TIANG KEMBAR (Dia bukan Nenekku)
HORROR THREAD
Cerita ini adalah cerita pengalaman pacar temen kerja gw, kejadianya sendiri masih bisa di ingat dengan jelas karena belum lama ini terjadi.
Gw udah meminta ijin yang bersangkutan buat di percaya untuk menulis ini, dan karena ini adalah musibah yg menurut gw GILA, gw setuju buat merahasiakan identitas, tempat dan semua yang berhubungan dengan beliau untuk kenyamanan bersama.
WARNING: Konten cerita ini akan mengandung beberapa bagian yang mungkin disturbing. jadi, di mohon kebijaksanaan masing-masing.
Adelia safitri wijaya, adalah seorang anak gadis yang lahir dan di besarkan oleh sebuah keluarga yang menjunjung tinggi nilai jawa atau biasa di sebut kejawen.
Di dalam rumahnya, kerap di temui barang-barang berupa keris, cincin batu, dan beberapa peninggalan kuno
Meski nilai jawa ada di dalam kehidupan mereka, keluarga ini adalah sebuah keluarga muslim yang taat. semua peninggalan dan barang antik di rumahnya, hanyalah sebuah peninggalan dari kakek-kakek mereka yang konon di jaga untuk menjunjung hormat mereka kepada yang sudah meninggalkan dunia ini.
Bertempat tinggal di salah satu kota besar di jawa timur, Dela saat ini menempuh pendidikan sebagai mahasiswi di salah satu kampus swasta di kota ini.
Sore itu, Dela menatap langit, mendung. Hujan akan turun sebentar lagi, batinnya.
Tak beberapa lama, ada suara motor mendekat
“Gak di jemput lagi Del” kata seorang wanita yang mengendarai motor matic, menatap Dela dengan senyum ramah.
Dela teringat ayahnya sibuk, ibunya apalagi, sedangkan kekasihnya, tidak dapat datang karena harus bekerja shift.
“Bareng aja, kebetulan gw lewat rumah lu” ajak si gadis.
Mega adalah nama gadis itu, sahabat sekaligus teman Adel yang paling mengerti kondisi satu sama lain, tanpa menunggu hujan turun, Dela segera menyambar dan duduk di jok motor Mega, mereka pun segera pergi meninggalkan kampus.
Di tengah perjalanan, Dela tampak tidak fokus dengan apa yang sebenarnya sedang ia fikirkan, ia hanya teringat satu orang yg membuatnya akhir-akhir ini merasa tidak nyaman.
“Mbah Wira” begitu. Dela memanggilnya.
Mbah Wira adalah satu-satunya nenek Dela yg masih hidup, beliau adalah ibu dari pihak ayah yg saat ini tinggal satu atap bersama Dela, namun, beberapa bulan ini, Dela menemukan kejanggalan dengan neneknya yang selama ini dekat denganya, seolah-olah itu bukan neneknya, namun, ia bimbang
“Lagi mikir apa?” kata Mega menyadarkan Dela dari lamunan.
“Gak ada”
Mega tau, Dela berbohong, namun, dirinya tidak punya hak untuk memaksanya bercerita, kurang beberapa kilometer, hujan mulai turun di sertai kilatan petir yang menyambar, namun Mega tetap melanjutkan perjalanan.
“Terabas saja ya, biar cepat sampai”
“Nggih” kata Dela,
Motor Mega kini berhenti di sebuah Rumah dengan kompleks halaman yg luas, itu adalah Rumah Dela.
“Gak mampir?”
“Gak Del, lain kali saja, titip salam buat emak, bapak, sama mbah
Wira saja”
“Ya sudah, hati hati”
Begitu motor Mega kembali melaju menembus hujan yang kian lebat, Dela baru sadar, sudah hampir jam 6 sore dan hari sudah petang, namun, tak satu lampu pun di rumahnya tampak menyala, padahal, kiri kanan tetangganya sudah menyalakan lampu guna mengusir kegelapan di sekitar rumah.
“Apa listriknya mati ya” batin Dela mendekat, namun, perasaan itu kembali lagi, akhir-akhir ini, semua seperti mimpi, seperti ada yang lain di dalam rumahnya yang membuat Dela tidak nyaman dan tidak ingin kembali ke rumah, namun, masalahnya, Dela tidak tau apa itu.
Ia membuka pintu, dan mengucapkan salam seperti biasanya. “Assalamualaikum” katanya, namun, kegelapan dan keheninganlah yang justru menyambutnya.
Dela mencari saklar lampu, menekannya namun rupanya listrik tidak juga menyala, di dalam kegelapan yg menguasai rumah itu, Dela tertuju pada seseorang yang tengah duduk. Begitu gelap, sehingga Dela harus mendekatinya, rupanya, ada seseorang selain dirinya di rumah ini, tapi, kenapa ia tidak menjawab salamnya.
Selain keluarganya, di rumah ini tinggal Mbak Ningsih, asisten rumah tangga yang sudah bekerja 3 tahun
Namun, jam 5 sore adalah batasan waktu bagi mbak Ningsih dalam bekerja, karena beliau seharusnya sudah pulang, jadi, siapa yang sekarang sedang duduk membelakanginya,
“Mbok” panggil Dela seraya mendekat, sosok itu hanya diam, namun semakin Dela mendekat terdengar suara menangis sangat lirih. Sehingga Dela tidak dapat memastikan apakah dia sedang menangis, kini, Dela sudah tepat di belakangnya, ketika ia menyentuh bahu sosok itu, agar ia dapat melihat siapa yg ada di depanya, sosok itu berbalik menatapnya.
“TOLONG NDOK, TOLONG” kaget, karena apa yang Dela lihat adalah Mbah Wira yang tengah menangis melihatnya.
Sebelum akhirnya, Dela terbangun begitu saja dari mimpinya.
Sudah lebih dari 5 kali, Dela di hantui mimpi yang sama, berulang-ulang, seolah mimpi itu mengandung pesan.
Kenapa dengan si mbah, kenapa Dela selalu melihat si mbah menangis, padahal, mbah Wira saat ini baik-baik saja dan tinggal bersamanya. Kecuali, Dela teringat ada yg janggal, semua di mulai di hari itu.
Hari dimana Mbah Wira mengatakan, “Mbah ketemu cah ayu, Del, cah ayu sing ngancani si mbah nang kene”(Mbah bertemu perempuan cantik, Del, sangat cantik yg menemani mbah disini)
Setelah hari itu. Mbah Wira jadi berubah.
Suatu Sore, bu Ida yang merupakan ibunya Dela memanggil.
“Del, kamu gak lihat ayam di kulkas, kok gk ada?”
“Dela gk lihat buk,”
“Ya sudah, mungkin ada yang ambil. ibuk belanja dulu” bu Ida pergi, Dela kemudian kembali ke kamarnya, namun, ketika ia melewati kamar mbah Wira, terdengar suara mengkecap, seperti seseorang tengah mengunyah dan menimbulkan suara yanh menganggu. Tidak hanya itu, Dela juga mencium bau amis, namun bukan amis dari ikan air tawar, penasaran, Dela mengintip dari celah pintu, kaget ber campur aduk ketika Dela melihat apa yang terjadi
Mbah Wira tengah mengunyah ayam utuh namun dalam kondisi mentah, saat itu juga Dela lari ke kamarnya, berharap apa yang ia lihat itu salah, namun, pikiran ini segera menjadi rasa curiga yang besar, mbah Wirawati yang ia kenal bukan mbah Wira nenek yang dulu dekat denganya.
Semakin hari Dela semakin curiga, tidak hanya tingkah laku mbah Wira yang semakin di luar nalar, setiap malam, bahkan ketika adzhan maghrib dan isya, mbah Wira sangat suka mengeraskan suara radio yang tengah memutar tembang jawa. bu Ida dan pak Imron, tidak dapat berbuat banyak karena setiap kali di tegur, mbah Wira akan melotot dan mengatai bahwa mereka anak durhaka.
Lagu-lagu tembang jawa yang di dengar mbah Wira juga asing di telinga Dela, meski ia tau beberapa kosakata jawa kromo inggil namun beberapa kalimatnya ada yang asing, seolah itu tembang lama.
Terkadang Dela mencatat setiap sairnya, beberapa selalu menceritakan tentang ritual dan hal-hal berbau mistis, namun, dari semua itu, Dela pernah tanpa sengaja, melihat mbah Wira tengah tertawa, ia duduk di kursi tua di dalam kamarnya, tampak seperti sedang berbicara entah dengan siapa. Karena ketika Dela mencoba mengintip dari celah pintu, mbah Wira seolah-olah tau, Dela sedang mengamatinya.
Puncaknya, ketika Mega datang ke rumah Dela untuk mengerjakan tugas kampus, baru saja Mega masuk dia langsung tau ada yang tidak beres di rumah ini.
“Kenapa Meg?”
“Kamu cium bau amis gk sih?” kata Mega sembari menutup hidungnya.
“Gw gk cium apa2”
“Bau bangkai ini” kata Mega
Mega tiba-tiba nunjuk ke salah satu kamar, yang rupanya adalah kamar mbah Wira.
“Kenapa Meg?” kata Dela
“Baunya dari sini del”
Ragu diselimuti rasa takut, Dela hanya tidak tau, kenapa dari sekian banyak kamar, Mega justru menunjuk kamar mbah Wira.
“Gw penasaran, bau apaan sih ini”
“Busuk sekali baunya”
Tanpa tau apa yang terjadi. Mega sudah melesat masuk, mencari dimana sumber bebauan itu, sampai matanya tertuju pada ranjang mbah Wira, “disini del baunya”
Dela yang sedari tadi hanya termangu, melangkah masuk dengan bimbang, ketakutan menyelimuti pikiranya hari ini, pak Imron dan bu Ida membawa mbah Wira ke rumah saudara, meski begitu, kamar ini seolah memberi sentuhan magis dan langsung menolak kehadiran Dela, 2 kakinya gemetar tanpa sebab.
“Bantu angkat nih kasur” kata Mega, mencengkram ujung kasur, Dela segera membantu.
Ketika kasur sudah terangkat, betapa kagetnya Mega dan Dela, melihat banyak sekali bangkai tikus, kucing, burung mati, mereka tergeletak begitu saja di bawah kasur, baunya menimbulkan rasa mual yang menyentak hingga Dela tidak sanggup berlama-lama untuk melihatnya.
“Apaan ini Del” Mega mulai pucat
“Meg, prgi saja ya dari sini, gw takut. takut banget”
“Takut apa?” Mega semakin penasaran
“Mbah Wira Meg, akhir-akhir ini beliau bertingkah aneh, gw takut, takut aja setiap lihat dia”
“Ini kok bisa kaya gini. Ada ayam mentah juga” Mega menunjuk sudut bayang (tempat kasur), Dela langsung tau, itu adalah ayam tempo hari, apa yang sebenarnya terjadi. Akhirnya, setelah membereskan kasur, Dela dan Mega kembali ke kamarnya, namun, sebelum meninggalkan tempat itu, Dela tau, dirinya seperti sedang di awasi entah oleh siapa.
Suara deru mobil baru saja terdengar, Dela tahu mereka sudah pulang, Mega sedari tadi hanya melihat buku di tangannya, ia belum terbayang apapun bahkan setelah kejadian tadi, namun, firasatnya mengatakan ada hal ganjil dan berbeda selama Mega datang ke rumah ini.
Rupanya benar, pak Imron dan bu Ida telah pulang, di belakangnya, mbah Wira juga ada, berdiri menyambut tamu yg tak di undang.
Hanya butuh sekali lihat, Mega tahu, di hadapannya, bukan sosok hangat mbah Wira yang selama ini dia kenal, melainkan. Sesuatu yang hitam tengah menatapnya.
“Onok opo to nduk, kok ndelok’e koyok ngunu” (ada apa ta nak, kenapa melihatnya seperti itu)
Dela melihat gelagat yang aneh pada Mega, belum pernah wajahnya berekspresi tercekat sepeti ini, seolah ia baru saja di cekik oleh kekuatan yang tidak terlihat.
Merasa semua ini bukan hal baik, Dela mengajak Mega masuk ke kamar, disana, ia masih bisa melihat, Mega mencuri pandang dari mbah Wira
“Ada apa Meg, kok lu jadi aneh gini”
“Gak papa Del” kata Mega, beberapa saat kemudian, rumah itu menjadi sesak bagi Mega, ia sadar dalam bahaya
“Del, gw mau pamit ya, gw ada urusan lain”
Dela yang mendengar itu tau, ada yang di sembunyikan oleh Mega, namun dia tidak punya kewenangan dalam menghentikan temannya itu.
“Soal tugasnya, tadi aku naruh kertas di halaman 112, buka aja nanti” kata Mega, buru-buru menyerahkan buku
“Gak pamit sama bapak, ibuk”
“Boleh” kata Mega,
Sesaat, Mega terhenti di depan kamar mbah Wira, terdengar nada sair jawa yang familiar di telinganya, sairnya, menunjuk pada “kemalangan dan nasib buruk bagi mereka yang tidak tau unggah-ungguh” (sopan-santun)
Suara motor Mega perlahan menghilang, penasaran dengan ucapan Mega, Dela membuka isi buku Mega, disana, tertulis sebuah kalimat “Mbah Wira bukan nenekmu!!”
Saat itu juga, handphone berdering, seseorang menelpon Dela, ketika melihat nama kontak pemanggil, Dela pucat pasi melihat
Mega memanggil.
Di angkatnya telpon itu, rupanya, itu bukan Mega, suaranya adalah suara seorang lelaki, dengan nafas terburu-buru. “mohon maaf, di kontak darurat ada nomer ini, pemilik hape ini baru saja kecelakaan, menerabas pohon dan saat ini tengah kritis”
Dela hanya tercekat beberapa detik, menelpon orang tua Mega, lalu bergegas keluar, tepat setelah membuka pintu, Dela terdiam menatap mbah Wira tengah bersenandung tembang jawa.
“Ing iling, waspodo lan ati2 karo sesunggohone yen ra eroh opo2” (ingat-ingat waspada dan hati-hati pada sesuatu yg bilamana kamu tidak tau apa-apa)
Mbah Wira tersenyum memandangnya, Dela berlari melewatinya. Ia semakin yakin, mbah Wira bukanlah neneknya.
Dela di beritahu, kondisi Mega kritis, sebelum di bawa kesini, Mega muntah darah banyak, tapi yang mengkhawatirkan tentu darah yang keluar dari telinga kirinya, ini, sudah menjadi masalah serius.
Dela hanya tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja seperti ini.
Rupanya, Malam itu Dela berniat untuk menghadapi ketakutanya, meski di selimuti ketakutan, Dela memberanikan diri masuk ke kamar mbah Wira, beliau sedang melihatnya, tampak tengah menunggu.
“Panjenengan sinten?” katanya lantang
“wes eroh to ndok, sopo sing ndudui, kancamu iku, piye sak iki?? wes mati?” (sudah tau kamu nak, siapa yang ngasih tau, temenmu, bagaimana keadaanya? sudah meninggal?)
Tidak tau apa yang baru saja Dela dengar, dia seperti mematung di hadapan sosok yang menggunakan tubuh neneknya
Malam itu juga, Dela menceritakan semuanya ke pak Imron dan bu Ida, di luar dugaan, mereka juga merasakan hal yg sama.
“Pak, kayaknya ada yang salah sama ibuk, aku pernah lihat ibu makan kembang, tak kirain untuk apa, tapi kok ngeri pak”
Pak Imron yang merupakan anak kandungnya, terdiam memikirkan sesuatu.
“Besok bapak cari bantuan, bapak punya kenalan yang bisa bantu”
Dari kamar mbah Wira terdengar suara keras menyentak “GAK USAH NGUSIR AKU KOEN KABEH” (gak usah ngusir aku kalian semua)
Malam itu, pak Imron mengunci pintu kamar mbah Wira saking takutnya
Bila dengan mengunci kamar mbah Wira sudah menyelesaikan masalah sepertinya pak Imron salah besar, setelah pintu di kunci, mbah Wira tertawa sembari berujar dengan bahasa jawa yang sanguk (mengerikan) sepeti orang mengutuk.
“Menungso koen kabeh bakal kenek imbas’e”(manusia seperti kalian semua kelak akan kena batunya) dan tepat setelah mengatakan itu, listrik seolah mati total.
Malam itu juga, pak Imron langsung menghubungi kenalanya, sembari mereka bersama keluar dari rumah itu. bingung, pak Imron menunggu sampai ada mobil datang
Rupanya itu adalah teman kerja pak Imron, baru saja beliau turun dari mobil, beliau langsung istighfar.
“Astaghfirullah, mron, ada apa ini. kenapa rumahmu banyak sekali demitnya”
Bingung, pak Imron menceritakan semuanya.
“Mbah Wira, sejak kapan? kenapa kamu gak ngasih tau”
Hanya berbekal membaca doa, kawan pak Imron melesat masuk ke rumah, istighfar kembali terdengar, rupanya di setiap sudut di penuhi bangsa alus seolah-olah disini sedang ada pesta yang di adakan.
“Gini saja” kata kawan pak Imron, “kalian semua pergi dari sini, besok kita kembali”
“Malam ini, firasatku buruk Mron, yang sekarang ada di kamar itu” beliau menunjuk kamar mbah Wira, “berbahaya”
Mbah Wira kembali berteriak di dalam kamar. “AYO MRINIO KOEN CAH AMBU PARE, ILMU JEK DANGKAL KOEN WANI NANTANG AKU”(Ayo kesini kamu anak bau pare, ilmumu masih dangkal tapi berani nantangin aku)
Malam itu juga, rumah pak Imron di kunci, sementara mbah Wira terus berteriak kesetanan, untung saja tetangga tidak ada yang bangun.
Mereka pergi menuju rumah kawan pak Imron.
Pak Sugeng memang bisa melihat hal2 begituan, karena itulah terkadang ia buka pengobatan alternatif, namun, dari semua pengalaman dia mengusir bangsa alus, baru kali ini pak Sugeng tidak berkutik hanya dengan melihat energi gelapnya.
“Sejak kapan mbah Wira seperti ini?”
Bu Ida dan pak Imron hanya diam mematung, tidak tau darimana semua berawal, Dela yang mendengar itu menjawab, “Sejak si mbah cerita katanya dia sering di datangi wanita cantik di dalam mimpinya”
Pak Sugeng tampak berpikir, kemudian beliau mengambil handphonenya.
“Saya punya kenalan, yang punya pengalaman melawan Jin Rhib seperti ini” kata pak Sugeg
“Jin Rhib itu apa toh geng?” tanya pak Imron.
“Jin yang keras kepala, sukar keluar kalau sudah masuk tubuh manusia, masalahnya, mbah Wira bisa sampai di rasuki seperti ini, lho kok bisa tah?? Mbahmu itu, getihe anget, rajin sholat, bagaimana mungkin masih bisa, semoga tidak seperti yang saya pikirkan”
“Apa yang kamu pikirkan geng?”
“Saya takut, mbah Wira ikhlas menyerahkan diri secara sukarela sama Jin itu. Semoga tidak. berdoa saja kalian”
“Memang apa yang terjadi pak kalau si mbah ternyata memang berserah pada jin itu”
pak Sugeng diem lama, dia menatap semua orang, wajahnya tegang.
“Susah itu dek” katanya “kalau mbah Wira memang sengaja secara sadar pasrah jin itu masuk, itu artinya kemungkinan kecil bisa keluar bayangkan saja, ada yang bertamu dan tuan rumah mengijinkanya masuk bahkan sampai menginap, apa kamu mikir, apa yang terjadi kalau kamu ngusir itu tamu, padahal lha wong yang punya rumah sudah kasih ijin” Pak Sugeng kali ini duduk, di nyalakan rokok sembari masih menahan diri.
“Saya yakin terlepas dari mbah Wira menyerahkan tubuhnya atau tidak, ada alasan lain yang saat ini saya belum tahu, tapi, bangsa jin itu manipulatif, licik, jahat, mereka bisa membohongi, mengancam, bahkan melukai, bila tidak mendapat apa yang menjadi tujuanya. disini saya harus cari tahu, malam ini kalian tidur saja disini, biarkan saja mbah Wira disana, dia akan baik-baik saja, Jin itu tidak akan melukai tubuh inangnya, besok setelah kawan saya datang, kita coba pelan-pelan semoga Allah melindungi kita”
Dela masih termangu menatap langit-langit kamar, ada sebuah detail cerita yang ia lupakan, namun detail itu yang akan menjelaskan semuanya.
Sendirian di rumah orang membuat Dela tidak tenang, terlebih wajah si mbah terbayang-bayang, maksud mimpinya melihat mbah Wira menangis sepertinya masuk akal, tapi, kenapa si mbah mau menyerahkan begitu saja tubuhnya, seolah dia memiliki alasan yang masuk akal.
Rupanya, malam itu Dela bermimpi.
Wanita cantik yang konon sering ia dengar dari mbah Wira datang menemuinya.
Wajahnya cantik sekali, sampai Dela tidak tau harus menjelaskan seperti apa parasnya.
Wanita itu tersenyum, menyapanya dengan lembut kemudian berujar, “Dela, mau ketemu si mbah?” katanya,
Pertanyaan tiba-tiba itu membuat Dela begidik ngeri, meski kecantikanya tak terbantahkan, namun, wanita itu seperti sedang mencoba menjebaknya.
“Sini, tak anterin ke si mbah kalau mau ketemu, si mbah kangen sama Dela, Dela juga kangen kan?”
Bersiap untuk menyambut tangan, Dela terbayang wajah mbah Wira yang menangis, ia menarik ulur tangan itu, ketika ia terbangun
Pak Sugeng ada disana, menyentuh kepalanya sembari membaca ayat kursi, “Astaghfirullah” katanya dengan keringat di keningnya.
Pak Imron dan bu Ida menatapnya, menangis melihat Dela, yang meraung-raung. Dela tidak tau apa yang terjadi, karena ia tidak sadarkan diri dalam tidurnya.
“Kamu gak papa nak” peluk bu Ida, tangisnya pecah.
“Saya kecolongan, sudah ku duga jin ini gak maen-maen kalau mencelakai orang” pak Sugeng menatap Dela, “kamu mimpi apa dek?”
“Wanita cantik ngajak saya ketemu si mbah” kata Dela tergagap, wajahnya masih tegang.
“Kamu terima tawaranya?” tanya pak Sugeng.
“Mboten pak, tadi saya langsung lari, dia sempet ngejar saya, tapi si Mbah nolong saya, beliau bilang, jangan ganggu keluarga saya”
Dela menangis sejadi-jadinya.
“sudah ku duga” kata pak Sugeng, “mbah Wira menyembunyikan sesuatu. kamu tidur lagi saja dek, kali ini, jangan lupa doa nggih, minta pertolongan sama Allah”
Pak Sugeng pun pergi meninggalkan kamar itu.
Besoknya, datang seseorang masih muda, beliau menyapa dengan ramah, rupanya beliau adalah kenalan dari pak Sugeng yg di ceritakan semalam.
“Namanya mas Iwan, dia dulu mondok di pondok pesantren Al-****** , beliau datang jauh-jauh kesini ingin membantu”
Pak Imron menyambut salam hangat itu.
Di jalan, pak Sugeng menceritakan semuanya, pak Iwan hanya magut-magut saja.
Sesampai di rumahnya pak Imron, mas Iwan langsung merasakan sentakan tidak enak.
“Banyak sekali penghuninya” kata mas Iwan, siang bolong ia melihat kesana-kemari,
“Sebelumnya tidak begini” kata pak Sugeng, “tampaknya Jin Rhib ini berusaha mengumpulkan sebanyak-banyaknya pengikut”
Tanpa basa-basi, mas Iwan langsung menuju kamar mbah Wira, begitu pintu di buka, mas Iwan kaget bukan main melihat kondisi mbah Wira yg tengah duduk menyantap bangkai kucing.
“Astaghfirullah” kata mas Iwan, disaksikan oleh pak Imron dan pak Sugeng.
Mas Iwan mendekati mbah Wira yang menatapnya tajam, dengan gigi kemerahan dari darah daging kucing yang ia santap hidup-hidup.
“Assalamualaikum” sapa mas Iwan. Namun, mbah Wira tak menjawabnya
“Assalamualaikum” lagi, namun tetap tidak di jawab.
“Assalamualaikum” ketiga kalinya, mbah Wira menjawab, “Waalaikumsallam” namun suaranya, bukan suara mbah Wira, melainkan suara menyerupai suara seorang pria.
“Panjenengan sinten, lan enten nopo panjenengan ten mriki?”(anda siapa? dan ada urusan apa anda ada disini?)
“AKU DI UNDANG” jawab mbah Wira.
“Sinten sing ngundang?” (siapa yg ngundang?)
“GAK ONOK URUSAN AMBEK AWAKMU” (gak ada urusan denganmu)
“Penjenengan saget jawab salam kulo, sak niki kulo nyuwun tolong, panjenengan metu ambek rencang-rencang panjenengan, saget?” (anda bisa menjawab salam saya, sekarang saya ingin meminta tolong, bisakah anda pergi bersama teman-teman anda? bisa?)
Mbah Wira tiba-tiba berteriak keras sekali, lalu, ia menatap mas Iwan dengan sengit, kali ini, ia mengerang seperti macan.
Pak Sugeng memberitahu pak Imron yang tampak kebingungan.
“Yang barusan adalah jin munafik. Dia ikut masuk kedalam tubuh mbah Wira, sebenarnya ada banyak sekali yang sudah masuk, tujuanya cuma satu, jin Rhib ini, sedang bersembunyi di antara mereka”
Pak Imron tidak dapat percaya, namun, dengan melihatnya secara langsung ia harus merubah pikiranya, bahwa hal di luar nalar ini rupanya nyata.
Mas Iwan meraih botol minum yang sudah ia bawa, di siramkan air itu sembari beliau berdoa, seolah terbakar, mbah Wira merangkak seperti macan, menjauhi mas Iwan.
Mas Iwan menatap mbah Wira, matanya mendelik seolah memberi ancaman, dan mbah Wira terus meraung marah, suaranya nyaris sama seperti harimau betulan, “Pak, permintaan saya tadi sudah di bawa kan?”
Pak Sugeng mendekat, memberikan kain kafan yang sudah di robek membentuk siluet tali
“Tolong bantu saya pegangi ini pak” kata mas Iwan.
Pak Sugeng dan pak Imron langsung menangkap mbah Wira, kaget bercampur bingung, tenaga mbah Wira bukan main kuat, bagaimana mungkin wanita yang sudah berumur bisa membuat 2 lelaki dewasa seperti tersudut.
Mas Iwan, menyentuh kening mbah Wira sembari memanjatkan ayat-ayat raungan mbah Wira semakin keras, namun, dengan begitu mbah Wira mau di tuntun ke atas kasur, di ikatnya kaki dan tangan mbah Wira dengan tali kain kafan di 4 tiang ranjang.
Masih mengaum marah, mas Iwan kemudian kembali membaca ayat-ayat.
Kali ini, mbah Wira sudah tidak seperti macan, namun suaranya menggelegar, tertawa-tawa bahkan mencemooh “Mbok pikir aku bakal metu ambek caramu ngene tah, cah cilik model raimu gak bakal isok mekso aku” (kamu pikir dengan begini kamu bisa mengusirku, dasar anak kecil, kamu tidak akan bisa memaksaku keluar)
“Apakah itu jin nya mas?” tanya pak Imron, wajah mbah Wira mendelik dengan senyum mengejek, seolah-olah apa yang di lakukan mas Iwan gak berguna.
“Bukan pak” kata mas Iwan, “ini jin lain, saya akan coba memaksanya keluar tapi saya butuh waktu”
Mas Iwan mengambil telur ayam, di letakkanya telur itu di bawah bayang (ranjang) kasur, kemudian beliau kembali membaca ayat-ayat, aneh, meski wajah mbah Wira meringis menahan sakit namun ia masih tersenyum seolah membukikan bahwa ia tidak dapat di kalahkan.
Yang terakhir,
Mas Iwan menarik sesuatu dari ujung kepalanya, seolah ada yang ia ambil, namun ia lakukan itu berkali-kali, jeritan mbah Wira begitu hebat, sampai menimbulkan kebisingan di antara warga yang berbondong-bondong mendekat dan penasara, pak Sugeng segera menemui warha menjelaskan apa yg terjadi
Begitu selesai, mas Iwan keluar dengan wajah masam. Pak Imron seolah tau apa yang akan di katakan mas Iwan.
“Mohon maaf, tempat ini sudah di jadikan sarang sama dia (Jin Rhib) setiap saya keluarkan satu, masuk lagi untuk menggantikan yang lain, dan itu terus berlanjut, sehingga saya kesulitan pak”
“Lalu bagaimana mas?”
“Begini saja, kita bawa dia ke pondok pesantren tempat saya menimba ilmu, insya Allah, banyak yang akan membantu” katanya mencoba memberi harapan.
Mas Iwan mengajak pak Sugeng dan pak Imron masuk ke rumah, di atas meja, ada sebutir telur yang di letakkan di bawah ranjang.
“Begini pak Imron, mohon maaf, sejak awal saya curiga jin ini sudah menghasut mbah Wira agar menyerahkan raganya secara pasrah, bila telur ini menghitam dan bau busuk, maka mbah Wira benar-benar yang menyerahkan tubuhnya, sebaliknya, bila telur ini, tampak normal, ada harapan, bahwa jin ini memaksa mbah Wira”
Ketika telur di ketuk, dan di keluarkan dari cangkangnya, semua yang ada di sana, kompak menutup hidung. bau busuk telur itu rupanya jauh lebih dari kata busuk, bahkan cairan kental hitam menyelimutinya.
“Tanda apa ini pak?” kata pak Sugeng.
“Keluarga bapak yang membawa Jin ini sehingga ia terikat dengan semua kejadian ini” kata mas Iwan tegang.
“Lalu bagaimana pak”
“Saya butuh sebuah mobil besar, yang mampu memuat 12 orang santri pondok pesantren, mereka akan membantu kita, menghadapi petaka ketika kita di jalan”
Pak Sugeng menatap pak Imron, “sudah, sebaiknya kamu cari Bus yang bisa di sewa, perjalanan ini akan sangat sulit bahkan berbahaya, untuk keluargamu, untuk kita semua”
“Keluarga saya pak” pak Imron bingung.
“Nggih keluarga panjenengan” kata mas Iwan, menegaskan.
Sepulang dari sana, pak Imron menceritakan semua kepada Dela, kepada bu Ida, mereka pucat, berpikir, bagaimana kejadian ini bisa menimpa keluarga mereka, apa yg sebenarnya terjadi.
Hari itu, Dela di kabari, Mega siuman, dengan cepat Dela pergi ke rumah sakit dimana Mega di rawat, Dela bertemu ibunya Mega, menjelaskan ketika ia siuman, yang ia panggil pertama itu nama Dela, sepertinya Mega mau mengatakan sesuatu.
Begitu mata mereka bertemu, Dela memeluk Mega, dan kemudian Mega menceritakan semuanya.
“Mbah Wira Del, dia bukan mbahmu” kata Mega, suaranya gemetar menceritakanya.
“Siapa yang lu lihat Meg? kok lu kayanya ketakutan gitu?”
“Sumpah Del, demi tuhan itu bukan mbahmu, percaya del”
“Iya, gw percaya” kata Dela menenangkan. “apa yang lu lihat Meg sebenarnya?”
“Gw gak tau del, wajahnya gk bisa aku gambarin, gw gk pernah ketemu makhluk semengerikan ini Del, bertanduk mirip kerbau, besar dan hitam, tapi, suaranya seperti suara perempuan, gw di ancam Del”
“Di ancam bagaimana?”
“Dia bilang, gw gak boleh ikut campur, karena kalau gw ikut campur, dia akan ngejar gw Del, gw takut, makanya gw ngebut, dan rupanya gw gak sadar di depan ada pohon. gw gak inget apa yang terjadi tapi gw masih bisa bayangin wajahnya di depan gw”
“Sekarang gimana? dia masih ngejar lu”
Mega menggelengkan kepala, “Del” kata Mega, “gw mimpi. di mimpi gw, ada mbah Wira, dia lagi nangis, suaranya kaya minta tolong Del. tolongin mbah Wira del, tolongin. kasihan dia”
Dela hanya termangu memandang Mega.
Malam itu juga, Dela dan bu Ida sudah berkumpul di rumahnya, banyak warga yang penasaran, desas-desus sudah menyebar, tidak hanya keluarga mereka yang menjadi perbincangan, namun sedari tadi, banyak anak-anak yang tidak di kenal, memenuhi rumah, mereka mengaji di depan rumah itu
Bus yang di sewa pak Imron sudah datang, mas Iwan dan pak Sugeng, mengangkat tubuh mbah Wira yang memberontak minta di lepaskan, warga mulai terdengar bersahut-sahutan membicarakan ini, ini pertama kalinya terjadi di kompleksi ini, membuat Dela hanya bisa merunduk pasrah
Anak-anak itu rupanya para santri dari pondok pesantren mas Iwan, setelah mas Iwan masuk ke bus, yang lain mengikuti, termasuk pak Imron sekeluarga.
“Apa tidak sebaiknya kami pakai mobil sendiri saja mas” kata pak Imron
“Jangan, sudah, lebih baik di bus saja semuanya” kata mas Iwan
Disana, mbah Wira di ikat dan mendelik ke semua orang. Wajahnya menatap marah pak Imron dan mencaci maki dia bahwa dia anak durhaka yang memperlakukan ibunya seenak jidatnya.
Dela belum berani menceritakan ini pada mas Iwan dan yg lain, namun sesekali ia melirik wajah mbah Wira
Setiap kali Dela meliriknya, ia melihat mbah Wira juga menatapnya. tersenyum seakan-akan menyapanya.
Bus mulai meninggalkan rumah pak Imron, suara para santri lantang berdoa membaca kertas yang sudah di bagikan mas Iwan, bus itu seperti bus yang kesemuanya menjadi seperti pengajian.
Namun, entah perasaan apa yang lewat begitu saja. Karena Dela sudah merasa bahwa perjalananya tidak akan mudah.
Benar saja, sepanjang perjalanan mendengar para santri berdoa umumnya akan membuat Dela tenang, namun rupanya, sebaliknya, semakin jauh bus berjalan, bulukuduk Dela semakin merinding, sampai mereka meninggalkan keramaian dan mulai memasuki alas (Hutan), perjalananya sendiri jauh, jauh ke timur.
Mbah Wira hanya tertawa, masih terus mengumpat dengan bahasa jawa, dan seolah apa yang mereka lakukan sia-sia belaka, sampai, tepat di jalanan tengah hutan, Dela melihatnya, sepanjang jalan, dia bisa lihat di luar, di samping pohon-pohon hutan ia di awasi, di ikuti lalu, Bus mendadak berhenti begitu saja.
Mas Iwan, meminta semua tetap membaca doa, sopir Bus melihat ke arah pak Imron. “maaf pak, Busnya tiba-tiba berhenti”
Saat itu, gemuruh suara terdengar, membuat para santri seperti tersentak, di ikuti suara tawa melengking, mbah Wira menunjuk mas Iwan, kemudian berkata “Musibah iki gak bakal mari, sampe aku oleh siji teko kabeh wong seng gok kene” (musibah ini tidak akan berhenti disini, ia akan mengikuti setiap dari kalian yg ada disini)
“Bissmillah, pak. ayo coba jalan lagi” kata mas Iwan tenang
Anehnya, Bus kembali berjalan. namun, sopir Bus itu tampak mengerti, apa yang sebenarnya terjadi disini, bukanlah perjalanan biasa. Karena ia bercerita pada pak Imron, sepanjang perjalanan, di kiri kanan jalan, banyak memedi (bangsa alus) berbaris di sepanjang jalan. meminta naik
“Astaghfirullah hal’adzhim” kalimat itu terus terdengar dari mulut si sopir, setiap ia melihat jalan, ia akan berucap itu kembali.
Sebenarnya, tidak hanya itu. semakin malam, entah kenapa semakin dingin, dinginya bukan karena suhu turun namun ada energi negatif yang begitu kuat seolah-olah menahan mereka agar tidak lanjut. Sampai akhirnya, hal yang paling tidak di inginkan terjadi, ban Bus sempat bergesek hebat di jalan yang sudah sepi itu, untung saja, Bus mampu berhenti tiba-ibta, rupanya mas Iwan menyadari sesuatu.
“Alhamdulillah” katanya
Bingung. pak Imron bertanya “maksudnya bagaimana pak?”
“Pak sopir, tolong di cek ban atau mesinya, sekarang nggih, yang lain tetap di dalam bus, monggo pak Sugeng ikut saya” kata mas Iwan, tanpa menunggu waktu lama, pak Sopir memeriksa ban satu-satu, dan benar saja, ada satu Ban yang kondisinya tidak memungkinkan untuk kembali berjalan, pak sopir lantas bertanya “apa maksudnya ini pak?”
“Sudah, sekarang kita ganti banya, untung saja, kejadian ini tidak menimpa kita di depan sana?!” mas Iwan menunjuk jalan di depan.
“Kenapa pak?” tanya si sopir
“Di depan sana, ada jurang yang kalau kondisi ban tidak prima, mungkin akan membahayakan nyawa kita”
Di bantu pak Sugeng, segera mas Iwan dan pak Sopir mengganti Ban yang besar itu, sementara Dela, melihat mbah Wira berbicara denganya, “Nduk, mbah kangen”
Namun bu Ida dan pak Imron memegang lengan Dela seolah menolak untuk mendekatinya.
“Iki si mbah ndok, Dela, namamu yang ngasih aku ndok” katanya.
“Iku si mbah pak, buk. Dela mau mendekat!!”
“Jangan!!” kata pak Imron tegas.
“Jahat sekali kalian sama ibu;mu yang melahirkan kamu!! jahat!” ucap mbah Wira dengan suara bergetar.
Dela mulai menangis, memohon di ijinkan mendekat, sampai ada seorang santri mendekatinya, “pendusta !! sampeyan pendusta!!”
Saat itulah, Dela sadar, sosok di depanya menyeringai
Bus kembali melaju, dan benar saja, di kiri jalan hampir sepanjang 12 KM, itu jurang, pak Sopir tidak berhenti beristighfar, seolah kejadian malam ini merupakan pengalaman yang membuatnya tidak percaya.
Sementara mbah Wira kembali tertawa-tawa, membuat suasana kian mencekam
Selepas jalan jurang, rupanya mereka masih harus masuk lagi, ke jalanan samping kiri kanan hutan, sampai akhirnya mas Iwan menyuruh berhenti di sebuah jalanan yang di babat, Bus pun berhenti, mas Iwan dan pak Sugeng mengangkat mbah Wira, menuntunya untuk ikut.
“Bus tidak bisa masuk, tapi pesantrenya sudah dekat dari sini, tinggal masuk ke jalan itu” kata mas Iwan, pak sopir yang masih kebingungan memilih untuk ikut masuk, ia masih terbayang bagaimana ia melihat dedemit yang selama ini dia lewati.
Wajah mbah Wira mulai berubah, awalnya dimana ia terlihat pongah, sombong, kini meraung meminta di lepaskan, dan mengancam akan mencelakai mbah Wira semakin jauh, bila ia tetap di paksa ikut.
Pak Imron sedari tadi khawatir dengan ancaman itu, namun mas Iwan justru menantang
“Mbok pikir aku iki gak reti ta nek awakmu mek nggertak tok” (kamu pikir saya tidak mengerti kamu hanya menggertak)
Suara meraung semakin terdengar, di ikuti para santri, Dela berjalan tepat di belakang pak Sugeng, bu Ida dan pak Imron ada di belakangnya.
Suasana pesantren itu rupanya tidak seperti yang ia bayangkan, di kiri kanan, ia bisa melihat pohon dimana-mana, selain itu, perasaanya semakin tidak enak, sampai, Dela, yang awalnya baik-baik saja, semakin lama, semakin berat, dan ia tidak ingat apa yang terjadi selanjutnya.
yang ia ingat, rupanya, Dela pernah melihat wajah Jin yang merasuki mbah Wira, sekarang ia tahu, hubungan apa yang terjadi sehingga keluarganya terseret masuk dalam lubang masalah ini.
Bu Ida lah penyebab utamanya.
Dela terbangun begitu saja, di depanya, bu Ida dan pak Imron melihat cemas, mas Iwan hanya menatap Dela sementara pak Sugeng melihat dari ambang pintu, namun, Dela tertuju pada pria, mbah-mbah yang sudah tua sekali, ia duduk dengan tongkat kayu jati di tanganya, ia tersenyum, menyapa
“nak Dela sudah sadar?” suaranya lembut, dan begitu membuat segan, ia tahu namanya mungkin kedua orang tuanya yang memberitahu. Pikirnya, namun rupanya, mbah ini memang sudah tau semuanya.
“kalau nak Dela sudah merasa baik, mbah tunggu di depan di padepokan dekat masjid. semuanya”
Di bantu mas Iwan, mbah asing itu meninggalkan kamar.
Bu Ida mendekati Dela, namun Dela langsung mengatakanya, “Buk, ibuk ngambil apa di tempat itu? tempat kita meginap waktu di gunung K***D.
Bu Ida tampak terkejut namun, ia tidak menjawab pertanyaan Dela.
Pak Sugeng tiba-tiba masuk. “apa Dela sudah baikan? Mbah Fatonah, memanggil kalian”
Pak Imron, bu Ida dan Dela segera pergi, ia masih memandang ibunya. tatapanya menyelidik.
Di padepokan, terlihat seperti tempat mengaji kitab kuning, lantainya terbuat dari kayu jati yang di sepuh, sehingga halus. Disana, Mbah Fatonah, mas Iwan sudah menunggu, di depanya ada kopi hitam, dan sebutir telur.
Pak Imron seperti sudah tau apa yang akan di lakukan mbah Fatonah
“langsung saja nggih. begini..” kata mbah Tonah, “saya harus ngasih tau dulu, bila mbah Wira, mbah kalian saat ini, di sembunyikan di tempat yang sangat jauh, tidak bisa pulang, tidak bisa di tuntun pulang, jadi sebelumnya saya harus menyampaikan ini, mohon maaf bila saya tidak dapat membantu banyak. tapi, saya akan coba sebisa mungkin, dan semoga Allah memberikan kemudahan”
Tangis pecah, Dela dan bu Ida berpelukan, sementara pak Imron, hanya menutup matanya dengan tangan. padepokan mendadak hening, hening sekali.
“Sebelumnya saya hanya mau memastikan dulu” ucap mbah Tonah, menatap pak Imron, bu Ida dan Dela bergantian.
“Sebelum kejadian ini menimpa kalian adakah di antara kalian yang bermimpi bertemu dengan wanita yang cantik?”
Dela langsung mengatakan “nggih mbah, itu saya”
“Nak Dela tau siapa wanita ini?”
Dela menggelengkan kepala, “nak Dela” kata mbah Tonah, “coba mendekat”
Ketika Dela mendekat, mbah Tonah membaca ayat serta memijat tengkuk Dela, dan betapa terkejutnya, mendadak perutnya mual, dan Dela memuntahkan sesuatu.
“Astaghfirullah” ucap semua orang yang melihat, di lantai, ada seperti ikan lele namun bukan lele, besarnya seukuran ibu jari, dan panjangnya sepanjang telapak tangan.
“Nopo niku mbah” ucap mas Iwan yang sama kagetnya.
“Sudah ku duga, sebenarnya yang di incar sejak awal, itu Dela”
Kemudian mbah Tonah menatap bu Ida, “bu Ida bisa cerita, apa yang di ambil dari sebua kamar di penginapan ********A?? mungkin bu Ida bisa mulai bercerita”
Bu Ida menatap mbah Tonah, ragu, namun kemudian beliau mengatakan “sebuah kalung mbah”
“Kalungnya milik ibu?”
“Mboten mbah” bu Ida, terdiam lama, “saya mengambil di salah satu kamar, dan entah kenapa saya ingin membawanya pulang.”
Mbah Tonah lalu beralih ke pak Imron dan Dela, beliau mengatakan, “sudah-sudah jangan ada yang marah, sudah terjadi, tidak ada yang bisa mengulangi waktu, yang sekarang saya ingin tau, dimana kalung itu?”
“Itu masalahnya mbah” kata bu Ida, “saya menaruh kalung itu di dalam tas, tapi sesampainya di rumah, kalung itu hilang, sampai sekarang, saya tidak tau ada dimana”
Pak Tonah mengangguk. “tidak perlu di cari, karena kalung itu sudah di buang oleh mbah Wira”
“Begini” mbah Tonah menjelaskan, “sebelum saya mulai saya jelaskan dulu titik permasalahanya, kenapa bisa menjadi seperti ini. Kalung itu sudah berpindah-pindah tangan dari satu keluarga ke keluarga lain, tujuanya cuma satu, membawa bala bencana bagi mereka yang menyimpanya”
“Mbah Wira, tau akan hal itu. Karena entah kalian sadar atau tidak, mbah Wira bukan sembarang orang, beliau adalah getih anget, yang menjadi tiang kembar dan yang jadi masalahnya adalah, Jin Rhib yang memasukinya, kebetulan adalah jodohnya. Itu yang membuat semua ini sulit”
“Mbah Wira bisa saja menolak ini, bisa melawan jin itu, karena getih anget tidak dapat dengan mudah di rasuki, namun, jin itu makhluk yang menipulatif, dia akan terus membuat kalian menderita, dia akan membawa kesengsaraan, bagaimana itu bisa terjadi?”
“Karena panjenengan bu, sudah membawa benda yang seharusnya tidak boleh anda bawa, benda yang bukan milik anda, sekalipun itu adalah batu permata, di larang bagi seorang muslim untuk mengambilnya, karena tidak ada yanh tau selain Allah yang maha tau”
“Mbah Wira, menerima jin ini, asalkan, di kalian tidak di libatkan dalam penyakit atau musibah yang sedang siap ia tumpahkan pada keluarga ini, sekarang, saya harus cari tahu dulu, dimana mbah Wira di sembunyikan. Karena alam mereka berbeda dengan alam kita. Semoga Allah membantunkita, dan semoga berakhir dengan baik”
Bu Ida tampak terpukul, tidak ada kalimat yang bisa keluar lagi dari bibirnya. Semua orang hanya merunduk, tidak pernah terbayangkan bila rupanya mbah Wira yang menanggung akibat dari semua ini.
Malam itu juga, mbah Tonah mengantar pak Imron sekeluarga ke tempat dimana mbah Wira berada, rupanya, tempatnya sangat jauh, bahkan butuh waktu 20 menit untuk sampai, di sebuah gubuk kecil, di luar gubuk, banyak santri tengah mengaji, cahaya disana hanya bergantung pada obor.
Ketika pintu akan di buka, mbah Tonah mengatakan untuk menyiapkan mental karena apa yang akan mereka lihat, semata-mata bukan untuk menyksa atau membuat mbah Wira tersiksa, ini hanya cara yang di lakukan untuk membersihkan jin dan bangsa lelembut yang sudah terlanjur masuk karena di undang.
Sekarang, tinggal jin Rhib itu sendiri yang ada di dalam tubuh mbah Wira.
Pintu di buka dan mbah Tonah mempersilahkan pak Imron sekeluarga masuk, ngeri bercampur takut, apa yang di saksikan di luar batas nalar, tangan dan kaki mbah Wira di pasung, wajahnya di temui banyak luka borok
Tidak hanya itu, bau busuk yang menyengat membuat siapapun yang menciumnya tidak akan bisa tahan, mual itu yang di rasakan Dela, samping kiri kanan banyak darah dimana-mana “enten nopo niki mbah?” (ada apa ini mbah?) tanya pak Imron,
“Sabar mas, ini ulah jin Rhib, dia sudah tersudut”
Kata mas Iwan menenangkan.
Dela yang pertama mendekati, dirinya tidak tau lagi harus berkomentar apa, meski semua ini terdengar gak masuk diakal, namun jauh disana dia masih melihat bayangan si mbah, mungkin beliau sangat tersiksa, sampai Dela melihatnya dengan jelas, mata mbah Wira sepenuhnya hitam legam, tidak ada putih di matanya. Ia meraung setelah melihat Dela, memohon agar ia di lepaskan dari belenggu ini, namun Dela tau, itu bukan mbah Wira.
Mbah Tonah duduk di sebuah kursi tua, beliau merangkul tongkatnya, menghadap mbah Wira dengan tenang, sebelum tertidur.
Semua tampak kaget, kenapa mbah Tonah tiba-tiba tertidur, mas Iwan dan pak Sugeng, menahan bu Ida dan pak Imron, beliau hanya mengatakan, “Disini saja pak bu. biar di urus sama mbah Tonah”
Tiba-tiba seperti petir di siang bolong, mbah Tonah terbangun, berbicara dengan bhs. Arab. Suaranya melengking seperti wanita.
Dela yanh menyaksikan itu, kaget, setengah merinding, ucapan mbah Tonah tertuju pada sosok di hadapanya, rupanya, mbah Wira bisa menjawab ucapan bhs Arab itu, mereka sama mengobrol namun dari nada suaranya sangat sengit.
Mas Iwan menjelaskan, mbah Tonah sudah memaksa jin itu memberitahu dimana mbah Wira di sembunyikan, namun jin ini jauh lebih dari keras kepala, karena memang sejak awal, jin ini sudah cocok dengan mbah Wira, namanya juga tiang kembarnya.
Rupanya, Jin itu tetap tidak mau memberi tahu.
Dan mbah Tonah tertidur kembali, begitu beliau bangun, mbah Tonah, berujar pada pak Imron, “saya ingin berbicara dengan anda, dan hanya anda saja. mari ikut saya”
Lama, Dela tidak meihat pak Imron dan mbah Tonah, sekitar jam 2 dinihari, mereka kembali, namun, wajah muram, terlihat dari ekspresi garis muka pak Imron
“Del. bapak mau ngomong” kata pak Imron. “Dela sayang mbah kan?”
Dela mengangguk, wajahnya terlihat bingung. “begini” kata pak Imron, “hari ini, akan di adakan sholat mayit untuk mbah Wira”
Kaget tentu saja. Dela terdiam
“Shalat ghaib pak” kata Dela, “jadi, mbah sudah gak ada”
“Begini” kata pak Imron mencoba memeluk Dela “ada harapan dengan sholat ghaib, kita sudah mengikhlaskan si mbah, dan jika kita sudah ikhlas, jin ini, akan ikut lenyap, tapi rupanya, ini bisa memberi jalan ke si mbah untuk pulang. masalahnya, Dela harus siap menerima konsekuensi apapun, mungkin si mbah bisa pulang, tapi akal sehatnya ikut lenyap. Namun hanya itu cara satu-satunya, bukankah setiap manusia pasti akan mati”
Malam itu. Persiapan sholat ghaib di laksanakan saat itu juga.
Bagai di terpa badai angin, rupanya. Jin Rhib itu sudah tau, dia berteriak, dan alam menentangnya dengan angin yang berhembus kencang, para santri begitu terkejut, namun mbah Tonah tetap tenang, sembari meminta semua santrinya mendekat, termasuk Dela yang baru saja berwudlu..
Sholat di lakukan dengan khidmat, di pimpin mbah Tonah, dan Jin itu menjerit sejadi-jadinya, konon, Dela bercerita, ia seperti melihat tubuh mbah Wira tertekuk dengan suara tulang di patahkan, begitu ngeri, namun Dela harus ikhkas, dengan ini, semoga ada jalan bagi mbah Wira
Setelah sholat ghaib, mbah Wira memuntahkan-muntahan hitam, hitam sekali, dan sangat menyengat. Dia tidak berhenti memuntahkan itu.
Sembari mencoba lepas dari pasak kayu, tulang lehernya seperti baru saja patah, sehingga kepalanya tidak dapat terangkat. ini merupakan kengerian
Yang pertama kali membuat Dela sampai tidak bisa melihatnya.
Setelah subuh datang. Mbah Wira sudah jatuh, entah pingsan atau apa, beliau mengelepar di atas tanah. Santri perempuan membuka pasak, membawanya kembali ke pondok pesantren, sementara yang lain kembali untuk menunaikan shalat subuh.
Adzhan dzuhur berkumandang, pak Imron mengetuk kamar Dela selama tinggal di pondok pesantren, beliau memeluk Dela kemudian mengantarkanya ke sebuah kamar.
bu Ida juga ikut menyambutnya, matanya hitam tampak lelah dan di hantui rasa penyesalan, Dela mencoba menghibur dengan memeluknya, insya allah, semua sudah ikhlas.
Mas Iwan dan pak Sugeng sudah menunggu di luar kamar, di dalam kamar, Dela melihat mbah Tonah, setelah mencium tangan beliau, Dela tertuju pada seseorang yang tengah duduk memandang jendela.
Mbah Wira duduk. Matanya kosong memandang keluar.
“Mbah” kata Dela, namun tidak di jawab.
Tidak berhenti, Dela terus memanggil nama si mbah, namun, sebanyak apapun dia memanggilnya, mbah Wira seperti tidak mendengar siapapun.
Disana, mbah Tonah menjelaskan. “saat ini, mungkin mbah Wira sudah kosong, seperti yang saya bilang, kemungkinan dia tidak akan ingat siapapun, tidak ingat apapun, tidak bisa melakukan apapun, makan harus di suapi, mandi harus di mandikan, seperti orang mati namun, raganya tetap hidup. dan tidak akan ada lelembut yang tertarik sama jiwa yang sudah kosong”
“Pernah melihat kenapa orang gila tidak pernah di rasuki, karena di mata mereka, orang gila tidak punya akal pikiran, bau mereka teramat sengak, sehingga bangsa alus menjauhinya. mohon maaf, hanya ini yang bisa saya lakukan untuk membantu, dan pak Imron sudah setuju”
“Insya Allah, tidak akan ada yang menganggu keluarga kalian kembali. Jin itu tidak akan kembali, dan tidak akan berani, karena tiang kembarnya, sudah runtuh satu”
Siang itu, keluarga pak Imron dan semua yang ada disana. Kembali pulang setelah berpamitan dengan semua orang di pondok pesantren.
Mbah Wira di tuntun oleh pak Imron ketika berjalan, dan beliau menurut saja. tapi tatapanya masih kosong.
Sangat kosong. raga tanpa jiwa. penggambaran itu lah yang Dela saksikan.
2 bulan setelah peristiwa itu, Dela bermimpi lagi, mbah Wira kembali, menemuinya dan tersenyum.
Begitu ia terbangun dari tidurnya, Dela menemui si mbah yang lebih banyak beraktifitas di dalam kamar, hanya melamun dan melamun, namun, pagi itu berbeda. Si mbah Wira bisa melihat Dela, membelai wajahnya untuk terakhir kalinya.
Tidak ada yang tau umur manusia, setelah Dela pergi dari kamar itu, siapa sangka, mbah Wira menghembuskan nafas terakhirnya.
Dela hanya bisa menatapnya sedih, tentu saja. Namun ia sudah ikhlas, dan jawaban akan senyuman itu
Adalah jawaban si mbah yang mungkin sudah berterimakasih pada Dela, disini, apa ceritanya berakhir. ya, cerita ini memang berakhir sampai disini.
Gw gak tau harus nutup thread ini dengan kalimat apa, tapi, mungkin ada kalimat yang sedari tadi gw pikirin.
Memang, sebagai seorang manusia mengambil sesuatu yang bukan haknya merupakan hal yang tidak benar, dan gw berharap siapapun yang membaca ini, untuk tidak melakukan hal tidak terpuji semacam itu.
Btw, gw udah minta ijin sama narasumbernya, jadi gw sertain SS chat gw sama dia. tapi, terlepas dari semua itu, gw juga seorang manusia biasa yang mungkin melakukan kesalahan dalam penulisan, tempat dan beberapa hal yang sengaja gw kaburkan, atas permintaan narasumber tentu saja. So gw sertain penutup Thread ini denga foto beliau yang tentu saja sudah gw tutupin wajahnya. semoga ada hikmah yang bisa di petik dalam cerita gw kali ini. Well, gw gk tau lagi kapan bisa balik nulis thread karena akhir-akhir ini gw sakit mulu, wkwkwk, santai, tapi gw bakal balik nanti kalau sudah baikan dan fit total. Akhir kata, wassalam.
Chat hasil semalam. (Tidak ada di blog ini, bisa di lihat disumbernya langsung)
Mohon maaf fotonya gw(simpleman) hapus, gw belum minta ijin. Intinya, cerita ini balik lagi ke kalian, ambil hikmahnya, dan tetap percaya sama Tuhan. Pamit lagi
Sumber : SimpleMan