Cerita Horror Rahasia Dibalik sebuah Foto Tua “Si Anak”

Image misteri dibalik foto tua


Tugiman Blog – Cerita yang akan saya bawakan malam ini, adalah cerita masa kecil seseorang yang dulu, pernah tinggal disebuah yayasan panti asuhan yang didirikan oleh sebuah keluarga, dimana, dalam pengalamannya, dia menemukan keganjilan2, sebuah rahasia besar yang tersembunyi dibalik dinding.
Sebuah cerita, yang akan membawa kita, melihat kilas balik dari rangkaian peristiwa yang ia pernah alami,

Satu pesan saya, jangan pernah membandingkan cerita ini dengan cerita lain, karena saya sendiri percaya, setiap cerita memiliki warnannya sendiri, dan mari kita mulai.

14 juni, 2004

Siang terik itu, lebih tenang dari biasanya, seorang wanita bungkuk yg tengah bersusah payah dalam berjalan itu tengah menyusuri lorong rumah, wajahnya lelah, namun, masih tersirat sebuah semangat dari balik keriput kulitnya, lantas, ia duduk seorang diri, merenung 

“Nduk” teriaknya, suaranya lembut, lebih terdengar sumbang dari biasanya datang, seorang gadis kecil, menatapnya, si wanita tua itu, tersenyum lalu mengatakannya, “Nia, panggil adik-adik kamu, mbok mau bicara sama kalian semua ya”

Tanpa bertanya, Nia menuntaskan tugasnya, ruang tamu yang sepi itu, kini ramai, ada lebih dari 6 anak, mereka duduk, menatap si mbok yang selama ini sudah merawat mereka, menjaga mereka, memberikan perlindungan didalam rumahnya, namun, hari ini, terdengar sebuah berita, bahwa si mbok, sepertinya, tidak akan ada lagi, tidak untuk bisa menjadi figur yang akan menemani mereka, karena seminggu yang lalu, Nia mendengar bisik-bisik, bahwa yayasan yatim piatu milik mbok Sarni, akan dijual, meski berat, Nia yang pertama tahu, bahwa bisa saja hari ini, ia akan berpisah dengan adik-adik kecilnya. 

“Mbok sayang kalian, itu yg harus kalian tahu ya, le, nduk” ucapnya, “tapi sepertinya, mbok tidak bisa lagi, menjaga kalian, jadi, mbok mau langsung bilang saja, esok, pak Ridwan, akan mengantar kalian, ketempat baru, kerumah baru, dan mbok berharap, kalian tetap jadi anak baik” tidak ada suara yang menjawab ucapan mbok Sarni, tidak bahkan Nia sekalipun, rasa sedih seperti berputar diruangan itu, semua anak, kemudian pergi, satu persatu, bermain, mencoba melupakan luapan kesedihan itu mbok Sarni melihat Nia, lantas memanggilnya lagi, “Nia kesini nduk” “dari adik-adikmu, kamu yg paling besar, paliang kuat, paling ngerti, si mbok cuma mau bilang, semoga, ditempat yg baru, kamu temukan keluargamu, mbok cuma berpesan, jangan lupa sama mbok ya,” “Nia mau dibawa kemana memang mbok” tanya Nia, ia sudah mendengar, bahwa, hanya Nia, yang akan dibawa pergi, paling jauh, berpisah dengan semua adik-adiknya disini, karena, untuk usia Nia, tidak ada yg mau menerimanya, kecuali, yayasan Su******, yang ada jauh, di ja*****g**, mbok mencium kening Nia untuk terakhir kalinya, sebelum, hari itu tiba, Nia pergi 12 jam sudah dilalui dengan mobil, pak Ridwan berkali-kali menghibur Nia, ia akan suka dengan keluarga barunya, di yayasan yang baru ini, banyak anak yang mungkin sesusianya, meski ucapan pak Ridwan cukup menghibur Nia, ia merasa, berpisah dengan adik-adik angkatnya, sangat berat.

Sampailah, Nia, disebuah rumah besar, namun gaya bangunannya tua, halamanya luas, dipenuhi oleh rimbun berbagai macam tanaman, Nia digandeng oleh pak Ridwan, melintasi pagar besi yang berkarat, ia mengguncang lonceng didepan pintu, tiba-tiba, pintu terbuka, dan seorang melintas, sebuah mobil ambulance terparkir didepan rumah itu, awalnya, pak Ridwan tidak mengerti, kenapa ada mobil ambulance disana, namun, pertanyaanya terjawab, dari balik pintu, 2 orang petugas, tengah membopong seseorang, tdak terlalu tinggi, mungkin setinggi Nia, ia ditutup kain putih, dari saat mereka melintas, tercium amis darah, Nia bisa melihat dengan jelas, ada yang ganjil dari siapapun yang dibawa oleh petugas itu.

Kemudian, mata Nia dan pak Ridwan, teralihkan pada sosok yang tengah berdiri, tersenyum kepada mereka, selamat datang, di yayasan kami. 

Seperti yang Nia duga saat ia melihat rumah itu, bangunanya tua, mungkin sudah dibangun sejak lama, lantainya masih menggunakan bahan tegel, selain itu, ornamen didalam rumah hanya diisi oleh foto-foto tua, dengan rak-rak buku dan kayu jati ukir, tidak ada yg menarik, kecuali, sebuah foto, ukurannya lebih besar dari ukuran foto lain, seorang wanita, tengah duduk memandang ke kamera, foto itu tidak berwarna, seperti foto tua kebanyakan, namun, bila dilihat lebih teliti, si wanita dalam foto tampak berpose tengah menggendong sesuatu, layaknya seorang ibu “namanya Nia, seharusnya, tahun ini, ia menginjak kelas 1 smp, saya sudah mendapat amanat dari mbok Sarni, untuk mengantarkannya, semoga, ia diterima dengan baik disini” ucap pak Ridwan.

Si wanita tersenyum menatap Nia, suaranya dingin, “tentu saja, disini, kami siap menerimanya”. Sore itu, pak Ridwan memberikan salam perpisahan kepada Nia, ia mengatakan, salah satu pamong (pengurus) di yayasan ini adalah teman baik mbok Sarni, untuk itu, beliau percaya, bahwa Nia akan diurus dengan baik.

Kepergian pak Ridwan, membuka lembaran baru kehidupan Nia, Nia menghadap wanita itu, ia memperkenalkan dirinya sebagai salah satu pamong yang mengawasi anak-anak, rumah ini, memang besar, banyak kamar tersedia, namun, tidak semua kamar terisi, karena beberapa kamar, memang sengaja, dibiarkan kosong, untuk apa, tampaknya, itu rahasia “disini, bila memanggil pamong, panggil namanya saja, tapi, diawali dengan Ni ya, kenalkan, nama saya, ni Elin” ucapnya, dari gelagat cara ia bicara, ni Elin terlihat sangat tegas, terkesan sangat galak, Nia mengikuti beliau, ia membawa Nia menaiki anak tangga. 

Ada yang Nia selalu perhatikan ketika ia melewati pintu-pintu dikoridor, terutama, dibagian sudut pintu, ia melihat disetiap pintu, ada lonceng yg terpasang, aneh, ni Elin berkali-kali mencuri pandang lewat ekor matanya, ia selalu tersenyum, saat Nia berhasil melihat tatapannya “Ada yang ingin saya sampaikan, selama tinggal dirumah ini, aturan adalah mutlak, bila tidak menuruti aturan disini, konsekuensi akan menjadi pembelajaran bagi mereka yg melanggarnya” ni Elin, membuka pintu, “kamarmu nak”. Nia melangkah masuk, sebuah ruangan yg tidak terlalu besar namun cukup lega untuk menjadi kamarnya. kecuali, ia melihat ranjang bertingkat disana.

“Teman sekamarmu, nanti, akan pulang, nanti saya kenalkan sama semua anak yang ada disini, istirahat dulu” ni Elin menutup pintu, aroma debu dari tembok tua, dan sejumlah perabotan usang, Nia melihat setiap detail yang bisa ia amati, sukar, bila harus tinggal ditempat yang kotor seperti ini.

Sesaat kemudian, Nia melihat sesuatu dijendela rumah ini, memiliki 2 lantai, tempat kamar Nia berada, disana, di jendela, Nia bisa melihat langsung ke halaman belakang rumah, pemandangan langsung yang bisa Nia nikmati, namun, dari jendela itu, Nia juga bisa memperhatikan sekitar. lingkungan rumah yang dipenuhi pepohonan rimbun dengan area rumput beserta alat bermain untuk anak-anak. 

Karena terlalu penat, setelah menempuh perjalanan jauh, Nia memutuskan untuk beristirahat, ia merebahkan tubuhnya, kemudian terlelap dalam tidurnya. 

Mungkin karena terlalu lelah, hingga Nia tidak sadar, seseorang, tengah bernafas tepat diwajahnya, hal itu, membuat Nia terbangun dan membuka mata, ia tersentak saat melihat seorang gadis kecil, menempelkan wajahnya, mengamatinya, lantas tersenyum dengan gigi bugisnya. 

Masih mengenakan seragam sekolah, gadis itu terus melihat Nia, memperhatikannya dengan seksama, seperti mengamati Nia, membuat Nia merasa tidak nyaman

“Ahu, inga inini ua” ucap gadis itu

Nia tidak mengerti ucapannya, lantas kemudian melangkah keluar kamar, meninggalkan si gadis. Nia menuruni anak tangga, mencari ni Elin, saat Nia sedang mencari-cari keberadaan ni Elin, Nia bertemu dengan seorang wanita, ia berperawakan besar, mengamatinya lantas bertanya.

“nduk, kamu yg tadi baru datang”

Nia mengangguk, “kamu cari siapa?”

“ni Elin” 

“Memangnya ada urusan apa?” tanya si wanita.

“Dikamar saya, ada anak kecil, saya tidak mengerti itu siapa dan kenapa cara bicaranya seperti itu” sahut Nia,

“Oh begitu” ucap wanita itu, mengantar Nia kembali ke kamar, “dia yang akan menjadi teman sekamarmu” “maaf, dia tunawicara” 

Nia melihat gadis itu, si wanita memperkenalkan nama gadis kecil itu, “Silvi, namanya Silvi” “kalian yg akrab ya, kalau ada apa-apa, panggil saja saya, nama saya, ni Eva” ni Eva menutup pintu, lantas meninggalkan Nia, Silvi, ucap Nia, ia seakan mengamatinya, canggung, setiap kali Silvi bicara, Nia hanya mengangguk, ia tidak mengerti, tidak memahami maksud setiap ucapannya, bahkan ketika Silvi, menawari Nia berkeliling rumah, Nia hanya mengangguk, padahal tidak mengerti maksud ucapannya, hingga, Silvi menarik Nia, mereka keluar dari kamar berjalan melintasi koridor, melewati kamar demi kamar, sampai akhirnya berhenti dihalaman belakang, Nia bisa melihat jendela kamarnya darisini, Silvi terus bicara, namun, Nia tidak mengerti setiap ucapannya, sampai, mata Nia teralihkan pada sebuah kamar, Nia tertuju menatapnya dibalik sebuah tirai putih transparan, Nia melihat seseorang mengamatinnya, wajahnya tersamarkan tirai putih, namun Nia yakin, sosok itu melihat kearahnya. Silvi menatap Nia, lantas menarik kepalanya, ia menggelengkan kepala dengan keras, menarik Nia, kembali masuk kerumah.

Silvi terus bicara dengan nada suara yg tergopoh-gopoh, membuat kalimatnya semakin rancau didengar telinga, ia mengatakan “iaaak iaaak iaaak” terus menerus, membuat Nia merasa, bahwa Silvi ingin mengatakan sesuatu.

Apa itu, “iaaaak” 

“Gak usah didengerin apa yang diomongin anak itu, gak bakalan ngerti juga kamu” seorang anak lelaki, mungkin seumuran dengan Nia keluar, satu kakinya disanggah menggunakan tongkat kaki “kalau sudah sore gini, mending masuk kamar saja, cuma saran” kata anak lelaki itu, Nia mengajak Silvi kembali ke kamar, tempat ini, sangat berbeda dengan tempat tinggalnya sebelumnya, anak-anaknya, bahkan tidak terlalu nampak, bahkan, Nia merasa, yayasan dengan rumah sebesar ini, terkesan sepi, dan menimbulkan perasaan yg mencekam setiap ia berdiri dilantainya. Hal yang membuat Nia tidak nyaman adalah ketika setiap kali ia membuka pintu, terdengar suara lonceng yg membuatnya merasa begidik, bukan hanya lonceng pintunya, namun, lonceng dipintu lainpun sama, membuat Nia bisa mendengarnya, bahkan saat ada didalam kamar sekalipun 

Setiap malam, suasana sepi semakin membuat Nia merasa merinding, pemandangan ke taman tentu berbeda dengan pemandangan ketika Nia melihatnya saat siang hari, Nia menyibak tirai, sementara Silvi, ia terus memandanginya dari ranjang atas, hal itu, sangat tidak menyenangkan. Seseorang mengetuk pintu, memanggil Nia dan Silvi, “makan malam” teriaknya, Nia melangkah keluar, mengikuti Silvi menuruni anak tangga, menuju dapur, dimana semua anak-anak sudah berkumpul, ia melihat anak lelaki itu, dan tentu saja, anak-anak yg lainnya, ada sekitar 7 anak, 4 diantaranya adalah perempuan, termasuk Nia, sisanya, anak laki-laki, selama mereka makan, tidak ada suara apapun, tidak ada yg saling bicara, hanya dentingan sendok dan piring yg terdengar, bahkan Silvi tidak bersuara sedikitpun, mereka seperti terlatih diam dari semua anak yang ada disini, Nia mengamati wajah mereka, sibuk dengan makanannya sendiri, hal itu, membuat suasana benar-benar canggung, saat Nia membuka percakapan, semua mata langsung memandanginnya, canggung, lalu mereka kembali pada makanannya setiap satu dari mereka sudah selesai makan, mereka membawa piring, sendok dan gelas, mencucinya, kemudian meletakkannya diperabotan yg sudah ditentukan, tidak ada ucapan, tidak ada kalimat pamit, mereka pergi, berlalu, begitu saja, bahkan, langkah kakinya, tidak bersuara.

Silvi baru saja selesai, Nia melakukan hal yang sama, kemudian, ia melihat ni Eva, ia memanggil Nia, mengantarkannya pada sebuah ruangan, dimana disana, ada ni Elin dan seorang wanita tua.

“Nia ya” “selamat datang sebelumnya, maaf, saya baru pulang jadi tidak bisa menyambut kamu” 

“Nia sudah tahu peraturan disini, saat jam menunjukkan pukul 9 malam, tidak boleh ada yg keluar kamar, sebenarnya, boleh saja, bila memang ada keperluan ke kamar mandi, namun, setelah selesai, langsung kembali ke kamar ya. paham” ucap wanita tua itu. 

Nia mengangguk.

“Nama saya ni Ika, saya kepala pamong disini, bila ada yang mau Nia tanyakan, silahkan, tanyakan saja”. Nia menatap ni Ika, ia seperti menunggu Nia bicara, ada hal yg sangat ingin ia tanyakan, namun tampaknya, Nia mengurungkannya. ia kembali ke kamarnya. 

Dikamar, Silvi sudah ada diranjang atas, melihat Nia melangkah masuk saat suara lonceng itu berbunyi, Nia langsung pergi ke ranjangnya, melihat Silvi, menunjukkan kepalanya dari atas, melihatnya dengan tatapan seperti biasanya

“Sudah malam, tidur” kata Nia, Silvi mengangguk. Malam, semakin larut, namun, Nia belum juga bisa memejamkan matanya, ia melirik jam kecil diatas meja, sudah pukul 12 malam, ia terbangun, lalu duduk diranjangnya, mengamati situasi, mungkin Silvi sudah tidur, tiba-tiba, terdengar suara lonceng yg berbunyi dari luar, awalnya, ia hanya mendengar satu lonceng, Nia mendengarkan dengan seksama suara itu, siapa yg keluar jam 12 seperti ini.

Nia kembali tidur, memejamkan matanya, sebelum, suara lonceng berdenting, terus menerus, Nia yg mendengarnya, terbangun dari tidurnya. 

Suara-suara itu membuat Nia merasa tidak tenang, seakan puluhan pintu dibuka secara bergantian, hal yang membuat Nia penasaran, namun, ketakutan seperti mengurungnya, ia menutup telinganya dengan bantal, membiarkan suara itu, menghilang dengan sendirinya. 

Keesokan paginya, Nia membuka kamar, ia melihat dengan seksama, namun, tampaknya tidak ada yg terjadi ditempat ini, Silvi sudah berganti seragam, menyapa Nia, lalu melangkah pergi, bergabung bersama anak-anak lain, mereka menuju sekolahnya masing-masing. 

“Ibuk pengen kamu sekolah, ibuk sudah mengurus surat-suratnya, besok, mungkin kamu sudah bisa ikut bersama yang lain” kata ni Ika, tersenyum

“Iya ni, terimakasih” sahut Nia, selama dirumah, Nia penasaran, sebesar apa rumah ini, ia kemudian, menelusuri sejengkal demi sejengkal. Nia masih mengawasi setiap pintu, selalu saja ada lonceng diatasnya, hingga, Nia melihat sebuah ruang, dengan anak tangga yg terputus, tempat itu, cukup sulit diakses karena latarnya yang jauh dibelakang, anehnya, hanya ada satu pintu disana, dan tepat dipintu itu, tidak ada lonceng, namun, Nia tahu, tidak ada cara untuk kesana, tangga kayu itu seperti sudah lama patah. Nia berbalik, berniat kembali ke kamar, sebelum, ia mendengar, seseorang, seperti menggaruk pintu darisana, suaranya terdengar hingga Nia merasa, ada orang didalam sana. 

Nia langsung pergi, ia meninggalkan tempat itu, seperti apa kata hatinya, tempat ini, jauh dibelakang, dan aksesnya yang benar-benar sulit, ia merasa, tempat itu adalah tempat wingit, dari suasananya, Nia bisa membaca, bahwa sebagian rumah ini, rupannya tidak diurus dengan baik. Nia kembali ke kamar, menutup pintu, ia memutuskan menghabiskan waktu tidur diatas ranjang, namun, ketika Nia merebahkan badannya, ia melihat sesuatu di meja, sebuah foto kecil hitam putih, ia baru menyadari, bila di meja itu, ada pigura menyerupai liontin dengan foto kecil disana, ia mendapati foto wanita yang sama, ia mengenakan pakaian yang sama persis, dengan foto yang Nia lihat diruang tamu.

“Siapa wanita itu” “sepenting itu kah dia, sampai fotonya ada dimana-mana”

Nia meletakkanya, menunggu sendirian, tanpa Silvi, tempat ini lebih sunyi. Terdengar lonceng berbunyi, Nia terbangun dan melihat Silvi melangkah masuk, melemparkan tasnya serampangan, kemudian melepaskan sepatu dan seragam sekolahnya, Nia bangun untuk membereskannya, meletakkan dimana seharusnya benda itu berada, ia merasa, Silvi seperti adik kecilnya, seperti biasa, Silvi mulai bicara banyak, dan dari pembicaraan yg banyak itu, Nia hanya mengangguk, tidak ada satupun kalimat yg ia mengerti, kecuali, saat ia meragakan gerakan untuk minum, Nia baru mengerti, Nia dan Silvi, melangkah pergi, menuju dapur, ditengah perjalanan, Nia bertemu seorang perempuan, wajahnya tampak menyelidik, ia menatap Silvi kemudian Nia bergantian, lantas kemudian mengatakannya,.

“Kalau aku jadi kamu, aku akan menghindari anak ini”

perempuan itu melewati Nia begitu saja, sembari meilirik jijik Silvi, meski perempuan itu mengatakan hal itu didepan Silvi, ia tampak tidak perduli, lebih tidak tahu maksud kemana ucapan perempuan itu tadi, mereka pergi kedapur, setelah selesai, Silvi, berjalan menuju tempat yang Nia hindari, Nia memanggilnya, tapi Silvi justru menuju kesana 

Ia berhenti tepat didepan pintu itu, melihatnya, kepalanya mengadah keatas, seakan menunggu sesuatu keluar darisana, Nia yg melihatnya, menariknya, “ngapain disini, ayo kembali”

Silvi mengangguk, ia mengikuti Nia, namun kepalanya, masih melihat ke pintu itu. 

Makan malam seperti biasanya, tidak ada pembicaraan apapun, setelah selesai, semua kembali ke kamarnya masing-masing, sekarang, Nia tahu, Silvi belum bisa menulis huruf, aneh, untuk anak seumurannya, seharusnya setidaknya ia sudah mengenal huruf-huruf, namun, kenapa ia belum bisa dibandingkan bicara, Nia lebih tahu apa yang coba Silvi sampaikan melalui gerakan tangan, seperti minum, seperti tidur, seperti makan, namun, adakalanya, ia tidak mengerti, gerakan apa yang coba Silvi sampaikan, meski begitu, Nia bersikeras mengajari anak itu, ia harus bisa menulis, malam semakin larut, Silvi sudah beranjak dari ranjangnya, ia memilih ranjang atas, entah kenapa, padahal, bila mendengar dari cerita ni Elva, Silvi, sebenarnya, tidur diranjang bawah, seperti saat dia tinggal bersama teman kamarnya dulu. 

Saat Nia bertanya kemana teman sekamar Silvi, ia berhenti sejenak, ia tampak diam, memandang Nia, lalu tersenyum dan mengatakan “teman sekamarnya, sekarang sudah punya keluarga baru” lalu ia pergi, meninggalkan Nia sendirian, seperti terkesan buru-buru pergi, malam itu, Nia sudah menyibak selimut, kantuk mulai menyerangnya, Nia memejamkan matanya, sebelum, Silvi memainkan rambutnya, ia menatap Nia, kemudian menunjuk gerakan, bahwa ia ingin ke kamar mandi, Nia menatap jam di meja, pukul 1 dinihari, ragu, namun Silvi memelas, 

Nia melangkah turun, menggandeng tangannya, ketika membuka pintu, Nia mencoba untuk tidak membuat lonceng itu berbunyi, namun, sia-sia,

Nia menutup pintu, lantas mengantar Silvi menuruni anak tangga, ia menuju kamar mandi yg jaraknya tidak terlalu jauh dari dapur Nia menunggu diluar, saat malam hari, rumah ini menjadi gelap temaram, meski masih ada pencahayaan disana-sini, namun, karena besarnya rumah ini, sehingga, ada sisi gelap yang masih membuat Nia merasa ngeri saat menatapnya.

Lama ia menunggu Silvi, gadis itu, tidak juga keluar, kemudian, terdengar lonceng berbunyi, Nia mengamati sekeliling, apa ada yg juga keluar dari kamar, namun, tidak ada satupun orang yg Nia lihat, perlahan, bulukuduk Nia berdiri, ia bisa merasakan bahwa sekarang, ia tidak seorang diri disini

“Silv, udah belum”

Tidak ada jawaban.

Nia melangkah masuk, ada beberapa pintu dikamar mandi, Nia mengamati satu persatu, mengetuknya, sembari memanggil gadis itu, namun, tidak ada jawaban, dan kembali, suara lonceng, terdengar lagi, Nia yakin, suara itu adalah suara lonceng kedua kalinya yg ia dengar, salah satu pintu terbuka, Silvi melangkah keluar, membuat Nia merasa lega, ia segera menarik tangan gadis itu, membawanya agar ia cepat kembali ke kamar, namun, tiba-tiba gadis itu menarik tanganya dari Nia, ia berhenti, tepat disebuah lorong, lantas, Silvi memandang sisi kosong. Silvi menatap Nia, lantas kemudian berbicara “Iaaak Iaaak iaaak!!”

Nia yg tidak mengerti maksudnya, menatap ruang kosong itu, disana, dilorong itu, banyak pintu dikiri dan kanannya, yang entah bagaimana, tiba-tiba lonceng diatasnya, berdenting dengan sendirnya, lantas, Nia kembali memaksa Silvi, kali ini, ia memaksanya, mereka berlari, menaiki anak tangga, dan seketika itu, lonceng diatas semua pintu mulai berdenting satu persatu, Nia membuka pintu, menguncinya, namun, suara lonceng masih berbunyi, Silvi kemudian menatap Nia.

Ia memperagakan gerakan untuk menutup bibir dengan telunjuknya, saat, terdengar suara sesuatu tengah mencakar pintu tempat Nia bersandar,

“IAAAK” ucap Silvi dengan suara pelan.. Setelah beberapa lama, keheningan membuat Nia sadar dari ketakutannya, ia lantas menuntun Silvi agar kembali ketempat tidurnya, sebelumnya Nia mendengar, suara lonceng itu kembali, pintu kamar yang sudah Nia kunci, tiba-tiba terbuka dengan sendirinya.

ni Elin muncul, ia menggandeng tangan Silvi, lantas menatap Nia yg sedang memanjat ranjang milik Silvi, mata mereka bertemu, “kamu, kalau ngantar Silvi ke kamar mandi, jangan ditinggalin sendirian”

Nia berbalik menatap ranjang Silvi, disana, ia tidak menemukan gadis itu 

“kamar juga kenapa dikunci, teman sekamarmu belum masuk, untung saya punya kunci cadangan” ucap ni Elin marah, ia menggandeng Silvi, Nia hanya diam saja, ia tidak tahu harus berkata apa, karena ia yakin, ia bersama Silvi beberapa waktu yang lalu.

“Ya sudah, istirahat lagi ya” 

ni Elin pamit pergi, saat pintu kembali ditutup, suara lonceng itu mengakhiri semua peristiwa ganjil malam ini

Silvi tidak marah kepada Nia, ia, mengatakan sesuatu kepada Nia sebelum pergi ke ranjang tidurnya, sebuah kalimat lain “ang amu awa iuuu iaaak” sembari tersenyum.

“Nia, bangun nak” Nia baru membuka mata, ia melihat ni Eva tengah berdiri disamping tempatnya tidur, ia ingat apa yang terjadi, kejadian semalam, seperti kembang tidur saja, lantas, Nia berdiri memberi salam kepada ni Eva.

“Kamu ditunggu ni Ika, sekarang ya”

Nia mengangguk.

Nia melangkah menuruni anak tangga, lantas, ia berjalan menyusuri lorong, tiba2, Nia melihat seorang anak lelaki yg biasa ia lihat di meja makan, Nia berpapasan dengannya “si Anak” gumam anak itu tiba2, entah benar atau tidak, Nia yakin, kalimat itu yang anak lelaki itu gumamkan, Nia mengetuk pintu, dari dalam terdengar suara ni Ika yg menyahut, “masuk”

Nia membuka pintu, ia melihat, wanita paruh baya itu tengah duduk, tatapannya menyelidik, sebelum ia tersenyum mempersilahkan Nia duduk.

“Sini nak, duduk” katanya lembut, 

“Ada apa ni” tanya Nia, dari semua 3 pamong yang ada disini, ni Ika adalah yang membuat Nia merasa was-was, mungkin karena beliau yang memiliki garis wajah keras, membuat Nia merasa terintimidasi, selain itu, umur ni Ika yang paling tua bila dibandingkan dengan ni Elin apalagi ni Eva 

“Jangan gugup begitu” sahut ni Ika, ia menurunkan kacamata yg sedari tadi terpasang di wajahnya, lantas, ia menatap Nia lagi,

“Saya sudah mengurus semua urusan kamu, kamu mau ya sekolah sama seperti yg lain, ibuk pengen kamu sama seperti yg lain, bisa melanjutkan pendidikan” 

Nia mengangguk sembari menjawab “inggih buk” katanya,

Untuk kali ini, Nia bisa melihat garis keras di wajahnya, melunak, Nia juga menatap senyuman di bibirnya, Nia merasa, mungkin, ni Ika memang seperti itu, tugas beliau sebagai ketua pamong membuat banyak orang salah menilainy 

Namun, ketika Nia pikir alasan kenapa ni Ika memanggilnya selesai, tiba-tiba, ni Ika menannyakan sebuah pertanyaan yg aneh,

“Gimana, kerasan gak tinggal sama Silvi?”

Nia yg mendengar itu, menatap mata ni Ika tampak menyelidik, ia seperti menunggu Nia menjawab pertanyaannya 

“Saya tidak mengerti maksudnya ni, apa yg coba ni tanyakan” Nia yang mengajukan pertanyaan kembali kepada ni Ika hanya dijawab dengan kening mengkerut lantas mencoba membuang ekspresi penasaran itu, Nia, semakin curiga melihat gelagat yg cepat berubah itu, seakan, menutupi “saya hanya tanya saja, hal itu, sama seperti yg lain, apakah mereka betah sama teman sekamarnya, yang jelas, saya ingin, rumah ini tetap kondusif saja, tanpa ada yang ditutup-tutupi” sahut ni Ika, ia mempersilahkan Nia pergi, Nia berdiri membuka pintu, sebelum, ni Ika memangil lagi. 

“Kamu, sudah berkeliling kan, sudah tahu dimana saja dan tempat apa saja yang ada disini?” tanya ni Ika,

Nia mengangguk,

“Bagus, begini Nia, ibuk bisa minta tolong”

“Tolong apa ni” tanya Nia,
“kamu, bisa menghindari untuk tidak datang ke lahan dibelakang rumah kan?” 

“Dibelakang rumah, di kamar kosong yg berjejer di lorong itu kah ni?” sahut Nia,

“Iya” sahut ni Ika, ia terlihat menyipitkan mata. “disana, banyak ruangan tidak terpakai, apalagi, di lahan kosong setelah pintu terakhir, bisa?”

“Kalau boleh tahu, kenapa ni?” tanya Nia 

ni Ika diam lama, lalu, ia menjawab, “karena disana, ada sebuah kuburan, pemilk dari yayasan ini sebelumnya, paham nak” ni Ika tersenyum, menutup pembicaraan itu, membuat Nia merasa ia seperti mendapat peringatan secara tidak langsung dari sang pemimpin pamong di yayasan ini. 

Nia pergi, setelah menutup pintu, entah kenapa, menatap lorong tiba-tiba membuatnya penasaran, bila dilihat lagi, lorong dan lahan kosong itu, tidak jauh dari kamar yg diatasnya tidak dapat diakses dengan tangga, dan memang benar, Nia belum pernah sekalipun kesana.

Nia mendekati tempat itu, perlahan-lahan, kakinya menjajak diatas lantai, ia mendekat, semakin mendekat, bahkan, ia akan melewati kamar misterius itu, sebelum, “Iaaaaaa”

Nia berbalik, mendapati Silvi memanggilnya, ia masih mengenakan seragam sekolahnya. ia berdiri, melihat Nia. Silvi duduk diranjang, Nia melepaskan satu persatu sepatu yg Silvi kenakan, anak itu, sedari tadi hanya melihatnya saja, tanpa bicara, tidak seperti Silvi yg biasannya.

“kamu kenapa? kok diam saja dari tadi” tanya Nia membuka percakapan,

“aaas aaaa aoook aaaeeet” ucap Silvi, 

“kamu bicara apa?” Nia bertanya lagi

Silvi menunjuk-nunjuk sesuatu, kemudian menggelengkan kepalanya dengan keras, sembari tetap mengatakannya, “aaaooook aaaaeeet!!”

Ia tidak pernah melihat ekspresi Silvi, semarah ini, lebih tepatnya seperti memperingatkan Nia 

“iya, apa yang coba kamu katakan” Nia masih mencoba memahami, namun Silvi terus menerus mengulangi kalimat itu, diakhir percakapan mereka yang tidak menemukan hasil, Silvi mencakar wajah Nia, lalu ia pergi begitu saja, seakan ia kesal, karena Nia tidak mengerti maksud ucapannya. 

Malam telah tiba, Nia membuka pintu, ia mencoba menahan agar suara lonceng tidak berbunyi, ia tidak mau membangunkan Silvi dari tidurnya, sedari tadi, Nia sudah menahan agar tidak perlu ke kamar mandi, namun sial, perutnya, semakin sakit, Nia pun akhirnya beranjak pergi sendiri. 

sehati-hati bagaimanapun, suara lonceng tetap berbunyi, meski begitu, Nia yakin, Silvi tidak akan terbangun hanya karena suara yang sudah coba Nia redam sekecil mungkin.

Nia, melihat, kamar-kamar disampingnya sudah tertutup rapat, lantas, ia mulai menuju anak tangga, menuruninnya, setiap langkah ketika Nia berjalan, ia merasa setiap malam, tempat ini seperti memberikannya sensasi yang berbeda dibanding siang, cahaya temberam dari cahaya lilin yang diletakkan dibeberapa sudut, membuat Nia merasa kesal sekaligus ngeri, kegelapan seakan menelannya bulat-bulat. 

Nia membuka pintu kamar mandi, ada 4 pintu yg memang dibuat agar anak-anak tidak berebut saat pagi sebelum keberangkatan ke sekolah, saat Nia mencoba membuka pintu pertama, ia tidak dapat membukannya, dibawah pintu, terlihat bayangan seseorang disana.

Nia, memilih pintu disebelah, tepatnya, disebelah persis pintu pertama. Nia mendengar suara air berkecimpuk disana, namun, tidak ada suara apapun selain itu, membuat Nia terjebak dalam suasana canggung, yg membuatnya hanya bisa diam sembari fokus dengan kegiatannya. 

Sampai, terdengar suara tertawa dari anak-anak, membuat pikiran Nia buyar dan mendengarkannya dengan seksama. Suaranya nyaris seperti suara anak-anak lain disini, namun, suara ini, membuat Nia tidak nyaman dibuatnya. Nia menempelkan telinganya, mencoba mendengar lebih jelas suara itu apakah benar-benar berasal dari pintu pertama, namun, hening, sampai, dari, pintu ketiga, suara tertawa terdengar lagi, Nia yg mendapati kejadian itu, terhenyak sesaat, sebelum buru-buru menyelesaikan kegiatannya, Nia membuka pintu, langkah kakinya cepat buru-buru meninggalkan tempat itu, namun, bayangan seakan ada yang mengikuti membuat Nia tidak berhenti melihat siapa yg ada dibelakangnya.

Ia, buru-buru naik anak tangga, saat, satu kakinya terpeleset setelah merasakan sebuah sentuhan, Nia berteriak, rasa sakit luar biasa ketika kakinya menghantam tangga kayu, membuat Nia tidak dapat menahannya lagi, namun, saat Nia memeriksa luka memar di kakinya, ia mendapati suara tawa itu lagi, kali ini, sumber suara ada diujung anak tangga, tempat dimana kamar Nia berada, diujung anak tangga, Nia melihat sosok anak-anak tengah berembung, melihat Nia dari sana, wajah dan bagian tubuhnya, tertutup kegelapan, manakala, Nia memperhatikan mereka, perlahan, mereka pergi, namun, masih dengan suara tawa yg mengerikan itu, meski dengan kaki tertatih, Nia mencoba naik, sesampai ia di pintu kamarnya, seseorang membuka pintu, Nia bisa melihat Silvi seakan sudah menungguinya, “Uaaaa aau, iiiaaakk” katanya,

Nia hanya melewati Silvi sembari membatin, “si Anak”

“siapa itu si Anak?” batin Nia. 

Terdengar suara seseorang membentak dari luar kamar, suaranya menyeruak seakan ia sedang bercakap dengan yang lain, namun, hanya ada satu sumber suara yg terdengar mendominasi, seakan-akan kelakar amarah itu hanya ditumpahkan saja. Nia, terbangun. matanya menatap bayangan di pintu, perlahan, gerak tubuh Nia mulai bangkit, ia menyibak selimut, menurunkan kaki. Namun, rasa nyeri membuat Nia mengernyit menahan sakit kakinya.

Nia melihat kakinya, ia tidak tahu, bila memar yang ia dapat, rupanya separah ini. Warnanya ungu dengan bentuk menonjol yang mengerikan. 

Meski rasa sakit itu menusuk daging, Nia berjinjit, mendekati pintu, ia ingin menguping, apa yang sedang mereka bicarakan, siapa yang berkelakar, Nia menepi dinding, melihatnya dari celah pintu yg sudah terbuka sebelumnya.

disana, Nia melihat Silvi dengan ni Ika. 

“KAMU, APA BELUM PUAS KAMU BIKIN TAKUT SETENGAH MATI TEMANMU DULU, UNTUK KALI INI, HENTIKAN SILVI!! JANGAN LAKUKAN ITU LAGI. YA” bentak ni Ika,

Nia tidak mengerti apa yg ni Ika ucapkan, namun, kalimatnya menunjuk pada siapa, dan apa yang coba ia sampaikan. Nia masih menguping. 

Nia bisa melihat Silvi hanya menunduk, sesekali, ia mencuri pandang, kemudian, ia melirik Nia, entah Silvi tahu atau tidak, mata Nia dan Silvi bertemu disatu titik, diakhiri dengan lekukan senyuman. Silvi tahu, Nia menguping. 

Banyak yang ni Ika sampaikan kepada Silvi, namun, anak itu lebih terlihat seperti tidak mendengarkan sedikitpun apa yang dikatakan oleh ni Ika, seakan apa yg keluar dari mulutnya, akan Silvi muntahkan lagi, namun, darisana, Nia jadi tahu, cara Silvi berbicara dengan pamong. 

Rupanya, Silvi bisa menggunakan bahasa isyarat, menggunakan gerak jari dan tangannya. 

Dari gerak jari jemarinya, ada beberapa yang Nia tidak akan bisa lupakan, dan setiap gerak jari itu muncul, ekspresi ni Ika selalu berubah, lebih ke ngeri, atau marah, matanya melotot, bibirnya gemetar, namun, Nia tidak tahu, apa yang Silvi sampaikan sehingga ni Ika bisa seperti itu, menahan diri di tempat itu, rupannya menambah nyeri dimata kaki Nia yg memang sudah sangat parah, sampai akhirnya, Nia tidak bisa menahan dirinya lagi, ia tersenggal, sebelum kehadirannya disadari oleh ni Ika yg kemudian memergokinya berdiri disamping pintu yg terbuka 

“Kamu ngapain Nia?” tanya ni Ika keheranan, tatapan matanya menyelidik, “kamu nguping ya?”

Nia tidak dapat mengelak dari tuduhan ni Ika, ia memilih diam, menunduk.

“kaki kamu kenapa?” tanya ni Ika, ia melihat Nia, ada rasa panik berlebihan disana, seakan, ini bukan pertama kali 

Hari itu juga, ni Ika memberikan pertolongan pertama pada Nia, mengompresnya dengan es, sebelum membalut memarnya. “ni Ika ngomong apa sama Silvi? siapa yang ni Ika maksud?”

ni Ika tidak mendengarkan Nia, ia seperti terjebak dalam duniannya sendiri, sampai Nia menepuknya. 

“iya Nia, tadi kamu tanya apa?”

Nia yang melihat itu, hanya tersenyum sebelum menjawab. “tidak ada ni, Nia gak tanya apa-apa”

Saat itu, Nia semakin yakin, ada yang disembunyikan ditempat ini. 

“Ia ak aa” tanya Silvi,

Nia hanya bisa melihat Silvi dari tempat tidur, seharian ini, ni Ika sudah berpesan agar Nia tidak pergi kemana-mana, kakinya harus segera pulih, karena esok, Nia harus pergi ke sekolah

“iya, gak papa” ucapnya, Silvi kemudian pergi, ia menutup pintu, seharian tidak melakukan apa-apa, membuat Nia sangat bosan, ia beberapa kali bangkit untuk duduk menatap ke jendela, mengamati anak-anak lain yg sibuk sendiri, manakala ketika ia melihat Silvi, sekelibat perasaan tidak enak menyeruak, Nia menatap kesudut lain, ada sosok mengamati.

Bangunan rumah ini memang sangat unik, dimana, jendela anak-anak, semua menghadap ke halaman belakang, sehingga, dari jendela, selain halaman, Nia bisa melihat sudut ruang dari bagian rumah yg tak berpenghuni, dan disana, banyak sekali kamar kosong, salah satu kamar tanpa lonceng. 

Setiap kali memikirkan itu, Nia mencoba menganalisa dari beberapa bagian rumah, dan selalu saja, pikiran Nia tertuju pada satu kamar itu, kamar itu adalah gudang, itu yg Nia tahu dari beberapa anak yg mau bercerita, namun setiap kali Nia mulai yakin bahwa itu memang gudang, 

Nia merasa, ada seseorang yg tinggal disana, dan kadang, ia menampakkan diri secara sembunyi-sembunyi, siapa pemilik kamar itu sebenarnya? 

Melihat itu, Nia bangkit dari tempatnya, dengan bantuan tongkat penyanggah, Nia berdiri, ia menuju pintu, berniat untuk menghampiri Silvi, sebelum, Nia terhenti manakala, lonceng di pintunya berbunyi, aneh, padahal sedaritadi, pintu tidak pernah terbuka sedikitpun 

Nia mencoba menarik daun pintu, namun, seakan ada yang sengaja menahan Nia, sekuat apapun Nia menariknya, pintu tetap tak bergeming, namun, suara lonceng yg terdengar dari luar pintu, terus menerus berkemerincing

Nia, beringsut mundur.

Nia kembali kejendela, ia melihat Silvi, namun, anak itu sudah tidak ada ditempat ia duduk tadi, dan sosok yg seperti mengamatinya itu, lenyap juga, tidak beberapa lama, pintu terbuka, Silvi melangkah masuk, mendekati Nia, dan memberikannya bunga yg ia petik dari halaman belakang, semenjak saat itu, Nia merasa ngeri sendiri, terkadang, setiap malam, ia mendengar Silvi menghentak-hentakkan kakinya dari atas ranjang, membuat Nia penasaran, namun, saat ia memeriksanya, gadis kecil itu, terlelap dalam tidurnya. 

Hari semakin hari, luka memar Nia tak kunjung sembuh, bahkan, warna ungu yg seharusnya pudar, menghitam, membuat Nia harus lebih bersabar, ia berjalan tertatih, menuju sekolah untuk pertama kalinya, sejak ia tinggal di tempat ini. 

Tidak ada yg menarik dihari pertama Nia ke sekolah, malah, Nia merasa beberapa anak yg melihatnya seakan tidak tertarik terutama ketika tahu dimana Nia tinggal, namun, ada satu anak perempuan yg sedari tadi suka sekali mencuri pandang pada Nia, terutama, satu kakinya yg diperban.

“halo” katanya menyapa, ia tampak ragu, namun tetap mencoba mengajak Nia berbicara, “luka dikakimu, mengingatkanku pada seseorang, tapi aku lupa, karena dia tiba-tiba keluar dari sekolah” perempuan itu mengangkat bahu seakan apa yang ia katakan, membuat Nia tertarik, “dan setahuku, dia tinggal di tempat kamu tinggal juga”

Mendengar itu, Nia langsung tahu, perempuan ini, ingin mengatakan sesuatu kepadanya. 

“Ica” katanya, ia mengulurkan tangan, Nia mengangguk, menyambut tangannya, “Nia”

“Seperti yang ku bilang, dulu, ada anak baru juga, tidak terlalu lama kok, sebelum dia keluar dari sekolah, seingetku, satu kakinya diperban sama sepertimu” kata Ica, “waktu dengar kamu tinggal dimana aku langsung tahu, kok bisa kalian mengalami situasi yg sama, kadang, aku gak percaya sama yg namanya kebetulan, tapi, sekarang, sepertinya aku harus mempertimbangkan itu lagi”

Ica tampak melirik kesana kemari, sebelum berbisik, “tempat tinggalmu, Angker ya?” Ica menceritakan banyak hal, namun, setiap kali Nia bertanya, siapa perempuan yg ia maksud, Ica selalu menjawab bila ia tidak mengenalnya secara langsung, karena perempuan itu sangat pendiam, lebih ke aneh sebenarnya, namun, Ica ingat, anak itu sering menghabiskan waktu dengan seorang anak kecil yang bersekolah tidak jauh darisini, anak kecil itu tidak bisa bicara, ia hanya menggunakan bahasa isyarat, namun, setiap kali Ica mengamati mereka, anak itu, selalu memandang sinis kearahnya.

“Anak kecil” ulang Nia, “tidak bisa bicara??” 

“Iya, entahlah, dia mungkn bisa bicara tapi kayaknya gak lancar gitu sih” Ica mencoba mengingat-ingat, “aku pernah lihat dia memberi isyarat, kalau daritadi aku ngawasi mereka, dan anak perempuan itu, langsung melotot melihatku”

“Tunggu” sahut Nia, “kamu, bisa bahasa isyarat?” 

“Iya bisa” ucap Ica,

Nia mencoba mengingat kembali gerakan tangan Silvi, memeperagakannya didepan Ica, meski tidak sama persis, Ica mencoba menyebut kalimat-kalimat itu, semacam, “Si” ucap Ica, “Sia-” Ica terus menebak “Siapa- kayaknya bukan ya” sahut Ica, sampai,

“Si Anak” 

“Si Anak” Nia mengulangi kalimat itu, ia tahu persis, bahwa kalimat itu tidak asing lagi, namun, makna yg terkandung didalamnya, apa, apa itu si Anak, siapa Anak yg dimaksudkan.

“Tunggu” kata Ica, “saat kamu memperagakan gerakan tangan itu, ada jari telunjuk yg ditekuk gak?” 

Nia mencoba mengingat lagi, “entahlah, aku lupa” jawab Nia,

“Bila ada, maka kalimatnya tidak dipisah” sahut Ica, “apa, maksudnya itu, siAnak”

“si Anak” tanya Nia,

“Itu kaya semacam kalimat baru bukan?” tanya Ica, “sebuah nama mungkin, atau, nama dari sesuatu?” 

Nia, terdiam lama, ia mencoba mencerna kalimat Ica,

“siAnak”

Silvi dan si Anak? 

“kayaknya, aku harus maen ke tempat kamu ya” sahut Ica, “boleh”

Nia tidak langsung menjawab pertanyaan Ica, sebelum sesaat kemudian, ia berpikir, mungkin Ica bisa bicara dengan Silvi, menjelaskan, siapa sianak yang ia bicarakan ini,

“boleh, datang saja, lepas maghrib nanti”

Selanjutnya >>