangga biasa.


Rumahnya sendiri menghadap ke utara. Tidak ada pagar di sekelilingnya, hanya 2 pintu dengan corak Eropa. Lantainya, masih menggunakan bahan tekel.


Gw pernah tanya nyokap, kenapa rumah itu di biarkan kosong, nyokap bilang, gak ada yg mewarisi tanah dan rumah itu


Sampai, suatu hari. Gw lihat, sebuah mobil kijang lama berhenti di depan rumah itu.


Rupanya, rumah itu sudah di beli, di miliki oleh seseorang, dan tidak akan lama lagi, rumah yg sudah kosong bertahun-tahun itu akan ada yang nempati lagi. gw, punya firasat buruk soal ini


Keluarga Rombe. Itu yang pertama gw denger waktu nyokap ngobrol sama bapak.


Keluarga Rombe bukan orang asli jawa, seinget gw beliau berasal dari Kalimantan.


Alasan kenapa beliau tinggal disini, adalah karena keluarga Rombe memiliki bisnis di bidang pembuatan bego (Sak untuk padi)


Keluarga Rombe di pimpin oleh ibu paruh baya, mungkin usianya sekiranya kalau gw gak salah 51 tahun, masih bugar, beliau menggunakan bahasa indonesia, belum bisa menggunakan bahasa jawa.


Beliau memiliki 3 orang anak, yang paling tua adalah Mas Romi. Usianya mungkin 21 tahun waktu itu. Anak keduanya adalah seorang perempuan, namanya Mbak Rachel usaianya sekitar 18 tahun, dan yg bungsu namanya Tomi, 14 tahun.


Penilaian gw tentang mereka, adalah, mereka keluarga baik-baik, bahkan baru pertama kali kenal mereka membagi-bagikan makanan ke tetangga, selain itu, mereka juga tidak pernah lupa menyapa tetangga. Bukan kriteria orang kaya yg sombong.


Lalu, semua di mulai pada saat itu.


Suatu malam, Bu Rombe pernah bermimpi. Beliau, di datangi oleh orang yang tubuhnya besar dan tinggi, kulitnya hitam pekat, sehingga wajahnya tidak kelihatan.


Tidak hanya satu, melainkan bergerombol.


Mereka, meminta bu Rombe mengikutinya. Gw inget, karena bu Rombe pertama kali menceritakan ini sama nyokap gw.


Gw cuma curi dengar, dan karena waktu itu gw cuma anak kelas 5 SD mungkin pikir nyokap gw gak akan mengerti. Gw bisa lihat, mata bu Rombe berair seperti menangis, bibirnya gmetar. Nyokap hanya mengatakan agar beliau tenang, sesekali mengelus bahu.


Kumpulan makhluk hitam itu, membawa bu Rombe bertemu dengan satu makhluk yang besarnya berkali-kali lipat dari makhluk yang membawanya, sebegitu besarnya, sampe bu Rombe tidak bisa melihat wajahnya.


Nyokap hanya mengatakan “Dalboh” (Hantu tinggi besar)


Saat bertemu. Bu Rombe mendengar makhluk itu berbicara, bahwa mereka tidak keberatan keluarga bu Rombe tinggal disini, namun, mereka mengingatkan, untuk berhati-hati selama tinggal di rumah ini.


Bu Rombe tidak mengerti maksud ucapan itu, gw cuma dengerin dan masih bisa lihat wajah ngeri bu Rombe.


Setelah itu, bu rombe terbangun begitu saja. Sejak saat itu, banyak kejadian janggal terjadi, dan ini semua hanya menimpa bu Rombe.


Mula-mula waktu bu Rombe mendengar suara bising di dapur, beliau pergi untuk melihat, dan ketika sampai di dapur, beliau melihat gayung melayang begitu saja. Awalnya ini semua masih bisa di tahan oleh bu Rombe, karena beliau adalah kristen yang taat.


Namun semakin lama, semakin menjadi-jadi. Kamarnya bu Rombe ada di dekat ruang tamu, di lorong pertama, di samping jendelanya, ada pohon jambu air.


Pernah waktu beliau sedang tidur, ada suara tawa cekikikan dari luar jendelanya, karena penasaran beliau mengintip lewat celah jendela, dan betapa terkejutnya beliau waktu melihat ada wanita bergaun merah duduk di salah satu tiang pohon jambu air, menatapnya dengan mata hitam.


Semua kejadian ini, hanya di ceritakan pada Nyokap. Karena rumah gw adakah rumah yang paling dekat dengan rumah bu Rombe, selain itu nyokap bila ada kesulitan keuangan, Bu rombe lah yang selalu membantu.


Nyokap pernah ngasih saran, untuk memanggil kiyai atau orang pintar.


Tapi bu Rombe menolaknya, beliau adalah umat kristen yang taat dan memanggil kiyai atau orang pintar tidak ada dalam imanya.


Namun bukan berarti bu Rombe pasrah dengan keadaan ini. Pernah ia, memanggil teman gerejanya. Seorang wanita uzur, dan ketika wanita itu menetap semalam, wanita itu menjerit tak henti-henti nya dan mengatakan bahwa rumah ini di bangun di tanah terkutuk.


Hal ini sempat membuat warga desa berkumpul, karena wanita itu terus berteriak dan menjerit, seperti kesetanan. Bu Rombe semakin takut.


Sementara anak-anaknya, tidak tau apa-apa.


Semua gangguan-gangguan itu, rupanya terus berlanjut, dan menjadi semacam rutinitas bagi bu Rombe, sampai beliau tau, dimana tempat dan siapa penunggunya. Hal ini, belum menimbulkan konflik kekerasan fisik.


Sampai. Bu Rombe kembali bermimpi. Mimpi yang sama, bertemu dengan makhluk hitam dan membawanya ke sosok besar dan tinggi itu lagi, kali ini suaranya marah, sangat marah sehingga Bu Rombe sampe menangis sejadi-jadinya keesokan harinya.


Konon, beliau marah, karena ada tamu yang tidak di undang.


Aampe sini, gw bakal masuk ke cerita yang sebenarnya. Cerita ini tidak berakhir di keluarga bu Rombe, masih ada 2 keluarga lagi yang akan tertimpa bencana ini.


Hari berganti hari, dan gw bisa lihat sendiri perubahan yang terjadi dengan bu Rombe, beliau menjadi lebih kurus, pucat, dan tampak letih.


Gw bisa menebak, bahwa mungkin tidur adalah hal yang paling dia hindari, mengingat ketika beliau bercerita ke nyokap bahwa makhluk itu semakin intens menganggunya. Menteror dengan nada marah yang bahkan Bu rombe sendiri tidak mengetahui sebabnya.


“Tamu tak di undang”


Nyokap selalu memberi saran agar bu Rombe mencari pertolongan, seseorang yang mungkin tau hal-hal yang menganggunya, namun Bu rombe selalu menolaknya.


Beliau percaya dengan kekuatan tuhan dan imanya.


Siang itu, gw lagi makan di teras, gw kaget waktu Mbak Rachel nyamperin gw.
“Mak dimana?” tanyanya, wajahnya panik.


“Gok pawon” (di dapur) kata gw.


Nyokap yang denger suara Mbak Rachel buru-buru keluar, air matanya sekarang keluar.


Nyokap segera berlari dengan mbak Rachel menuju rumah. Gw ikut di belakang mereka, begitu sampai di dalam rumah. Mbak rachel nunjuk kamar Bu Rombe, di bukanya pintu itu, dan seketika bau anyir bangkai tercium menyengat, begitu menyengat sampai gw gak mau masuk lebih jauh.


Tapi gw bisa lihat dengan mata kepala gw sendiri. Bu rombe tengah terduduk di atas ranjangnya, matanya merah baru menangis, kondisinya benar-benar gak karuan, kemudian, beliau muntah.


Muntah cairan hitam yang gw yakin bukan darah, warnanya hampir sama dengan darah mengering tapi itu bukan darah. Karena bau anyir busuk itu berasal dari cairan itu.


“Tolong” ucapnya, “Tolong”


Nyokap langsung lari, mencari Pak RT.


Pak RT datang dan beberapa warga, tapi ketika mereka masuk, gw inget, Bu Rombe malah tertawa cekikikan, kemudian berteriak lantang “METU” (Keluar)


Bingung. Itu yang gw yakin sekarang ada di dalam pikiran Pak RT dan bapak-bapak, karena setiap kali Pak RT mengingatkan untuk istighfar, bu Rombe justru tertawa, “Opo iku istighfar istighfar. Imanmu jek sak jentik’e tanganku gak usah gaya-gaya an”
(Apa itu istighfar istighfar. imanmu saja masih sekecil jari kelingkingku, gak usah pamer)


Tegang wajah semua orang, termasuk gw yang ada di baris paling belakang, sekedar mengintip, di luar rumah, orang-orang berbondong-bondong berdatangan, semakin rame.


Mbak Rachel kemudian mendekat “Kamu siapa, Mama mana bisa bahasa jawa”


“Makmu!!”(ibumu) dia tertawa lagi, lebih keras dari sebelumnya. “Aku guk Makmu cah wedon” (Aku bukan ibumu anak gadis)


Pak RT cuma menahan Mbak Rachel agar tidak mendekatinya, sampai Mbah Gimon muncul, beliau masuk ke kamar dan melihat langsung apa yang ada di depanya


“Demit ASU” (Setan Anjing)


Mbah Gimon, itu tetangga jauh gw, keseharianya hanya berkebun, tapi beliau pernah menghadapi hal semacam ini, yaitu ketemplekan (kesurupan)


Yag bikin gw takjub, Mbah Gimon tidak membaca Ayat suci untuk hal mistis semacam ini, karena setau gw cara itu yang di lakukan untuk mengusir, sebaliknya, Mbah Gimon hanya menekan jari kaki Bu rombe, lalu bu Rombe menjerit sambil memaki-maki.


Bapak-bapak inisiatif memegangi badan Bu rombe yang mulai mencakari wajahnya sendiri.


Setelah beberapa saat, bu Rombe jatuh pingsan.


Mbah Gimon kemudian melotot melihat ke kamar Bu rombe, seperti ada yang beliau cari. “gok ndi iki?” (dimana ini?) katanya


“Goleki nopo to pak?” (cari apa pak) kata warga yg kebingungan.


Mbah Gimon keluar dari kamar Bu rombe, berbelok masuk kamar Mbak Rachel, semua orang mengikuti, akhirnya, dia membawa keluar sebuah boneka beruang kecil.


“Koen oleh iki tekan endi ndok” (kamu dapat darimana ini nak)


Mbak Rachel yang awalnya kebingungan, lalu menjawab. “di kasih mbah, sama seseorang waktu pulang sekolah”


“Ojok-ojok, ojok ojok gelem yo nduk, lek onok seng kek’i”(jangan, jangan, jangan mau lagi ya nak kalau ada yang ngasih-ngasih beginian lagi)


Di robeknya boneka itu, dan di dalamnya, ada boneka kayu kecil, di ujungnya, ada beberapa helai rambut.


“Onok seng gak seneng ambek keluarga iki, pantes firasatku elek terus ben liwat omah iki”(ada yang gak suka sama keluarga ini, pantas saja firasatku jelek terus setiap melewati rumah ini)


Nyokap gw maju, dan menceritakan semua.


“Oalah ngunu tah” (oalah begitu tah) kata mbah Gimon.


Disnilah, Mbah Gimon akan membuka rahasia yang nanti bakal jadi bencana fatal bagi keluarga Bu rombe.


Bu rombe akhirnya tau apa yang menimpa mereka, termasuk maksud dari tamu itu yang rupanya, Mbak Rachel lah yang membawa benda asing masuk, ibaratnya ada tamu yang tidak di undang masuk ke kawasan yang padat makhluk begituan, hal itulah yang membuat mereka begitu murka.


Mbah Gimon bertanya pada Bu rombe, apakah beliau setuju bila urusan soal rumah ini di serahkan sama beliau, karena sejujurnya mbah Gimon tidak tega melihat bu Rombe di siksa dengan cara seperti ini.


“Saya Kristen, pak. Jadi kurang percaya hal begituan. Mohon maaf” ucap beliau


Gw yg selalu nempel nyokap mendengar mbah Gimon mengatakan.


“Jaga Gandrang. Iku seng neror awakmu, nek koen kepingin eroh” (Jaga Gandrang. Itu yg neror dirimu bila kamu ingin tau)


Nyokap menjelaskan pada bu Rombe, dan bu Rombe kemudian bertanya.


“Apa itu Jaga Gandrang mbah?” tanya bu Rombe.


“Pasukan Jin” kata mbah Gimon. “Wes di tandur suwe ambek seng nduwe omah iki biyen, awakmu gak di senengi asline gok kene, gak di terimo, eroh akibate?”(Sudah lama di tanam oleh yg punya rumah ini dulu, kamu tidak di sukai sebenarnya, disini, gak di terima. tau akibatnya)


Nyokap yang nerjemahin.


“Apa akibatnya mbah?” kata bu Rombe.


“Apes, ajor, bosok. MATI” (sial, hancur, busuk, Mati) kata Mbah Gimon.


Nyokap sampai tidak bisa menjelaskan itu pada bu Rombe, beliau hanya bersimpati, namun bu Rombe tampaknya tau apa yang di ucapkan Mbah Gimon.


“Lalu saya harus apa mbah?”


“Di bongkar ae kabeh, nek awakmu gelem percoyo aku, aku isok paling mbongkar” (di bongkar saja semua, bila kamu percaya saya, aku mungkin bisa membongkarnya)


Bu Rombe, kemudian mengiyakan tawaran Mbah Gimon.


7 hari kata mbah Gimon. Neliau mau berpuasa terlebih dahulu.


Gw inget. Malam itu rame, karena sampe ngadain bantengan. Potong kepala sapi, sampai tumpengan warga, semua itu, di tanggung oleh bu Rombe.


Keesokan malamnya. Mbah Gimon memulai ritualnya.


Beliau hanya memutari rumah beberapa kali tampak menancapkan pasak. Pasaknya dari bambu kuning dan di ujungnya ada tali pocong.


Nu Rombe hanya duduk di teras. Sementara warga berkerumun melihat, seperti pertunjukkan. Gw kadang radak nyengir kalau inget ini, maksud gw, hal yang kaya begini memang seharusnya gak perlu di buat seheboh ini. Namun, omongan mulut ke mulut dan tentu maksud tujuan asli mbah Gimon seolah menguburkan niat baik beliau menjadi ajang pamer ilmu.


Gw gak di bolehin keluar rumah, padahal banyak warga yang nonton langsung, akhirnya gw cuma bisa curi lihat dari jendela kamar.


Disini, malapetaka terjadi. Gw gak tau apa yang di lakukan mbah Gimon karena, 9 orang langsung, jatuh pingsan. Hal ini membuat warga panik, tapi mbah Gimon hanya bilang mereka hanya kerasukan biasa, bukan hal serius.


Kadang malapetaka kecil adalah pertanda untuk malapetaka yang lebih besar, acara yang semua ramai, menjadi sepi, hening, gw yang di dalam rumah bahkan bisa merasakan angin sudah berubah, jauh lebih dingin. Imbasnya, di mulai ketika, bu Rombe tiba-tiba menangis, bu Rombe menangis di teras rumah.


Mbah Gimon yang melihat gelagat itu mendekatinya. Ketika mbah Gimon mendekat, bu Rombe tertawa, cekikikan, kemudian menangis lagi, tertawa lagi, hal itu terus terjadi sepanjang malam.


Disitulah Mbah Gimon tau dimana batasan dia harus berhenti.


Esoknya, Mbah Gimon meminta maaf, dia tidak bisa lagi membantu bu Rombe, akibatnya, setiap malam. Bu Rombe akan melakukan hal yang sama, tertawa, menangis, tertawa lagi, kemudian menangis lagi.


Namun, yang paling buruk dari itu adalah, di punggung bu Rombe, selalu di temukan luka lebam biru. padahal, beliau baik-baik saja.


Keluarga besar bu Rombe akhirnya menyarankan agar beliau meninggalkan rumah itu. Bahkan pihak keluarga sampai harus melakukan pembersihan, namun, itu tidak merubah apapun.


Nasi sudah menjadi bubur. Tepat 4 bulan setelah mereka pergi dari rumah itu, bu Rombe meninggal.


Gw gak tau karena apa beliau meninggal.


Orang-orang mengatakan beliau sakit keras, namun cuma nyokap gw yang bilang bila beliau di ikuti sejak kejadian malam itu.


Nyokap bicara bukan bukan tanpa dasar, karena sebelum bu Rombe pindah, beliau menemui nyokap untuk pamit, dan ketika dia pamit, beliau mengatakan, umurnya tidak akan panjang, dan bila nanti beliau meninggal, beliau tidak mau di kuburkan di dekat tanah ini.


Kisah ini belum berakhir sampai disini, karena ada 2 keluarga yang kelak akan tinggal di rumah itu.


Dan ada sebuah cerita dari mulut ke mulut, pernah suatu malam, di jendelanya, seseorang melihat bu Rombe, berdiri di sana, melotot memandang keluar rumah.


Bila ada yang berpikir kisah ini berakhir setelah bu Rombe meninggal, maka hal itu salah besar. Justru, konon, cerita dari mulut ke mulut, bila seringkali ada yang melihat lampu di rumah itu menyala, padahal, rumah itu sudah di biarkan kosong.


Gw bukan gak pernah mengalaminya,


Sebaliknya malah, gw pernah sekilas melihat bayangan seseorang melintas di jendelanya. Perawakanya, menyerupai bu Rombe dengan rambut panjang keritingnya.


Tapi, dari semua cerita tentang sosok menyerupai bu Rombe, gak ada yang mengalahkan kisah ini.


Pernah suatu malam. Ada penjual Bakso lewat, gw pikir gak ada orang seniat ini buat jualan pukul 1 dini hari, maksud gw, siapa juga yang mau makan bakso jam 1, hal itu yang di lakukan oleh penjual bakso ini, gw tau, sebelumnya dia gk pernah lewat sini.


Lewatlah dia di depan rumah, kemudian, seseorang memanggil. “Bakso mas” kata suara yang memanggil, keluarlah yang konon kata si penjual, seorang wanita paruh baya mengenakan gaun tidur putih dari rumah tersebut.


Si pedagang melayani seperti biasa, namun, kisah ini pertama kali di ceritakan oleh Mas Edi


Mas Edi kebetulan dapat giliran jaga, ketika Mas Edi melihat dari jauh gerobak bakso yang tengah berhenti, Mas Edi mendekatinya, berniat memesan untuk menambal perutnya yang lapar.


Entah apes atau apa, ketika Mas Edi memperhatikan dengan seksama, yang di hadapanya, adalah sosok wanita


Masalahnya, kaki wanita itu tidak menapak tanah.


Mas Edi menunggu lama sampai akhirnya tukang bakso itu kembali menjajakan daganganya. Begitu sudah jauh dari rumah itu, Mas Edi menegur tukang Bakso itu.


“Mas Mas sini” kata Mas Edi, tidak yakin apakah harus memberitahu


“Tadi, siapa mas yang beli baksonya?” tanya Mas Edi berusaha memancing pembicaraan.


“Yang punya rumah kayanya sih mas, saya tidak tau. Tidak biasa jual disini. kenapa ta mas?” tanya si pedagang.


“Masnya tau tidak kalau rumah itu sekarang kosong?”


Si pedagang mulai menaruh curiga


“Tadi, yg beli. Mohon maaf mas, sepertinya kuntilanak mas” jawab mas Edi, alih-alih si pedagang merasa takut, beliau justru sekarang tau alasan kenapa pertanyaan yang mengganjalnya sekarang terjawab.


“Oh pantes mas” kata si pedagang.


“Pantes bagaimana maksudnya mas?”tanya mas Edi


“Mana ada orang bayar bakso dengan daun”


Setelah itu, pedagang bakso itu pun pergi.


Gw rasa cerita ini cukup untuk menutup keluarga bu Rombe, dan kenapa rumah itu begitu terkenal dengan nama Rumah Rombe.


Gw inget, nyokap baru ngasih tau, kalau kita akan pindah rumah. Jujur, gw gak suka di ajak pindah. Meskipun masih satu desa hanya berganti RT, gw udah nyaman.


2 bulan sebelum gw pindah. Gw lihat ada sebuah mobil berhenti di depan rumah bu Rombe. Rupanya itu adalah mas Romi, di sampingnya ada seseorang, pria dan wanita, usianya setara dengan nyokap gw.


Gw cuma melihat dari jauh, tampaknya, mas Romi sedang berbicara dengan mereka.


Beberapa hari kemudian, gw akhirnya tau, bila rumah itu terjual kepada keluarga baru yang akan menempati rumah itu.


Entah keluarga yang akan menempati rumah itu tau atau tidak namun, bila gw jadi mereka, gw gak akan pernah mau beli rumah itu sekalipun di jual dengan setengah harga


Namun rupanya, keluarga ini begitu suka dengan rumah itu, karena keesokan harinya, mereka bertamu di rumah gw.


Mereka berasal dari jawa tengah, sebuah keluarga keristen. Mereka juga bercerita memiliki 2 anak putera, namun, mereka akan datang 2 hari lagi.
yang tua seumuran dengan gw, sedangkan yang bungsu, usianya masih 7 tahun, dan kemungkinan mereka juga akan pindah sekolah di sekitar sini.


Dari semua keluarga yang bakal gw ceritain, keluarga inilah yang paling akrab dengan gw, karena mungkin mereka memiliki anak yang usianya sebaya dengan gw.


Besoknya, gw di minta Pak Albert, nama bapak yang akan menempati rumah ini, dengan bu Eli, menyambut anak mereka, Stevanus dan Eeng, waktu gw lihat Stevanus, gw sempet minder, walaupun usianya sama dengan gw, perawakanya tinggi besar, namun, ketika gw melihat saudaranya si Eeng gw gak mau komentar apapun.


Sebelumnya gw minta maaf, karena si Eeng rupanya memiliki kelainan mental, ada hal yang menarik perhatian gw dari Eeng, waktu pertama kali masuk.


Secara mengejutkan dia berlari dengan gelagat seperti anak usia balita, dia berlarian kesana kemari.


Namun, mendadak dia berhenti di depan kamar yang dulu di pakai oleh bu Rombe, dia diam disana lama, kemudian mengatakan dengan senyuman ganjil.


“Ante”


Waktu itu, gw belum paham apa yang dia bicarakan, sampai Stevanus mengatakan Eeng biasanya berbicara dengan logat kurang sempurna..


SELANJUTNYA >>