Asmara 2 Dunia Episode 1
Horror Story
Kisah ini, sempat heboh di sebuah kabupaten, beberapa tahun yang lalu.
Cerita tentang wanita cantik yang sering mencari pasangan dari kalangan masyarakat sekitar kabupaten itu juga dari daerah lain.
Siapa kah wanita itu?
Perlu saya sampaikan, bahwa alur cerita ini adalah sebuah rekaan, mungkin bukan cerita sebenarnya.
Tapi, untuk inti kejadiannya memang pernah terjadi di kabupaten itu.
Sore itu, langit terlihat mendung. Udara dingin mulai dapat dirasakan di sekitar area kota.
Suara gemuruh geluduk pun beberapa kali terdengar, seakan mengingatkan pada siapa pun yang masih berada dijalanan, untuk bergegas pulang. Setidaknya bersiap mencari tempat berteduh.
Waktu pun hampir menginjak saat adzan maghrib di wilayah itu.
Benar saja, sebelum adzan berkumandang, gerimis pun turun perlahan.
Seorang pemuda yang baru saja pulang dari tempat kerjanya, melintas di jalanan sekitar alun-alun kota.
Ia tampak terburu-buru mengendarai motornya agar segera sampai ke rumahnya yang berada di daerah kabupaten.
Merasakan air hujan mulai menetes ditangannya, ia pun menepi hendak bersiap memakai jas hujan.
Ia berhenti sebelum sampai pertigaan, di depan sebuah bangunan eks gedung sekretariat daerah, yang sudah tak difungsikan.
Setelah memakai jas hujan yang dibawanya, ia segera naik keatas motor untuk meneruskan perjalanan pulangnya.
Namun tak disangka, tak jauh dari tempat itu, pemuda itu melihat seorang gadis yang sepertinya sedang mengalami kesulitan.
Gadis itu sedang berusaha menghidupkan mesin motornya yang sepertinya mogok.
Merasa kasihan, pemuda itu pun mendekat ke arah gadis itu.
“Motore kenopo mbak? Mogok pok?”
(Motornya kenapa mbak? Mogok?)
“Iyo iki mas, dek mau tak stater ora murup. Tak dogleng ora keno. Sampe tak tuntun dek ngarep H*******t.”
(Iya nih mas, dari tadi distater tak nyala. Di sela jg tak bisa. Sampai aku nuntun dari depan H*******t).
Sekitar alun-alun itu memang ada sebuah pusat perbelanjaan. Dan dari penampilannya, sepertinya gadis itu salah satu pekerja di pusat perbelanjaan itu.
Pemuda itu pun turun dari motornya. Masih ia rasakan rintik air hujan yang hampir membasahinya kalau sebelumnya ia tak segera memakai jas hujan.
“Sampean gowo jas udan po ra mbak? Nek nggowo dinggo disik”
(Kamu bawa jas hujan gak mbak? Kalau bawa dipakai dulu).
Gadis itu pun segera membuka jok motornya dan mengambil jas hujan didalamnya.
Sementara pemuda itu langsung menuntun motor gadis itu ke sebuah bengkel tak jauh dari lokasi itu. Gadis itu menunggu di dekat motor milik pemuda yang menolongnya, sembari memperhatikan pemuda itu membawa motornya sambil sedikit berlari.
Sebuah senyuman kecil seakan merekah di wajah gadis itu.
Tak lama kemudian, si pemuda kembali menghampiri gadis itu, dan memboncengkannya menuju bengkel dimana motornya sedang diperbaiki.
Pemuda itu sepertinya cukup peduli dengan gadis yang baru ditemuinya itu. Setelah sampai di bengkel, ia tak segera pergi meninggalkannya sendiri.
Ia malah memutuskan untuk menemani gadis itu, sambil menunggu motornya.
Keduanya duduk di bangku panjang yang disediakan.
Pemuda itu pun seakan merasa tak canggung untuk memulai pembicaraan.
“Emange sampean baline ngendi mbak?”
(Kamu pulangnya kemana mbak?)
Tanya pemuda itu.
“W***s mas” Gadis itu menyebutkan nama daerah yang memang sering disebut dengan singkatannya saja.
“Oh. Adoh juga yo” (Jauh juga ya)
Gadis itu tak banyak bicara, untuk menanggapi pemuda itu.
“Kunu jenenge sopo?”
(Nama kamu siapa?)
Tiba-tiba gadis itu menanyakan nama pemuda itu
Suara gadis itu, baru dengan jelas diamati oleh si pemuda.
Ternyata, suaranya cukup lembut dan kalem. Cara bicaranya seperti orang yang menahan suaranya dikerongkongan, sehingga suara itu terdengar seperti suara anak kecil.
Pemuda itu menjulurkan tangannya, berniat memperkenalkan diri.
“Johan”, jawab pemuda itu masih menunggu gadis itu menjabat tangannya.
Gadis itu perlahan berusaha menjabat tangannya. Dan saat tangannya bersentuhan dengan gadis itu, pemuda itu merasakan sedikit keanehan.
Tangan itu terasa begitu halus, bahkan bisa dibilang seperti kapas yang basah, karena rasanya begitu dingin saat menyentuh telapak tangan pemuda itu.
“Nur” Katanya singkat.
Tak lama kemudian, motornya sudah selesai diperbaiki. Dan setelah memastikan kondisi motornya sudah kembali normal, gadis itu pun menghampiri pemuda yang telah menolongnya, dan mengucapkan terima kasih sebelum berpamitan.
Pemuda itu meresponnya dengan senyuman, yang kembali dibalas senyuman oleh gadis itu.
Johan, nama pemuda itu, berniat mengikuti gadis itu, sekedar ingin memastikan bahwa diperjalanan nanti ia tidak mengalami kesulitan yang sama jika motornya kembali mogok.
Tapi tak disangka, gadis itu seakan membawa motornya dengan cepat, hingga Johan tak dapat menyusul dan menemukannya lagi.
Ia mulai menyerah, dan mengabaikan keberadaan gadis itu lagi.
Namun, justru pikirannya malah teringat dengan saat bersama gadis yang memperkenalkan diri dengan nama Nur itu.
Johan berusaha mengingat wajahnya yang ayu, matanya yang sepertinya lebar, membuat gadis itu terlihat lucu. Ia pun seakan masih bisa merasakan telapak tangan Nur yang bersentuhan dengannya.
Ia pun masih merasa heran, kenapa tangan itu terasa begitu dingin. Tapi Johan mencoba mengabaikan hal itu. Malah, saat ada kesempatan untuk melepaskan gas motornya, Johan mencoba mencium bau tangannya yang disalami oleh Nur.
Motor Johan hampir saja oleng, saat tiba-tiba ada lubang yang dengan sigap langsung dihindarinya.
Jantungnya berdegup kencang, karena ia hampir saja mendapat kecelakaan kalau sampai motornya terkena lubang jalan itu.
Ia pun menepi, memperlambat laju motornya sambil berusaha menenangkan diri.
Johan sempat syok, saat mengingat kejadian itu. Tapi, ada yang lebih membuatnya merinding, saat ia kembali merasakan aroma tangannya yang baunya seperti bau melati.
Ia terheran, parfum apa yang dipakai gadis itu, bahkan sampai air hujan pun tak mampu menghilangkan baunya yang menempel ditangan johan.
Johan sempat berfikiran negatif saat itu.
Tapi setelah sampai di rumah, ia pun bisa sedikit melupakan pikiran negatif yang sempat terlintas dibenaknya.
Bahkan, hampir lupa bahwa sore itu ia telah menolong gadis cantik bernama Nur itu.
Hari berikutnya, sama seperti biasa Johan pulang dari tempat kerjanya lewat alun-alun kota.
Saat melewati depan H*******t, ia melambatkan laju motornya.
Tiba-tiba ia teringat dengan Nur. Berharap ia akan bertemu lagi dengannya.
Sayangnya, sampai ia melewati pertigaan, ia tak berjumpa dengan Nur.
Johan meneruskan laju motornya. Kali ini, ia agak memperhatikan sekitar jalanan. Ia mencari keberadaan bengkel, tempat dimana sebelumnya ia membawa motor Nur yang mogok untuk diperbaiki.
Tapi ternyata bengkel itu sudah tutup.
Pintunya sudah tertutup oleh papan kayu yang sudah hampir lapuk. Johan tidak merasakan keanehan selain ada pohon cukup besar di dekat bengkel, yang sepertinya tidak ia lihat saat mengantarkan Nur kesana.
Malahan, yang ia ingat, disekitar pohon itulah ia pernah duduk dengan Nur.
Selama beberapa hari ia melewati jalanan yang sama, dengan harapan yang sama. Untuk bisa kembali bertemu dengan Nur.
Hari itu hujan turun begitu lebat sejak pagi, hujan yang tak kunjung reda, bahkan sempai mengakibatkan banjir di beberapa daerah.
Setiap orang sudah memakai jas hujan, bahkan sejak keluar dari rumahnya masing-masing.
Beruntung, hari itu Johan sedang libur kerja.
Ia jadi tak terlalu direpotkan oleh aktifitas kerja yang pasti akan sangat tidak nyaman dikerjakan saat hujan seperti itu.
Johan hampir seharian berada dalam kamarnya yang terlihat gelap, karena lampunya tak dinyalakan, sedangkan langit diluar rumah mendung gelap dan tak banyak menghantarkan cahaya kedalam ruangan kamar itu.
Tubuh johan terlentang diatas tempat tidurnya, matanya sayup-sayup terbuka pelan. Masih terdengar suara hujan dari luar kamarnya, yang membuat Johan kembali menggerutu.
“Harus e libur koyo iki biso jalan-jalan. Eh, malah udan sedino rak mandeg-mandeg” (Harusnya liburan seperti ini bisa jalan-jalan. Malah hujan seharian tak ada henti).
Johan beranjak dari tempat tidurnya, berjalan mendekat kearah jendela kamar yang terhubung ke halaman rumahnya.
Mengamati apakah hujan masih sederas sebelumnya.
Memperhatikan bahwa hujan sudah tak begitu deras, Johan pun tergiur untuk buru-buru pergi keluar rumah. Sudah cukup lama ia ingin pergi ke suatu tempat.
Harusnya, hari itu Johan sudah pergi ketempat itu dan menemukan apa yang ia cari.
Johan sudah siap mengeluarkan motornya. Penampilannya cukup rapih, seperti seorang yang ingin pergi berkencan dengan pasangannya.
Sayangnya, penampilan itu sedikit terusak oleh jas hujan yang harus dipakainya saat diperjalanan.
Ditengah kondisi jalanan yang basah, dan gerimis yang masih belum berhenti, Johan mengendarai motornya menuju kota.
Dalam perjalanan, ia sempat bertanya-tanya apakah hari itu ia akan menemukan yang ia cari. Tak bisa dipungkiri, rasa penasaran terhadap Nur masih terus ia rasakan.
Tak kunjung bertemu dengan gadis itu setelah beberapa hari diharapkan, membuat Johan berniat mencarinya di Pusat Perbelanjaan yang ada di area alun-alun.
Hal yang masih ia ingat adalah Gadis itu berpenampilan seperti seorang sales yang pernah ia lihat di area perbelanjaan itu.
Jadi, ia merasa yakin akan bertemu dengan Nur disana.
Johan masih agak kebasahan saat masuk ke area perbelanjaan itu. Rambutnya cukup berantakan, dan pakaiannya pun jadi agak kusut setelah jas hujan yang dipakai ia lepas, dan tinggalkan di motornya.
Sambil berjalan, ia agak merapikan penampilannya. Ia tak ingin terlihat berantakan saat bertemu dengan Nur.
Dan setelah mencari lokasi kerja Nur, akhirnya Johan sampai di sebuah stand penjual asesoris yang penjaganya memakai seragam seperti yang dipakai Nur ketika ditolongnya.
Ternyata, tak ada Nur di tempat itu, dan Johan sempat merasa kecewa. Namun, penjaga stand itu menyambut dan mempersilakan Johan untuk melihat-lihat barang jualannya, yang membuat Johan jadi menemukan cara untuk mencari tau tentang Nur dari penjaga stand itu.
“Oh yo mbak, aku meh takon oleh po rak?”
(Oh ya mbak, boleh saya bertanya sesuatu?)
Tanya Johan, sambil tersenyum, nyengir.
“Takon opo mas? Sing penting ojo takon nomer HP!” jawab penjaga stand itu dengan gaya bercanda.
Johan agak geli mendengar jawaban penjaga stand itu. Dalam hati, Johan membatin, siapa yang mau minta nomer HP mu!, dan ia pun sedikit mengeluarkan tawa yang tertahan.
“Ora ora mbak. Aku yo jek rak duwe pulsa kok”
(Nggak mbak. Aku juga masih tak punya pulsa kok)
“Halah, hari gini gak punya pulsa? Melas temen! Yo wes, meh takon opo mas?”
Sebenarnya, Johan agak rikuh. Tapi rasa penasaran terhadap Nur membuatnya mengabaikan rasa rikuh itu.
“Koncone sampean ono sing jenenge Nur kan?”
(Temanmu ada yang bernama Nur kan?)
Mendengar nama Nur, penjaga stand itu agak terkejut. Lalu menanyakan alasan Johan menanyakan tentang Nur.
“Sampean kenal Nur? Temu ning ndi mas?”
(Kamu kenal Nur? Ketemu dimana mas?)
“Ora patio kenal sih, cuman pernah kenalan. Delok dek seragame koyo sing dinggo sampean kui”(Tidak terlalu kenal sih, cuma pernah kenalan. Dilihat dari seragamnya, seperti yang kamu pakai itu)
“Tak kiro de’e kerja ning kene”(Saya kira dia kerja disini)
Penjaga stand itu seperti berusaha mengamati Johan. Ada perasaan aneh melihat seorang pemuda asing yang tiba-tiba menanyakan sesuatu yang membuatnya bingung.
Pasalnya, selama ia bekerja menjaga stand itu, ia tidak punya teman bernama Nur.
Tapi ternyata, bukan kali itu saja ia ditanyai tentang seseorang bernama Nur. Belum lama itu, pernah ada juga pemuda lain yang menanyakan tentang Nur.
Ia sempat berfikir, jangan jangan si Nur ini seseorang penipu yang mengaku bekerja disana, dan beberapa orang yang datang menanyakannya ke stand itu adalah korban yang pernah ditipunya.
Tapi, yang membuat penasaran si penjaga stand itu, setiap pemuda yang datang terlihat punya usia yang sama. Dan setiap ditanya alasan kenapa mencari orang bernama Nur itu, tidak satu pun yang menjelaskan alasannya.
Sama halnya dengan Johan, karena mengetahui tak ada gadis bernama Nur bekerja di tempat itu, ia segera pamit tanpa melanjutkan pembahasan.
Johan meninggalkan tempat itu dengan rasa kecewa. Harapan untuk bisa bertemu dengan Nur seakan pupus.
Untuk menghilangkan rasa kecewanya, Johan sempat membeli minuman dingin di salah satu stand. Saat sudah berada di luar bangunan, ia pun duduk di emperan sambil menikmati minuman yang dibelinya. Sesekali pandangannya tertuju ke arah jalanan yang masih cukup ramai dengan orang-orang yang berkejaran dengan hujan.
Saat minuman yang dipegangnya telah habis dan ia bersiap meninggalkan tempat itu, tiba-tiba saja pandangannya seakan menemukan sesuatu.
Tak jauh dari tempatnya, tengah berdiri seorang gadis yang bertubuh kecil, tak terlalu tinggi, dengan rambut lurus, terurai hampir sepinggang berbaju putih, dengan rok berwarna hitam yang cukup panjang hampir menutupi kakinya.
Gadis itu seperti sedang menunggu seseorang, dengan payung kecil dipegangi tangan kanannya, dan tangan kirinya berusaha menarik rok nya agar tidak terkena cipratan air dari motor yang lewat.
Johan terus mengamati gadis itu, dan seperti mengenalinya. Sesekali saat gadis itu menoleh, Johan semakin yakin bahwa ia benar mengenal gadis itu.
Dia lah gadis yang sedang dicarinya selama itu.
Buru-buru Johan mendekat ke arah gadis itu. Ia pura-pura tak sengaja menyenggol bahunya, dan langsung meminta maaf.
Saat itu lah, keduanya saling mengenali satu sama lain.
“Eh, Nur kan? Sing motor e tau mogok ning kono?”
(Eh, Nur kan? Yang motornya pernah mogok disana?)
Seru Johan, sambil menunjuk ke suatu tempat. Gadis itu pun nyengir hampir tertawa. Tangan yang memegangi rok, sampai berpindah ke mulutnya dengan maksud menutupi tawa.
Gadis itu mungkin merasa lucu, dengan kejadian saat itu, sampai-sampai ia hampir menertawai dirinya sendiri.
Menertawai diri sendiri? Atau mungkin justru menertawakan Johan?
Gadis itu menahan tawanya, tapi suaranya sempat terdengar oleh Johan. Suara tawa yang sedikit aneh, karena terdengar seperti suara perempuan terkikih-kikih.
Tapi, Johan seakan tak peduli dengan keanehan itu.
Rasa bahagia karena akhirnya bisa bertemu dengan gadis yang sudah membuatnya sangat penasaran, membuat Johan mengabaikan hal-hal yang berada disekitarnya.
Termasuk bau wangi aroma melati yang merebak disekitar tempat itu, dan beberapa orang yang seakan memperhatikan tingkahnya.
“Sampean ngenteni sopo Nur? Kok dewean?”.
(Kamu menunggu siapa? Kok sendirian?)
Tanya Johan.
Nur masih menutupi mukanya yang seperti orang sedang tersipu malu.
“Nganu mas, sek ngenteni boncengan”
(Itu mas, masih menunggu jemputan)
Johan agak tertegun mendengar jawaban dari Nur.
“Oh, ngenteni pacare yo?” timpal Johan.
Nur hanya menjawabnya dengan menggeleng.
“Opo ngenteni bojone berarti?”
(Menunggu suaminya ya?)
Nur tetap menjawabnya dengan gelengan kepala.
“Aku durung kawen lhoh mas. Sembarangan kowe”
(Aku belum menikah kok mas. Sembarangan kamu)
Suara Nur kembali terdengar menambahkan jawaban.
“Terus, ngenteni sopo?”
(Terus, nunggu siapa?)
Nur kembali terdiam tanpa kata-kata.
Nampaknya, hujan sudah mulai reda.
Johan menawarkan diri untuk mengantar Nur pulang, karena ia merasa kasihan membiarkan seorang wanita sendirian berdiri di pinggir jalan menunggu entah siapa yang akan mengantarnya pulang.
Tawaran itu diiyakan oleh Nur, tapi Nur menyuruh Johan mengambil motornya terlebih dulu, sedangkan ia tetap menunggu disana.
Dengan semakin merasa bahagia, Johan pun segera berlari menuju tempat parkir yang berada di kawasan alun-alun, mengambil motornya untuk mengantar Nur pulang ke rumahnya.
Dari area tempat parkir itu, Johan bisa melihat sosok Nur yang sudah menyingkupkan payungnya. Gadis itu masih tetap berdiri ditempat yang sama.
Pandangannya seperti lurus kedepan tanpa ekspresi. Yang berbeda darinya, hanya tubuhnya seakan membungkuk, tangannya bertumpu pada-
payung yang jadi terlihat seperti tongkat.
Tapi, Johan seakan tak menyadari keanehan itu. Perasaannya masih berbunga-bunga, masih tak percaya kalau saat itu ia akan mengantarkan seorang gadis cantik yang belum lama dikenalnya.
“Yok, Nur. Sedelok meneh wes pak maghrib. Ndak kesoren tekan ngomahmu.”(Ayo Nur. Sudah hampir maghrib. Nanti bisa kesorean sampai rumahmu).
Dengan hati-hati, Nur membonceng motor Johan dengan posisi menyamping, karena Rok nya yang memanjang.
Johan mulai menjalankan motornya, meninggalkan tempat itu.
Ia sempat melewati seorang pejalan kaki di samping kiri jalan.
“Astaghfirullah”.
Terdengar suara istighfar, ungkapan keterkejutan, dari si pejalan kaki itu. Entah sampai dengar oleh Johan atau tidak, yang pasti ada sesuatu yang dilihat oleh si pejalan kaki, yang membuatnya kaget dan mengucap istighfar.
“Ya Allah, mugo-mugo ora ono opo-opo”
(Ya Allah, semoga tak terjadi apa-apa)
Gumam pejalan kaki, yang terlihat mematung sambil terus memperhatikan ke arah motor yang dikendarai Johan.
Dalam perjalanan menuju rumah Nur, Johan sempat merasakan adanya keanehan. Tangan Nur cukup erat memeluk pinggangnya, seakan takut jatuh. Johan malah merasa senang dengan hal itu.
Tapi rasanya tangan nur terasa dingin, sampai meresap menembus jaket yang dipakai Johan.
Gas motornya seakan lebih berat dari biasanya, sampai beberapa kali Johan berhenti untuk memeriksa kondisi mesin motornya yang entah kenapa cepat sekali panas.
“Nangopo mas, motormu?”
(Kenapa motormu mas?) tanya Nur penasaran.
“Mbuh kie, ora biasane koyo iki”
(Entahlah, tak biasanya seperti ini)
Yang tidak disadari oleh Johan, entah kebetulan atau bukan, ia selalu berhenti di dekat jembatan dan rel kereta api.
Nur sendiri beberapa kali menyuruh Johan untuk meninggalkannya, katanya rumahnya sudah dekat, dan ia bisa berjalan kaki ke rumahnya.
Tapi, memang dasar si Johan yang terlanjur penasaran ingin tau dimana rumah Nur, ia tak membiarkan gadis itu pulang sendiri.
Sempat terlintas dipikirannya, beberapa kali saat mereka berhenti, Nur selalu bilang rumahnya sudah dekat, tapi sudah sampai kelewat waktu maghrib, mereka-
belum juga sampai di rumahnya.
“Mas mas, belok kono kae.”
(Mas belok disana)
seru Nur yang menepuk pundak Johan ketika mereka hampir sampai di gang yang menuju rumah Nur.
Johan pun berbelok untuk menyeberang jalan.
Tiba-tiba, dari arah belakang sebuah Truk bermuatan membunyikan klakson yang mengagetkan Johan.
Johan yang kaget pun menepikan motornya.
Hampir saja, keduanya mengalami kecelakaan yang bisa merenggut nyawa.
Kondisi jalanan saat itu memang tidak begitu ramai. Saat Nur mengingatkannya untuk berbelok, Johan tak menyadari kalau ada truk yang hanya berjarak beberapa meter dari belakang motornya.
“Ati-ati rha mas. Kae lho omahku wes cedak” (Hati-hati dong mas. Itu rumahku sudah dekat)
Setelah memastikan jalanan aman untuk menyebrang, Johan pun menjalankan motornya menuju gang yang ditunjukkan oleh Nur.
Akhirnya, mereka sampai di depan rumah Nur. Johan coba memperhatikan lokasi sekitarnya.
Tempat itu cukup sepi, dan bisa dikatakan agak jauh dari rumah warga yang lain. Cahaya penerangan jalan pun cukup redup. Dan jalanannya agak becek karena seharian terguyur hujan.
Rumah Nur terlihat cukup antik bagi Johan. Bentuk rumahnya berbeda dengan rumah-rumah yang dilihatnya saat menuju ke tempat itu.
Halamannya lebih luas dari rumah lain, dibatasi oleh pagar bumi yang berupa dinding bata setinggi kurang dari dua meter.
Tak jauh dari pintu gerbang, Johan dapat melihat sebuah bangunan mirip gazebo, yang hanya berupa empat tiang yang didirikan dari kayu, dengan atap genteng yang tidak terlalu tinggi.
“Meh mampir pok mas?”(Mau mampir gak mas?)
Nur mengagetkan Johan yang masih terheran-heran dengan keadaan sekitar.
“Iki omahmu? Sepi yo, penak nggon e”
(Ini rumahmu? Sepi ya, enak nih tempatnya)
“Dudu mas, iki omahe simbahku. Aku dewekan si ning ngomah, cuma karo rewanganku”(Bukan mas, ini rumah kakekku. Aku sendirian disini, hanya bersama pembantuku).
“Lha emange wong tuomu ning ndi?”
(Emangnya dimana orang tua mu?)
“Bapak ibukku do ning jakarta, karo adiku.”(Orang tuaku di jakarta dengan adikku).
“Melas hoo. Awas ati-ati diculik” Ujar Johan sedikit menggoda Nur.
“Ah, ora lucu mas”(Tidak lucu mas)
“Yo wes dek, aku meh pamit sisan bae. Gampang mengko kapan-kapan dolane. Eh, aku oleh jaluk nomermu po ra?”(Yasudah dek, aku pamit sekalian saja. Nanti kapan-kapan mainnya. Oh ya, boleh minta nomermu?)
“Aku ora gojekan HP mas.”(Aku tak pegang HP mas)
Johan tak percaya dengan kata-kata itu. Tidak mungkin orang jaman sekarang tidak punya HP. Tapi karena tidak ingin terlalu memaksa, Johan pun mengalah.
“Wes, nek pingin ketemu aku meneh, parani bae nggon mau sampean ketemu aku.” Ujar Nur.
Johan seakan mendapat kode dari Nur.
Beberapa kali Johan bertemu dengan Nur. Seperti biasa, Johan menjemputnya dari H*******t, lalu mengantarnya pulang.
Sesekali, mereka pun mampir makan bersama ditempat yang dipilih sendiri oleh Nur.
Johan yang sepertinya sudah terlanjur sayang dengan Nur, tak pernah menolak permintaannya. Nur sendiri tak pernah meminta aneh-aneh. Orangnya sederhana, bahkan selalu menolak barang pemberian dari Johan.
Nur hanya meminta supaya Johan tidak mengganggunya di siang hari. Alasannya, ia sibuk dengan pekerjaannya.
Saat johan menanyakan tentang kerjaan Nur yang sebenarnya, Nur hanya memberi tau, kalau dia sering ganti-ganti tempat kerja, tergantung kalau ada stand yang kosong, belum ada penjaganya, dia menawarkan diri untuk menjaga stand dengan upah harian.
Menurut Nur, ia tidak benar-benar mencari uang dari pekerjaannya. Yang ia lakukan hanya berusaha mengisi waktu, daripada ia hanya dirumah sendirian.
Masalah keuangan, Nur sudah mendapat jatah bulanan yang dikirim oleh orang tuanya melalui pembantunya.
Saking sayangnya Johan pada Nur, ia tak pernah sedikit pun mengusik privasinya.
Johan yang memang sudah dewasa, dan pernah punya trauma masa lalu terkait masalah privasi yang diusik, selalu berusaha bersabar dan mengabaikan setiap pertanyaan-pertanyaan yang kerap kali bermunculan dibenaknya.
Hubungan keduanya semakin dekat.
Hampir selama dua bulan, Johan sering berkunjung ke rumah Nur.
Saking terbiasanya, ia sampai tak memperhatikan kapan ia kerap kali diajak ketempat itu.
Yang menyadari hal itu justru orang tua Johan. Hampir setiap hari kamis, anak laki-lakinya itu sering pamit pergi setelah waktu ashar, dan baru kembali tengah malam.
Saat ditanya, Johan hanya mengatakan sudah menemukan pengganti mantannya yang sudah menghianatinya. Dan Johan sekedar menjelaskan, kalau ia pergi untuk bertemu dengan gadis pujaan hatinya itu.
Beberapa kali Johan sudah berusaha dinasehati, agar tidak terlalu sering ke rumahnya. Alasannya, tidak elok, seorang pemuda sering datang ke rumah gadis yang belum diikat dalam suatu hubungan.
Orang tua Johan tidak ingin anaknya jadi gunjingan orang, atau bahkan berurusan dengan warga sekitar rumah gadis itu.
“Wes buk, ibuk tenang bae. Aku ngerti batesane”(Sudah bu, ibu tenang saja. Aku tau batasannya).
Itu hal yang sering dikatakan Johan saat dinasehati.
Orang tua Johan begitu khawatir, karena sudah hampir pukul 9 malam, putranya belum juga pulang ke rumah.
Kekhawatiran itu, seakan tak biasa.
Suara gemuruh dari atas langit seakan memberitahunya bahwa sebentar lagi akan turun hujan. Masih ditunggunya Johan di teras rumah
<<SELANJUTNYA>>