Cerita Viral Sewu Dino’ (1000 hari)
Horror story
Malam ini, gw (simpleman) akan menyajikan sebuah peristiwa kelam, atau bisa di bilang pengalaman mengerikan dari seseorang yg berhasil gw ulik, sebegitu kelamnya cerita ini, sampai gw janji gak akan membocorkan lokasi dan semua yg berhubungan dengan cerita ini.
Untuk itu, gw mohon kerjasamanya, dan selebihnya, terimakasih sudah meluangkan waktunya.
Gw ingin menyampaikan cerita ini dengan tempo pelan, sehingga gw bisa menggambarkan pengalaman dari peristiwa ini, sedetail mungkin, dan untuk itu, mari kita mulai ceritanya.
-2001-
“Yakin, awakmu budal gok ibu kota, kok gak nggolek gok kene ae, idekkan, bekne onok sing butuh” (kamu yakin mau pergi ke ibu kota, kenapa gak nyari sekitaran sini, yg deket aja dulu, kali aja tenaga kamu di butuhkan)
Sri terdiam, butuh waktu untuk mencerna kalimat bapak
“Kerjo opo pak nang kene, wong Sri ae mek lulusan SD” (kerja apaan pak disini, lha saya itu cuma lulusan SD) kata Sri sembari menghela nafas.
“Trus nek awakmu budal, bapak yo’opo to, sopo sing ngerawat ndok” (kalau kamu berangkat, nasib bapak gimana, siapa yg nanti merawat nak)
“Nggih pak, Sri ngerti, tapi nek Sri gak budal, yo opo, ben Sri isok ngekek’i bapak duit” (iya pak, Sri paham, tapi kalau Sri tidak cari kerja, bagaimana saya ngasih duit)
Sore itu, matahari mulai terbenam, sebelum, seseorang, mengetuk pintu gubuk rumah Sri.
Rupannya, itu adalah bu Menik, tetangga yg paling mampu di kampung itu, ia menyampaikan kedatangannya, mengabarkan bahwa, ada seorang penelpon dari Griya Zainah, salah satu agen penyalur pembantu, yg tempo hari, di titip’i oleh Sri bila ada yg membutuhkan tenagannya.
Sri pun bergegas, di kampung itu, memang hanya bu Menik yg punya pesawat telpone, karena itu, banyak warga yg selalu minta tolong kepada beliau, termasuk untuk urusan ini.
Sri menjawab telpon, menyampaikan kesiapannya, ia di minta datang esok hari, ke rumah si penyalur.
Untuk sementara, Sri menunda keberangkatannya. ia berharap, bila memang rejekinnya tidak jauh dari tempatnya tinggal, ia akan menyanggupinnya, mengingat, bapak sudah tua, dan mungkin ia tidak mau jauh dari anak semata wayangnya, yg hanya lulusan SD, seperti kebanyakan anak perempuan di kampung itu.
Baginya yg sekarang Sri pikirkan adalah, ia harus mencari uang, untuk menopang kebutuhan yg kian hari semakin melejit, untuk makan sehari-hari saja sudah susah, untuk itu, Sri nekat melamar untuk menjadi pembantu di rumah orang yg mampu.
Langit masih gelap, namun Sri begitu antusias, meski ia janjian akan datang pukul 8, Sri sudah bergegas keluar rumah, saat fajar pertama sudah menyingsing tinggi.
Ia harus naik angkutan kota, kampungnya ada di pinggiran, butuh waktu 1 setengah jam untuk sampai ke kota.
Tibalah Sri, di depan rumah besar itu, meski dalam bentuk rumah, namun, si pemilk sudah sangat terkenal sebagai agen penyalur tenaga kerja untuk orang yg mencari jasa PRT, Sri baru tiba, dan dilihatnya, sudah banyak sekali orang menunggu, tampaknya, Sri bukan satu2nya yg datang
Butuh waktu lama, untuk akhirnya nama Sri yg di panggil, ia masuk ke sebuah ruangan kecil, melihat si pemilik agen penyalur, lalu, ia menjelaskan bahwa kemungkinan ia butuh jasa PRT untuk satu keluarga, namun, ia masih harus di seleksi, dan siang ini, si keluarga, akan datang.
Namun, sebelum keluarga itu datang, si pemilik jasa, bertanya pertanyaan yg membuat Sri sedikit curiga, lebih tepatnya, pertanyaannya, mengundang banyak sekali pertanyaan, salah satunnya.
“Sri, bener, awakmu lahir pas dino jum’at kliwon”
(Sri, ini benar, kamu lahir jumat kliwon)
Sri yg mendengar pertanyaan itu, awalnya kaget, namun, dengan tergagap, Sri bisa menjawabnya, bila memang benar, ia lahir di hari kliwon, namun, ia tidak tahu, bila itu, hari jumat.
Si pemilk jasa, mengangguk, seakan ia menemukan apa yg ia cari, bagi Sri, itu pertanyaan aneh.
“Hayangati ya Sri” (hari lahir kamu istimewa ya Sri) kata si pemilik jasa, lalu kemudian, ia membawa Sri keruangan lain yg lebih besar, lebih megah, ia di minta untuk menunggu, sayangnya, sudah ada 2 orang yg sudah duduk disana lebih dahulu. tampaknya, Sri sudah lolos.
Selama berjam-jam, Sri menunggu disana, ia sudah mengobrol dengan 2 orang yg duduk, namanya adalah Erna dan Dini, usiannya tidak jauh dari Sri, masih muda, dan belum menikah
Entah sampai mana mereka bicara, tiba2, si pemilik jasa, memanggil salah satu dari mereka. Erna keluar.
Lama tidak ada kabar, Erna tidak kembali, sekarang, ganti Dini yg dipanggil, kini, tinggal Sri sendirian di ruangan itu, menunggu, entah untuk apa.
Disela kebosanannya, Sri melihat-lihat lewat jendela, disana, ia melihat banyak mobil terparkir, Sri tidak melihat mobil itu tadi, kini, tiba giliran Sri yg di panggil.
Dengan ragu, ia keluar, berjalan menuju ruangan tadi, yg sekarang, ada si pemilik jasa, dengan seorang wanita yg memakai pakaian adat, kebaya, lengkap dengan sanggul, ia duduk anggun, menatap Sri dari ujung kepala, hingga mata kaki.
Ia tersenyum, sangat tulus, membuat Sri merasa sungkan sekali, seakan berhadapan dengan orang berderajat tinggi sekali, Sri bahkan tidak berani melihat matannya, auranya, begitu membuat Sri merasa kecil sekali.
“Ayu ne,” (cantiknya) ucapnya, nada suarannya sangat halus.
Sri di minta untuk duduk, kemudian, si pemilik jasa memperkanalkan siapa wanita anggun itu, yg rupannya, adalah pemilik rumah makan yg saat itu terkenal sekali seantero jawa timur, sebegitu terkenalnya. kekayaannya, tidak perlu lagi di pertannyakan. semua itu, membuat terkejut.
Namannya, Kembang Krasa, meski itu hanya semacam gelar, namun, Sri tahu arti nama itu, yg berarti Bunga Krasa, bunga yg wanginya dulu sudah melegenda, sebelum di tumpas, untuk menyingkirkan balak di atas gunung I***, saat bangsa lelembut masih mendiami tanah jawa.
Semua orang disini tahu cerita itu, Sri hanya menunduk, ia masih segan menatap wanita itu
“Angkaten sirahmu ndok, ra usah wedi ngunu, mbah ki wes tuwek, ra usah hormat koyok ngunu” (angkat kepalamu nak, tidak usah takut begitu, mbah ini sudah tua loh, tidak perlu sehormat itu)
Sri hanya mengangguk, ia tidak membuang rasa segannya, seperti yg di perintahkan. tibalah saat, mbah Krasa, mulai mengajukan beberapa pertanyaan yg sama.
Mulai dari lahir, weton, penanggalan yg bahkan Sri bingung menjawabnya. puncaknya, saat ia menyentuh tangan Sri, ia tersenyum
“Ndok, gelem kerjo ambek mbah” (nak, kamu mau kerja sama saya)
Sri mengangguk,
“Jalok piro, bayaranmu sak wulane” (kamu minta berapa untuk gajimu dalam sebulan?) tanya mbah Krasa,
Sri bingung menjawabnya, kemudian, dengan gugup, ia mengatakannya. “700 ewu mbah, nek saget”(700 ribu nek, kalau bisa)
Sri sempat melirik wanita itu, ia tetap anggun dengan senyumannya. “700 ewu” (700 ribu) katannya. “yo opo, nek tak kek’i sak wulane, 5 yuto” (bagaimana bila, setiap bulan, ku kasih kamu 5 juta)
Sri kaget bukan maen, gaji PRT tahun itu cuma 500 ribu.
Sri pun setuju, ia tidak tahu harus mengatakan apa, bahkan ketika si wanita sudah pergi, si pemilik jasa, tidak akan memungut uang sepersen pun dari Sri, hal ini, membuat serentetan kejadian ini menjadi semakin aneh.
Pekerjaan macam apa yg di gaji setinggi itu. Sri mulai ragu.
Ia pulang, menceritakan sama bapak,
Namun, bapak mengatakan hal yg sedari tadi di pikirkan Sri.
“Firasat bapak kok gak apik yo ndok, opo gak usah budal ae, golek maneh ae” (firasat bapak kok buruk ya, apa gak usah aja, cari yg lain)
Namun Sri meyakinkan, bahwa ia harus kerja, kapan lagi, ia mendapat pekerjaan dengan gaji setinggi itu.
Dalam hati kecil Sri, ia ingin melihat terlebih dahulu, pekerjaan apa yg di berikan kepadanya, keesokan harinnya, ia pergi, ke rumah mbah Krasa, disana, ia melihat Erna dan Dini, mereka sama-sama terkejut satu sama lain
Seperti sebelumnya, mereka, di panggil satu persatu, hingga tiba giliran Sri, kali ini, ia melihat semua anggota keluarga mbah Krasa.
Ada 7 orang, yg kesemuannya, duduk memandang Sri, sama seperti sebelumnya, mereka seperti mengamati Sri dari ujung kepala, hingga mata kaki.
“Ngeten mbak, kulo bade tandet, sampean purun, nyambut ten mriki, soale, onok pantangan’e, nak sampeyan purun, pantangane ra isok di cabut maneh” (begini mbak, saya mau tanya dulu, Anda setuju bekerja disini, karena ada larangan keras bila anda sudah menerimannya, larangannya tidak akan bisa dicabut) kata seorang wanita yg lebih muda. umurnya berkisar sekitar 30’an.
“Larangan nopo nggih mbak” (larangan seperti apa?)
Sri bisa melihat gelagat aneh, karena mereka saling memandang satu sama lain, seakan pertanyaan Sri tidak perlu mereka jawab.
Mbah Krasa berdiri dari tempatnya, ia lalu berbisik pada Sri “uripmu bakal dijamin, nek awakmu gelem ndok, tapi nek awakmu gak gelem, mbah gak mekso” (hidupmu akan terjamin bila kamu mau, tapi saya tidak mau memaksa kalau kamu tidak mau)
Tidak ada jawaban dari pertanyaan Sri.
Namun, Sri memberi jawaban pada saat itu juga.
“Nggih, kulo purun” (iya, saya mau)
Sri pun melangkah pergi, ia menemui Dini dan Erna, rupannya, mereka semua diterima bekerja disini. disini? adalah pertanyaan yg akan membuat mereka kebingungan, terutama, saat malam mereka tiba.
Malam itu. ketika mereka semua sudah datang di rumah ini. tampak mbah Krasa sudah menunggu bersama anggota keluarga lain, disini, ia menjelaskan, bahwa mereka bertiga, akan di tugaskan, di sebuah rumah lain, sebuah rumah yg sangat jauh, jauh sekali, rumah di dalam sebuah hutan.
Sri dan yang lain bingung, tidak ada penjelasan ini sebelumnya, namun, mereka sudah berjanji mau menerima pekerjaan ini.
Rumah macam apa yg di maksud pun Sri tidak mengerti, ada sebuah mobil yg sudah siap mengantar mereka, disana, sopir mereka, akan menjelaskan pekerjaannya.
Mobil sudah bergerak, Sri, Erna dan Dini, masih terlihat kaget, satu sama lain tidak ada yg bicara, bingung, Sri memberanikan diri bertanya kepada sopir, namun sopir, memberi isyarat bahwa mereka, tidak boleh bicara terlebih dulu, seakan-akan, mereka di buntuti sesuatu.
Ada kejadian menarik yg membuat Sri semakin curiga, setiap persimpanga, si sopir berhenti, mengambil sesuatu dari belakang, meletakkannya di tengah jalan, seperti bunga-di dalam kotak yg terbuat dari daun pisang.
Hal itu, menimbulkan kecurigaan apa yg sebenarnya ia lakukan.
Hal itu terus menerus dilakukan, sampai akhirnya, mobil sudah meninggalkan kota, jauh, dan perlahan mulai memasuki area hutan, jam menunjukkan pukul 12 malam, saat kegelapan hutan, mulai menyelimuti mereka
Tidak terbayangkan, bahwa mereka, akan tinggal di dalam hutan segelap ini
Kiri kanan pepohonan, dengan semak belukar, Mobil terus berjalan, sampai, tiba di sebuah jalan setapak, perlahan, mobil melesat masuk, diatas jalan setapak yg di tumbuhi rumputan liar, mobil terus menerabas memaksa masuk.
Sri dan yang lain, mulai merasa tidak nyaman dengan ini.
“Pak bade ten pundi niki, kulo mboten di pateni kan” (pak, kita mau kemana, saya tidak akan di bunuh kan?) tanya Dini.
Si sopir hanya tersenyum, tetap memaksa mobil, menembus sela pepohonan, seakan mencari jalan di tengah gelap hutan yg di penuhi kabut di sepanjang jalan.
Setelah jauh masuk ke dalam hutan, mobil berhenti di sebuah semak dan pohon yg tidak lagi bisa di lalui mobil, ada kejadian aneh, dimana ada satu pohon yg tidak terlalu besar, tumbang begitu saja
Si sopir keluar dari mobil, menyingkirkan pohon tumbang itu, dan darisana ada jalan
Setelah melewati jalan yg naik turun, mereka sampai di sebuah rumah gubuk, terbuat dari kayu yg di susun serampangan, atapnya tidak terlalu tinggi, terlihat sangat kumuh, bahkan lebih kumuh dari rumah Sri, darisana, muncul seorang pria tua, yg seperti sudah menunggu mereka semua.
Sri dan yg lain turun, kemudian si sopir menjabat tangan si pria tua, mencium tangannya, sebelum memperkenalkan Sri dan 2 orang lainnya.
“Mulai tekan kene, bapak iki sing jelasno kabeh” (mulai dari sini, si bapak yg akan menjelaskan semua)
Tampak dari luar, bapak itu sudah uzur, bahkan carannya berjalan saja seperti kewalahan menyangga badannya sendiri.
Ia tidak bicara banyak, hanya memperkenalkan namannya, pak Ageng, katannya, lalu, ia mengajak Sri dan yg lain masuk ke rumah itu, ia menunntunya masuk ke kamar
Disalah satu kamar itu, Sri dan yg lain, kaget bukan maen, karena tepat di atas ranjang, ada sebuah peti mati, keranda mayat, di dalamnya, ada seorang gadis yg mungkin masih SMU, masih muda, ia memejamkan matannya, di badannya, ia melihat nanah busuk dan garis lebam hitam, siapa?
“Nami kulo Tamin, kulo ngertos, akeh sing kepingin njenengan2 takokno, enten opo sing kedaden nang kene” (nama saya Tamin, saya mengerti, pasti banyak yg ingin kalian tanyakan tentang apa yg barusaja kalian lihat disini)
Si pria tua itu membungkuk, sebelum melangkah keluar kamar
“Onok opo asline nang kene” (ada apa sih sebenarnya ini) kata Dini, ia tidak bisa mengalihkan pandanganya pada gadis itu.
Matanya terpejam, di kurung oleh bambu kuning yg di bentuk menyerupai keranda mayat, Sri dan yg lain, yakin, ada sebuah rahasia di tempat ini, namun apa itu!
Saat-saat kebingungan itu, Sri melangkah mundur, ia tidak sanggup lagi melihat gadis itu yg entah siapa dan kenapa ada disini, ia berniat mencari tahu, dan bertanya langsung kepada sopir yg mengantar mereka, sampai, langkahnya terhenti menakala, ia mendengar si sopir berbicara.
“Gik, opo gak onok sing jelasno nang cah iku mau, kerjo opo nang kene, kok koyok’ane kaget ngunu” (Gik, apa gak ada yg ngasih tau mereka, pekerjaan apa yg sebenarnya di janjikan disini, kok tampaknya mereka terkejut sekali)
Si sopir mulai bicara. “dereng mbah, ngapunten”(belum mbah, maaf)
“Awakmu langsung balik tah, gak mene a?” (loh, kamu mau langsung pulang tah, apa gak besok saja) tanya si mbah
“Mboten mbah, mbenjeng kulo kudu ngantar ibuk” (tidak mbah, besok saya harus mengantar ibu)
“Yo wes, ati-ati, ojok langsung muleh, wedine onok iku” (ya sudah, hati hati, takutnya ada itu)
“Iku” batin Sri, apa maksud kalimat itu, apa yg mengikuti sebenarnya, dan ada apa semua ini, banyak pertanyaan muncul dalam kepala Sri, sebelum, si mbah tiba-tiba bicara.
“Metuo ndok, aku roh awakmu nang kunu” (keluar saja nak, saya tau kamu ada disitu)
Sri melangkah keluar, melihat cahaya mobil mulai menjauh, pudar, lalu menghilang.
“Celuk’en kancamu, ben ngerti, alasan kenek opo sedoyo onok nang kene” (panggil temanmu, biar mengerti, kenapa kalian ada disini)
Sri ‘ pun memanggil yg lain.
Mbah Tamin duduk di sebuah kursi panjang, matanaya menerawang jauh di teras rumah gubuk, sementara Sri dan yg lain berdiri, siap dengan penjelasan tentang semua ini.
Suasana hutan kian mencekam, setiap sudut pohon seakan hidup dan mengamati mereka, Sri merasa kecil di tempat ini
“Aku isih iling, cah cilik ayu, ceria, ra nduwe duso” (aku masih ingat, anak kecil, cantik, ceria, belum punya dosa) “koyok jek wingi yo, tapi, cah cilik iku, sak iki, nang ambang nyowo, perkoro Santet menungso laknat!” (seperti baru kemarin rasanya, tapi sekarang, anak kecil itu
Terbaring sakit, melawan kodrat nyawanya, hanya karena santet dari manusia biadab!!) wajah mbah Tamin menegang, kosakata kalimatnya seperti penuh amarah, membuat Sri dan yg lain begidik ngeri.
“Cah cilik iku, Dela, yo iku, sing nang kamar”
(anak kecil itu Dela, dia yg di kamar)
“SANTET?” ucap Sri dan yg lain bersamaan
Wajah Sri dan yg lain semakin menegang
“Iyo, mangkane, cah iku, di gowo nang kene, disingitno, ben isok tahan, sampe ketemu Awulurane” (iya, karena itu dia di smebunyikan disini, biar bisa bertahan, sampai ketemu cara memasang santetnya)
“Disingitno tekan sinten mbah” (di sembunyikan dari siapa mbah?) tanya Sri, yg semakin tertarik, seakan semua yg ada disini membuatnya penasaran.
Mbah Tamin menatap Sri, matanya seakan tidak nyaman dengan pertanyaan itu.
“Akeh sing rung mok erohi, luweh apik gak roh ae”(banyak yg tidak kamu ketahui, lebih baik tidak tahu saja)
Suasana menjadi hening sesaat, mbah Tamin mengambil sebuah kotak, mengambil sejumput daun kering dari dalam kotak itu, memelintirnya dengan kertas, sebelum menyesapnya kuat-kuat, asap mengepul dari mulutnya.
“Sak iki, tak uruki tugas’e njenengan kabeh yo” (sekarang waktunya saya memberitahu tugas kalian disini)
Mbah Tamin berdiri, ia seakan memberi tanda agar Sri dan yg lain mengikutinya. ia berjalan disamping sisi rumah, banyak sekali potongan kayu yg di susun, memang, rumah ini terlihat mengerikan, dengan pencahayaan yg hanya dari lampu petromax, selain itu, kegelapan, ada dimana-mana
Ia berhenti tepat di belakang rumah, ada sebuah pagar bambu, dimana, di dalamnya, ada sebuah sumur, disana, tempat untuk mandi, dan tempat untuk mengambil air untuk kebutuhan hidup selama tinggal disini, termasuk, untuk basuh sudo (tubuh mati) Dela yg terbaring tak bergerak.
Hanya Sri yg berinisiatif bertanya, terutama ketika soal memandikan itu, entah apa dan kenapa, Sri seakan tahu, cara memandikanya pasti tidak sama seperti cara memandikan orang biasa, hal itu, membuat mbah Tamin tersenyum, seakan mempersingkat penjelasan beliau tentang ini semua
“Iyo, cara ngedusine, pancen onok tata carane, salah sijine, kembang pitung rupo” (iya, cara memandikanya, memang berbeda, ada tata caranya, salah satunya, bunga 7 rupa)
mbah Tamin menunjuk sebuah tempat khusus, dimana, ada bunga dengan rupa berbeda, di letakkan di atas tempeh
Dengan cekatan, mbah Tamin mengisi baskom dengan air, mencampurinya dengan bebungaan itu, membawanya ke kamar tempat Dela tertidur
Lalu, ia melihat Sri, memanggilnya, Dini dan Erna hanya mengamati saja
Ia diminta mengikat tangan dan kaki Dela, Sri menuruti apa kata mbah Tamin
Walau sebenarnya ia bingung, kenapa Dela harus diikat, setelah Sri menyelesaikan tugasnya, mbah Tamin baru membuka keranda bambu kuning itu, ia mulai membasuh badan Dela, Sri ikut membantu, dan disana, Sri menemukan fakta mengejutkan lain
Perut Dela, membesar seperti mengandung
Sri yg membasuhnya, menatap mbah Tamin dengan tatapan bingung dan kaget, namun mbah Tamin tampak mengerti apa yg ingin Sri tanyakan, setelah selesai dengan semua itu, Keranda kembali di tutup, dan kain yg mengikat Dela di lepas satu persatu.
Mbah Tamin melangkah pergi.
“Mbah” kata Sri, mengejar mbah Tamin, di belakangnya ada Dini dan Erna yg tidak tahu apa yg baru Sri lihat
“Engkok, tak ceritani, nek awakmu wes siap” (nanti saya ceritakan kalau kamu sudah siap saja) kata mbah Tamin, “tugasmu kabeh, ngurus Dela” (tugas kalian mengurus Dela)
sudah 3 hari berlalu, Sri, Dini dan Erna, bergantian mengurus Dela, mulai memandikanya, memberinya minuman, gadis itu, lebih seperti gadis yg tengah koma di bandingkan gadis yg di santet entah oleh siapa dan bagaimana latar ceritanya, masih terlalu awam untuk tahu, pikir Sri
Entah sudah keberapa kali, Sri mendengar Erna dan Dini berbicara tentang Dela, berbicara tentang bau busuk yg keluar dari tubuhnya, sampai kalimat tidak menyenangkan lainya saat mereka tinggal di tempat ini, dan betapa misteriusnya lelaki tua bernama Tamin itu, Sri memilih diam
Namun, di luar semua itu, sebenarnya Sri sama seperti yg lain, aroma busuk itu, benar2 menganggunya, selain itu, hidup disini sangat berat, tidak ada orang lain, kiri kanan hanya pohon liar, seakan mereka tinggal di dunia yg berbeda.
Suatu sore, mbah Tamin pamit, ia akan pergi
Ia berpesan kepada Sri dan yg lainya, untuk tetap menjalankan tugasnya, dan tidak melupakan pantangan yg sudah ia ucapkan, salah satunya, untuk tidak lupa mengikat Dela saat membuka keranda itu.
Tidak lupa, mbah Tamin juga berpesan, untuk tidak membukakan pintu, pada malam ini.
Siapapun dan bagaimanapun, jangan membuka pintu, ucap mbah Tamin, sebelum ia pergi, melangkah menembus pepohonan hutan.
Sri yg mendengarnya, merasa merinding setiap ingat pesan orang tua itu.
Hari sudah gelap, Sri menutup pintu dan jendela, lalu pergi ke kamar, disana ia melihat Dini sudah tidur, di sampingnya Erna tengah meringis menahan sakit,
“Koen kenek opo Er?” (kamu kenapa Er) tanya Sri,
“Sri, aku oleh jaluk tulung” (Sri, aku boleh minta tolong tidak)
“Jalok tolong opo?” (minta tolong apa?)
“Engkok bengi, wayahku ngadusi Dela, isok mok ganteni, mene, wayahmu tak ganteni” (malam ini giliranku memandikan Dela, bisa kamu gantikan, besok, ganti aku yg gantikan kamu)
Awalnya, Sri keberatan, namun, melihat kondisi Erna, Sri setuju
Setelah menerima permintaan Erna, Sri bersiap mengambil air, ia lupa, bahwa air di gentong dapur sudah habis, terpaksa ia membuka pintu, bersiap untuk menimba air dari sumur.
Meski awalnya ragu, Sri mematung di depan pintu, lalu, perlahan membukanya, lalu keluar
Entah perasaan tidak enak macam apa yg Sri rasakan, malam ini, lebih hening dari biasanya, tidak terdengar suara binatang malam, seakan membawa ketakutan Sri yg selama ini ia tahan menyeruak keluar
Sri melangkah keluar, ia cepat2 pergi ke sumur, menimbanya, lalu kembali, tapi..
Dari sudut mata Sri, jauh di salah satu pohon besar di samping pagar bambu kamar mandi, Sri melihat ada wajah yg mengamati, saat Sri menatapnya, wajah itu menghilang, Sri terdiam cukup lama, namun, ia tetap melanjutkan tujuanya
Ia harus cepat melakukan tugasnya,
Sri segera menimba air dengan cepat, tidak lupa matanya awas menatap sekeliling, seakan ia sedang di kejar sesuatu, setelah semua selesai, Sri berlari dan mengunci pintu, perasaan lega langsung di rasakan oleh Sri. kini, ia melangkah menuju kamar Dela.
Sri meletakkan airnya, taburan kembang sudah ia lakukan, kini, Sri membuka keranda Bambu kuning, mulai membasuh tubuh Erna dengan handuk kecil, ia masih tertuju pada perut besarnya, yg kata Erna, di hamili oleh mbah Tamin, namun, Sri tidak percaya, ia selalu menyangkal ucapan itu
Sri terus membasuhnya, hingga sampai ke tanganya yg penuh luka borok, disana, Sri terdiam, ia lupa, belum mengikat tangan dan kaki Erna, saat Sri baru menyadarinya, ia menatap Erna, membuka mata, tersenyum menyeringai, melotot menatap Sri.
Dela*
Kaget, Sri beringsut mundur, namun Dela mencekik leher Sri kuat-kuat, ia mengangah, menunjukkan gigi hitamnya yg membusuk.
Terjadi pergulatan hebat antara Sri dan Dela, Sri hanya berusaha melepaskan cekikan Dela yg kuat sekali, membuatnya hampir meregang nyawa
“sopo koen ndok?” (siapa kamu nak?) tanya Dela, suaranya berat, nyaris menyerupai suara seorang wanita tua.
“nang ndi iki ndok?” (dimana ini nak)
Sri masih mencoba melepaskan cengkraman kuat itu, namun Dela, terus menyeringai, air liurnya menetes, matanya putih, ia tersenyum
“Jawab nek di takoni ndok” (jawab kalau di tanya!!)
“Sinten njenengan” (siapa anda) tanya Sri terbata-bata, nafasnya mulai sesak,
Dela tertawa semakin keras, membuat Sri menangis ketakutan, sebelum, Erna masuk ke kamar karena keributan itu, ia bingung, melihat Dela terbangun
“Onok opo iki Sri, kok Dela kok Dela” (ada apa ini sri, kenapa Dela, kenapa Dela) bingung, Dela menyeringai melihat Erna sebelum akhirnya melepaskan cekikan itu, ia melompat ke atas ranjang, merangkak kemudian seakan tertawa kegirangan, Dela berteriak, “cah kliwon kabeh”(ternyata anak kelahiran kliwon semua)
Dela masih tertawa, Sri beringsut mundur, sementara Erna masih bingung dan shock, melihat wajah Dela yg semengerikan itu,
Dela terus melihat Sri dan Erna bergantian. “percuma, sewu dinone arek iki bakal entek” (percuma, seribu harinya anak ini akan segera habis)
“Koen kabeh mek dadi tumbal gawe cah iki,” (kalian hanya jadi tumbal untuk anak ini) Dela tertawa terus menerus, sebelum Sri melompat dan mencengkram Dela, ia mengguyur Dela dengan air kembang itu, Dela berteriak kesakitan,
“Koen lapo!! jupukno Tali ireng iku,” (kamu ngapain!! ambilkan tali hitam itu) teriak Sri pada Erna, Erna yg sempat kebingungan, bergegas mengambil tali itu, Sri mengikatnya tepat di lehernya.
“onok opo iki Sri” (ada apa ini Sri) Erna ikut menahan tubuh Dela yg meronta
Sebelum akhirnya Dela menjadi tenang, dan ia kemudian tertidur kembali, Sri baru mengikat tali itu dengan benar, ia mengangkat Dela kembali ke ranjangnya, menutupnya dengan keranda bambu kuning.
Wajah Erna dan Sri masih tidak percaya atas apa yg baru saja terjadi.
Erna mulai menangis. “aku kepingin muleh” (aku ingin pulang)
Sri tidak berkomentar, ia sadar, bahwa sekarang, ia juga ingin pulang, hanya saja bila bukan karena sudah terikat dan pasti ada resiko yg sudah menunggu bila mereka pulang, lantas, apa yg di sembunyikan oleh si mbah
Sri menceritakan semuanya kepada Erna, ia lalai dalam menjalankan tugasnya, karena panik, ia membasuh Dela tanpa mengikat tali di kaki dan tanganya terlebih dulu.
Namun gara-gara itu, Sri menyadari, Santet macam apa, yg memasukkan iblis sekuat itu hanya untuk menghabisi nyawa
Sri jadi ingat cerita bapak, Santet bukan hal baru disini, namun, untuk melaksanakan santet di butuhkan kebencian yg melebihi akal, bila benar itu, kebencian macam apa yg bisa dan setega ini dilakukan oleh orang, hanya untuk mengambil nyawa dari anak yg tidak tahu apa-apa.
Namun di balik semua itu, santet ini adalah kali pertama Sri lihat, seperti ada teka-teki, seakan ada yg di tutupi, pasti ada jawabanya, pasti ada jalan keluarnya, namun apa, Sri tidak tahu apapun dari keluarga ini, dan kenapa anak ini sebegitu berharganya,
Sampai, Sri teringat
“Sewu dinone” (seribu harinya) kata Sri lirih, ia melirik menatap Erna,
“Er, ojok ngomong awakmu lahir jumat kliwon” (Er jangn bilang kamu lahir di hari jumat kliwon)
Erna yg mendengarnya, kaget “awakmu pisan?) (kamu juga)
Sri merasa ngeri, sekarang ia tahu sesuatu, namun, ada satu lagi yg harus ia cari kebenaranya, bila benar, pertanyaanya lengkap, begitupun jawabanya, tidak hanya Dela yg hidup di ujung maut, tapi, mereka bertiga semua, terjerat dalam satu garis weton yg sama.
Sejahat itu keluarga ini, untuk harga nyawa mereka semua
Lalu, terdengar suara orang mengetuk pintu.
Erna pun sama, ia langsung berdiri
“Mbah Tamin muleh Sri, ayo takon mbah asu iku, pokoke kudu di jelasno onok opo ambeh cah gendeng iki” (Mbah tamin pulang Sri, ayo kita tanya orang tua anj*ng itu, dia harus menjelaskan semuanya, ada apa sama anak gila ini”
Erna pergi,
Sri baru ingat pesan mbah Tamin, ia langsung bergegas bersiap menghentikan Erna, Sri lari mengejar Erna, untungnya, ia masih sempat mencengkram lengan Erna, mereka terdiam di depan pintu rumah.
Suara ketukan itu, terdengar lagi, setiap ketukanya, terdiri dari 3 ketukan,
Semakin lama, ketukanya semakin cepat, semakin cepat, semakin cepat.
Sampai, tidak ada ketukan lagi.
Erna dan Sri saling berpandangan, bingung, keheningan menenggelamkan mereka di dalam rumah itu, sebelum,
Sesuatu, menggebrak pintu dengan keras, hingga membuat mereka tersentak
Mereka hanya diam, berusaha tidak bersuara, lalu, dari belakang, seseorang melangkah masuk.
Dini, melihat 2 temanya, terlihat kacau balau, ia bingung, kemudian berujar, “ga krungu mbah Tamin nyelok ta, ndang di bukak lawange” (kalian gak denger mbah tamin manggil, buka pintunya)
“he, ojok ngawor koen” (jangan ngawur kamu) celoteh Erna, namun Dini memaksa, bahkan Sri yg memegang tanganya, Dini pelototi, sampe akhirnya mereka mengalah,
Dini membuka pintu, disana, mbah Tamin berdiri, ia hanya diam, menatap mereka semua, sebelum melangkah masuk ke rumah
Anehnya, malam itu, wajah mbah Tamin tampak merah padam, ia tidak berbicara kepada mereka, tidak membahas kenapa pintunya tidak langsung di buka padahal ia sudah memanggil-manggil dari tadi.
Namun, Sri, merasa, mbah Tamin tahu, bahwa ia, baru saja lalai terhadap Dela.
Sri dan yg lain, mengikuti mbah Tamin, beliu, masuk ke dalam kamar Dela, lalu perlahan, ia membuka keranda bambu kuning, ia membukanya, kali ini, tanpa mengikat Dela terlebih dahulu, seakan ingin mengulang kesalahan Sri.
Hanya Sri dan Erna, yg memandang hal itu dengan ngeri.
Sri mendekat perlahan, seakan ingin melihat lebih dekat apa yg orang tua itu lakukan, lalu, tiba-tiba, mata Dela terbuka, ia melihat mbah Tamin, menatapnya cukup lama, sebelum menangis meraung layaknya gadis kecil.
“Loro ki, loro” (sakit ki, sakit sekali)
Dela hanya menangis.
Mbah Tamin hanya bisa membelai rambut Dela, berusaha menenangkanya, pemandangan itu seperti melihat seorang ayah dan anak yg saling mengasihi, namun, Sri masih belum mengerti, kenapa, seakan Dela yang ini berbeda dengan Dela yg Sri dan Erna temui tadi.
Apa yg terjadi sebenarnya?
“Sing sabar yo nduk, mari iki puncak lorohmu” (sabar ya nak, sebentar lagi adalah puncak rasa sakitmu) ucap mbah Tamin, ia masih mengelus rambut Dela.
Lalu, Dela melirik, Sri dan yg lain yg hanya diam mematung, tatapanya, seakan mengucapkan “terimakasih sudah mau merawat saya”
Mbah Tamin lalu mengikat tangan dan tali Dela, tergambar wajah sedih disana, ia masuk ke dapur, mengambil sebuah kain putih besar, saat mbah Tamin kembali ke kamar Dela, Dela menangis semakin keras, ia berulang kali mengatkan.
“Ojok ki, ojok balekno aku nang kono” (jangan ki, jangan kembalikan saya kesana)
Namun, mbah Tamin tetap meletakkan kain putih itu, menutupi sekujur tubuh Dela yg meronta-ronta, terakhir, mbah Tamin membakar kemenyan, sebelum memegang, kepala Dela, dan terdengar, suara raungan yg mengguncangkan seisi rumah itu.
Sri dan Erna sampai beringsut mundur, sosok didalam kain itu terus meraung layaknya iblis yg Sri saksikan tadi, kali ini, Dini tampak terguncang, bingung, ada apa sebenarnya disini.
Terdengar suara marah dari dalam kain. ia adalah wujud tadi yg Sri saksikan, “Menungso bejat”(manusia berengsek)
Mbah Tamin terus menekan kepalanya, membuat suara itu semakin menjerit marah, setelah kurang lebih 5 menit mbah Tamin melakukan itu, perlahan, sosok itu mulai tertidur, dan mbah Tamin membuka kain itu, ia melihat Dela memejamkan matanya.
“Sri, Erna, melok aku” (kalian ikut saya) kata mbah Tamin memanggil mereka, sementara Dini, tetap di kamar, hanya dia yg belum mengerti apa yg terjadi disini.
Mbah Tamin duduk di teras rumah, kegelapan hutan, benar-benar mencekam kala itu, Sri dan Erna berdiri, menunggu, sebelum
Mbah Tamin menunjuk sesuatu di antara pepohonan, “awakmu isok ndelok ikuh” (kalian bisa melihatnya)
“Nopo to mbah” (apa ya mbah) kata Sri, bingung.
“Mrene” (kesini)
Mbah Tamin, menempelkan jemarinya, menekan mata Sri, sengatan ketika mbah Tamin menekan mata Sri, membuat-
Pengelihatanya memudar perlahan, setelan mencoba memfokuskan matanya, Sri melihat lagi apa yg di tunjuk mbah Tamin.
Bagai petir di siang bolong, Sri melihat, banyak sekali makhluk yg tidak bisa dia gambarkan kengerianya, mungkin ada ratusan, atau ribuan, seakan mengepung rumah
Butuh waktu lama, sampai Sri akhirnya tidak sanggup lagi melihatnya, sehingga mbah Tamin menutup kembali pengelihatan itu, mencabut sesuatu dari ubun-ubun Sri, dengan mata menerawang, ia mengatakan kepada Sri.
“Sedo bengi mangkuk nang rogo iku ngunu undangan gawe lelembut”(raga yang di buat mati adalah sebuah undangan bagi makhluk seperti mereka) kata mbah Tamin,
“Awakmu lali, perintahku Sri, iku ngunu bahaya, isok mateni Dela, ojok sampe lali maneh yo Sri” (kamu lupa dengan perintahku, itu sangat berbahaya, bisa membunuh Dela, jangan ulangi ya)
Erna yg sedari diam saja, dia ikut berbicara. “mbah, enten nopo sami Dela, kok isok Dela kate mateni kulo kaleh Sri” (Mbah tolong kasih tahu, apa yg terjadi sama Dela, kok bisa bisanya, dia mau bunuh saya dan Sri)
Mbah Tamin duduk lagi, lalu mengatakan “berarti wes ndelok”(berarti kamu sudah lihat)
“Iku ngunu Cayajati, sing kepingin mateni Dela, tapi ra isok, mergane cayajati butuh singgarahane, koyok sak bojo, Santet sewu dino, mek di nduwei ambek wong pados sing wes podo siap mati”(itu adalah Cayajati, yang ingin membunuh Dela, tapi tidak bisa karena ia butuh Singgarahane, seperti sepasang suami isteri, santet seribu hari, hanya di miliki oleh orang yang siap menanggung dosa, dan siap mati bersama)
Sri dan Erna masih terlihat bingung, ia tidak mengerti
Mbah Tamin menerawang jauh, menatap sisi hutan tergelap yang Sri saksikan dengan mata kepala sendiri, mereka tidak sendirian di hutan ini.
Dengan suara berat, mbah Tamin mengatakanya.
“Terlalu awam, kango ngerti iki” (terlalu awal untuk mengerti ini)
“Intine, ilmu santet sewu dino, iku pembuka ritual, kanggo mateni sak keluarga sampe sekabehe keturunan iku entek” (intinya, ilmu santet seribu hari, adalah pembuka ritual, untuk menghabisi satu garis keluarga sampai habis keseluruhanya)
Setelah percakapan itu, mbah Tamin melangkah masuk ke dalam kamar, mengunci pintunya, membiarkan semua kejadian itu, meluap, begitu saja.
Dengan pertanyaan besar, yg masih menggantung di atas pikiran Sri dan Erna?!
Pagi itu, sekitar pondok, kabut tebal menutupi seluk beluk hutan, membuat pandangan mata terbatas, sejak fajar menyingsing, Sri dan Dini sudah ada di sumur, mencuci pakaian untuk keseharian mereka, sedangkan Erna, tengah membasuh Dela didalam kamar
Sampai, terdengar langkah kaki Sri yg pertama mendengarnya.
Ia berdiri untuk melihat, dari jauh, sosok hitam muncul dari balik kabut. perawakanya familiar.
Denah pondok rumah, memang sederhana, dari teras maupun kamar mandi, bisa melihat keseluruhan area sekitar, sehingga, sosok mendekat itu, terlihat jelas
Semakin dekat sosok itu, Sri semakin yakin, dan benar saja, ia mematung sesaat, sebelum Dini ikut berdiri dan melihat apa yg membuat Sri tampak tercekat dalam ekspresi wajahnya, manakala, ia melihat, mbah Tamin mendekat ke arah mereka dengan wajah yg letih.
Ketika, mbah Tamin berdiri di depan Sri, ia seraya bertanya, apakah petuah beliau sudah di jalankan.
Sri hanya diam, bibirnya gemetar, Dini lah yg berinisiatif mengambil situasi, ia berucap lirih.
“Mbah, sampeyan mambengi mboten mantok ta” (mbah, bukanya semalam, anda pulang)
Mbah Tamin yg mendengar itu, tiba-tiba mengejang, otot wajahnya mengeras, lantas memandang Sri dengan ekspresi tidak percaya, ada kemarahan dalam tatapanya.
“Awakmu gak wes tak kandani ta, ojok MBUKAK LAWANG”
(bukanya, kamu sudah tak kasih tau, jangan BUKA PINTUNYA)
Terjadi ketegangan dalam situasi itu, sampai, tiba2, mbah Tamin mencengkram leher Sri, Dini yg melihat itu, panik.
“SOPO SING MOK OLEHI MELBU OMAH, NANG NDI MAKHLUK IKU!!” (SIAPA YG KAMU IJINKAN MASUK, DIMANA SEKARANG DIA BERADA)
Dini, mencoba menahan tangan mbah Tamin,
Sri hanya membuang muka, ia sudah gemetar ketakutan.
“Nang kamar njenengan mbah, tiange mlebet mriku” (di kamar anda mbah, dia masuk kesitu) ucap Dini, mbah Tamin sempat melirik Dini dengan wajah marah, sebelum, bergegas masuk ke rumah, setengah berlari seakan ingin melihatnya.
Sri dan Dini ikut mengejar, bahkan, mereka sempat melihat Erna yg terdiam mematung, seakan kaget melihat mbah Tamin muncul dari luar rumah, padahal, ia tahu betul, si mbah belum keluar dari kamarnya sejak semalam masuk kesana
Tepat ketika, mereka sampai disana, mereka melihatnya seseorang mengobrak abrik kamar mbah Tamin, semua barang mbah Tamin berantakan, namun, yg membuat semua orang tercengang adalah, di atas ranjang tempat tidur beliau, ada patek (nisan dari kayu) yg tertulis nama “Atmojo”
Nama keluarga tempat mereka mengabdikan diri. Krasa Atmojo
Cukup lama bagi mbah Tamin, memeriksa benda itu, tanpa melihat Sri dan Dini, si mbah berucap “opo sing di lakoni nang kene mambengi ndok” (apa yg dia lakukan saat ada disini semalam)
Sri kali ini yg bicara, ia mengatakan semuanya, termasuk Dela, mimik wajahnya berubah, ia diam
Sebelum, akhirnya berjalan menuju Dela.
Mbah Tamin melihat anak gadis itu, masih terlelap dalam tidurnya, ia membelainya layaknya anak gadisnya sendiri, sama seperti sosok yg ia lihat semalam.
Siapa sosok itu sebenarnya. Sri terlihat berpikir, seakan mencari tahu jawaban itu.
Setelah hari itu, mbah Tamin mengatakan, ia akan lebih sering keluar rumah, pesanya sama seperti dulu, jangan bukakan pintu manakala hari sudah petang.
Sri, Erna dan Dini, mengangguk, pertanda mengerti, namun, perlahan, semua mulai memikirkan itu, kemana si mbah sebenarnya.
Sri, Erna dan Dini masih melakukan tugas mereka, secara bergantian sama seperti biasanya.
Sampai, suatu pagi, si mbah belum juga pulang. ini aneh, Dini dan Erna, ada di sumur, mereka sedang mencuci pakaian mereka, saat itu, Sri baru saja melaksanakan tugasnya, membasuh Dela.
Tidak ada yg berubah dari gadis itu, sebenarnya, bila saja Dela tidak di jahati seperti ini, dia melihat sosok gadis muda yg cantik jelita, tidak hanya itu, perawakanya memang layak menjadi dambaan bagi pria manapun, namun, nasib seperti mempermainkanya, Sri merasa bersimpati.
Manakala ia selesai melaksanakan tugasnya, tiba-tiba terpecik pikiran penasaran, selama ini, bila di pikir-pikir ia belum pernah masuk ke kamar mbah Tamin, hanya melihatnya dari luar, kira-kira apa yanh orang tua itu simpan di dalam kamarnya.
Setelah melihat dan memastikan tidak ada orang disana, ia membuka pintu itu, yang memang tidak di kunci. Sri melangkah masuk, melihat kamar mbah Tamin, tidak ada yang istimewa, selain benda yang sama yang ia temui di dalam kamarnya, lalu, mata Sri tertuju pada sebuah almari tua.
Ia menemukan pakaian mbah Tamin, tidak ada apapun disana, bahkan di antara selipan almari, dari atas hingga bawah. lalu, mata Sri tertuju pada sebuah meja yg sudah usang, disana, ada sebuah laci kecil, dengan jantung berdegap kencang, Sri membukanya, kemudian, melihat isinya.
Disana, ia menemukan pasak jagor (boneka isi rumput teki) bentuknya sudah sangat berantakan akibat di cabik dan di tusuk, masalahnya, Sri tahu benda apa itu, itu adalah benda yg sering di gunakan untuk media santet, apa yg sebenarnya orang tua itu lakukan.
Tidak hanya itu saja, ada beberapa benda lain, sebuah cincin akik dengan batu merah, dan terakhir, sebuah foto yg usang, dibelakangnya tertulis “keluarga Atmojo” ketika Sri memperhatikan foto itu, ia memekik ngeri, ada mbah Krasa dan seluruh keluarganya yg pernah ia lihat.
Kaget, takut, dan merinding, itu yg Sri rasakan, cepat-cepat ia mengembalikan semuanya, menutup laci itu lagi, kemudian melangkah keluar, saat Sri membuka pintu, ia tersentak, melihat Erna dan Dini menatapnya kaget.
“Lapo koen” (ngapain kamu)
Sri terdiam, ia berusaha tetap diam.
“gak popo, aku di kongkon si mbah, mberseni kamare mambengi” (semalam, si mbah nyuruh saya bersiin kamarnya)
Meski curiga, Erna dan Dini menerima alasan Sri, ia melewatinya begitu saja, namun, perasaan Sri pagi itu, sudah porak poranda dengan pemikiran-pemikiran gilanya.
Sejak hari itu, setiap kali berpapasan dengan si mbah, Sri seperti terguncang, ia tidak bisa menutupi ketakutanya, namun, dari cara melihat si mbah, tampaknya beliau tau sesuatu dan itu, membuat Sri tidak tenang.
Ia seringkali merasa, mbah Tamin memperhatikan gerak geriknya.
Tapi malam itu, Sugik, sopir yg mengantar mereka datang, ia berbicara empat mata dengan mbah Tamin, seakan ada sesuatu yg mendesak, wajah mbah Tamin tampak mengeras, Sri begitu penasaran, namun kali ini, ia menahan diri
Sampai akhirnya, pembicaraan itu selesai, si mbah mendekat
“Aku bakal melok Sugik nang kediamane Krasa, tolong, jogo omah iki, iling omonganku, yo ndok, mbah percoyo ambek awkmu, tetep lakonono tugasmu, iling yo, paling emben si mbah kaet muleh”(Saya akan pergi sama Sugik ke kediaman Krasa, tolong jaga tempat ini, ingat ucapanku)(lusa mungkin saya baru pulang)
Sri mengangguk, lalu memanggil yg lainya, mereka semua menatap satu sama lain, ada keraguan di mata mereka bila mengingat kejadian sebelumnya, namun, tidak ada yg memprotes ucapan si mbah, karena takut, beliau akan marah lagi seperti sebelumnya.
Malam itu, ketika mbah Tamin sudah pergi, Sri merasa ia harus memeriksa kamar beliau lagi, ia tahu, masih ada yg harus ia cari tahu, termasuk teka teki apa yg sebenarnya terjadi, mungkinkah keluarga Krasa tidak tahu menahu perbuatan orang tua ini, Sri menunggu waktu yg tepat.
Sri menunggu Erna dan Dini terlelap, maka manakala ia sudah yakin, 2 temanya sudah tertidur, Sri melangkah keluar dari ranjangnya, ia melangkah menuju kamar mbah Tamin yg hanya terpisah sekat antara kamar Dela yg memang tanpa pintu itu.
Sejenak, Sri menguatkan diri, lalu, masuk
Ia membuka pintu, membiarkanya tetap terbuka, sementara ia mulai mencari dimana ia terakhir kali memeriksa benda keramat itu, anehnya, ia tidak menemukanya.
Di cari dimanapun, Sri tidak menemukanya, apakah si mbah membawanya, Sri terdiam, berpikir, sampai, sesuatu melintas
Sesuatu seperti baru saja melintas di belakangnya, melewati kamar mbah Tamin, Sri melangkah memastikanya, ia tidak tahu menahu apa itu, tiba-tiba, mata Sri tertuju pada isi dari ranjang mbah Tamin, ia menduga benda itu ada disana, maka, Sri mulai perlahan membukanya.
Sri membuka semuanya, namun, ia tidak menemukan benda itu juga disana, manakala Sri masih berusaha mencari, terdengar suara pintu di tutup dari belakang, Sri terhenyak sejenak, sebelum berbalik melihatnya.
Sri terdiam, melihat Dela menatapnya dengan senyuman menyeringai.
“Cah cilik wani men nggolek masalah” (masih anak kecil berani sekali cari masalah) kata Dela seraya tetap berdiri menahan pintu, kepalanya menggedek ke kiri dan kanan, seakan menertawakan Sri yg tengah meringkuk, ketakutan.
“kok isok” (kok bisa) kata Sri, ia tak kuasa gemetaran
“coba pikirno ndok” (coba pikirkan nak) kata Dela, “lapo wong tuwek situk iku, mbukak kerandaku trus gak nyancang aku, rupane, kanggo awakmu toh, menungso iku lucu kadang yo” (kenapa orang tua itu membuka keranda ini, lalu tidak mengikatku dengan benar, rupanya untuk kamu ya)(manusia itu terkadang lucu ya)
Sri terdiam, ia tiba-tiba berpikir, apa mbah Tamin sengaja membuka keranda itu, sial, harusnya Sri berpikir bahwa kepergian beliau bukankah sesuatu yg aneh, namun untuk apa ia melepaskan makhluk ini.
Dela merangkak, ia mendekati Sri yg sudah meringkuk, namun aneh, si Dela hanya melihat wajah Sri sembari tetap tersenyum.
“Awakmu gak bakal mati ndok, carane garai aku wegah njupuk nyowomu” (kamu tidak akan mati nak, caranya membuatku malas mengambil nyawamu)
“Tak kandani nek koen kepingin eroh, onok opo nang kene,”
(saya kasih sesuatu bila kamu ingin tahu sesuatu, ada apa disini)
Sri masih diam, ia tidak dapat berbicara banyak, ketakutan sudah memenuhi seluruh badanya.
“wet ringin nang etan, tata watu sebelah kidul, bukak’en isine”(Ada sebuah pohon beringin di timur tempat ini, cari sebuah batu tertata lalu buka isinya)
Dela berdiri, membuka pintu, lalu menutupnya lagi, Sri yg masih terjebak dalam ketakutanya, perlahan berdiri, melihat Dela yg kembali tidur, tidak lupa ia menutup kerandanya, lalu ke kamar.
Pagi itu, seperti biasanya. Dini dan Erna sudah sibuk dengan kegiatanya sendiri, sementara Sri, ia pamit untuk menghabiskan waktu di kamar, Sri mengaku badanya tidak enak, namun yg sebenarnya terjadi, Sri melangkah pergi, menuju tempat yg ia dengar dari sosok yg ia temui semalam.
Menelusuri jalan dengan kabut masih tebal, kiri kanan pohon tumbuh tinggi dengan semak belukar di setiap sisinya, setiap langkah kaki Sri terdengar gemerasak dedaunan yg berserakan dengan aroma tanah yg masih tercium sengak, Sri terus berjalan ke timur, sampai, melihat pohon itu.
Dari jauh, pohon itu tumbuh sendiri di antara semak belukar disekitarnya, ada tanah lapang yg terbuka, seakan pohon itu dibiarkan menyendiri, begitu kelam, begitu menenggelamkan, anehnya, Sri justru mendekatinya, seakan hatinya menuntun memanggil namanya.
Ia harus melakukanya.
Meski cahaya matahari sudah terang benderang, namun di bawah pohon ini, seakan cahaya itu tidak bisa menyentuhnya, kehitaman dari rimbunnya dedaunan pohon beringin ini, menciutkan nyali siapapun yg ada di sekelilingnya.
Sri menelusuri pohon besar itu, sampai ia menemukanya.
Sri menemukan sebuah kuburan, dengan batu nisan bertuliskan sebuah nama yg familiar,
“Dela Atmojo”
Butuh waktu, untuk memproses informasi itu, namun, Sri mencoba menolak pikiran itu, “Dela sudah meninggal kah” batin Sri terguncang, ia kini tersesat dalam pola pikiranya sendiri.
Entah apa yg Sri pikirkan, ia langsung menggali tanah keras itu dengan jemarinya, manakala tanah itu mulai menyakiti jari jemarinya, Sri mencari bebatuan untuk terus membongkar kuburan itu, ia merasa ada yg salah dengan kuburan ini, termasuk, ukuranya yg tidak terlalu besar
Benar saja, apa yg Sri lakukan tidak sia-sia, ia sampai di sebuah kotak kayu yg terbuat dari jati, Sri mengeluarkanya darisana, membongkar penutup kotaknya, disana, ia menemukan sebuah boneka pasak Jagor seperti yg pernah Sri lihat, hanya saja, boneka yg ini, dililit rambut hitam
Sri memeriksanya, rambut hitam itu panjang, melilit boneka, tepat ketika akan membukanya, tiba-tiba, terdengar suara tertawa cekikikan, yg membuat Sri terdiam sejenak, memperhatikan sekitar, tidak ada siapapun disana. detik itu juga, Sri meninggalkan tempat itu, membawa benda itu
Ia menyembunyikan benda itu di almarinya, lalu melanjutkan tugasnya hari itu.
Erna dan Dini tidak ada yg curiga, karena ia melihat Sri keluar dari kamar, mereka membersihkan sekitaran rumah, menyelesaikan tugas mereka sebelum malam datang.
Mbah Tamin belum akan pulang hari ini.
Malam sudah datang, Sri ada di dapur, ia barusaja melihat Dini mengambil air, malam ini, tugasnya membasuh Dela di kamar, sedangkan Sri memasak untuk esok hari.
Erna ada di dalam kamar, sendirian, ketika tugas Sri selesai, ia berniat pergi ke kamar, firastnya tiba-tiba memburuk.
Saat ia menuju ke kamar, Sri berhenti sejenak, melihat Dini yg membilas Dela, ia melihatnya membilas tubuh anak malang itu dengan telaten.
Kemudian, ia lanjut ke kamarnya, disana, Sri tercekat, melihat Erna memegang boneka itu, tanganya, tengah melepas rambut hitam itu.
Saat Erna sudah melepaskan rambut yg melilit boneka, tiba2 terdengar suara Dini berteriak yg spontan mengejutkan Sri dan Erna, mereka segera melihat apa yg terjadi.
Belum sampai ke kamar Dela, tiba2 sesosok merangkak keluar, menatap Sri dengan senyuman menyeringai,
Dela. pekik Sri dan Erna berbarengan.
Sosok Dela melihat mereka sejenak, sebelum memuntahkan sesuatu di depan Sri dan Erna.
“Telinga yg terpotong” kata Sri tidak percaya, ia melihat Dini menangis di kamar, memegang salah satu daun telinganya. sosok Dela kemudian pergi keluar.
Sebelum Dela pergi keluar rumah, Sri sepintas melihat di salah satu kaki Dela, masih ada satu ikatan tali hitam, apa yg membuat Dela bisa lepas dari ikatan itu.
Dini masih menangis, sementara Erna cuma bisa diam tidak mengerti, kini, mereka menatap hutan gelap itu darisana, mereka harus bertanggung jawab, mencari Dela di tengah hutan ini, atau orang tua itu akan membunuh mereka bertiga saat ia kembali esok hari.
Sri melangkah masuk ke dalam kamar, dimana, ia melihat Dini masih menangis, menutupi salah satu daun telinganya, ia hanya terduduk
“Din” tanya Sri, yang hanya di jawab tangisan penuh ketakutan, Sri mendekat, melihat lebih jelas, apa yg terjadi. disana, ia melihatnya, telinganya, telinga Dini, benar-benar tampak robek dengan darah segar masih mengalir, Dini kehilangan satu daun telinganya.
ketegangan semakin membuncah, manakala Dini tiba-tiba berujar sebuah kalimat, yg Sri yakini sebuah pesan “Sewu dinone cah ki, kari ngitung areng”(sisa waktu seribu hari anak ini hanya tinggal menunggu bara api padam/ kiasan hitungan jawa : waktu)
Sri bangkit dari tempatnya, lantas, melihat Erna yg masih tampak shock, “ayok di goleki cah kui, pumpung rung adoh”
(ayo kita cari anak itu, mumpung belum jauh)
Erna yang mendengar itu lantas langsung sadar dengan lamunanya, “he, golek cah iku, bengi ndedet ngene, gendeng koen” (apa, cari anak itu, malam petang seperti ini, gila ya kamu)
Sri yg mendengar itu, mendekati Erna, “awakmu gak paham ta posisine, yo opo nek wong tuwek iku eroh”(kamu itu masih belum paham posisi kita ya, gimana kalau orang itu tahu)
Sebelum Erna menjawab pertanyaan itu, ia membanting boneka itu, kemudian bertanya dengan nada keras
“TEROS IKI OPO, SOPO SING NDUWE BARANG NGENE, AWAKMU KAN”
(LALU INI PUNYA SIAPA, SIAPA YG PUNYA)(INI PUNYAMU KAN)
Sri terdiam, ia tidak bisa menjawab pertanyaan Erna, ia tidak tahu menahu, dan bilang memang karena benda itu semua ini terjadi, artinya, memang dia lah penyebab semua ini.
dengan setengah pasrah Sri berucap. “jogo Dini, biar tak cari cah iku”(tolong jaga Dini, biar aku yg cari anak itu)
Sri mengambil satu lampu petromax yg tergantung dipawon (dapur) lantas ikut keluar, menembus kegelapan hutan yg sudah memanggil sedari tadi.
Baru saja keluar, Sri bisa merasakan hembusan angin dingin yg langsung menusuk tulang, berbekal lampu petromax di tangan, Sri berlari entah kemana, mengikuti jalan setapak, berharap, ia masih bisa mengejar Dela yang bisa dimana saja, ia, tidak tahu, seluk beluk hutan ini.
Sejauh mata memandang, hanya bayangan pohon, dan kabut tebal, yg Sri seringkali temui, sisanya, hanya suara gemeresak kakinya menembus semak belukar yg terkadang menggores kulitnya.
Selain itu, hembusan nafas Sri lebih berat, karena ketakutan sudah menemaninya semenjak keluar.
Sudah tidak terhitung, berapa banyak ia melintasi pohon besar, mata Sri awas melihat sekeliling, sementara tangan dan kakinya meraba apapun yg bisa ia pegang hanya agar ia tidak terjerembab pada tanah yg tidak rata, namun, Sri masih belum menemukan tanda keberadaan Dela.
Bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami, mencari Dela di tengah kegelapan hutan seperti ini, berjalan dari satu tempat ke tempat lain rasanya mustahil, mustahil ia bisa menyisir keseluruhan hutan, sampai, Sri merasa ia tahu dimana keberadaan gadis itu, semoga itu benar
Sri bisa melihat tempat itu bahkan dari jauh.
Bayangan hitam besar, rimbun itu, seakan tidak kehilangan kengerianya sedikitpun, meski kaki Sri letih, menempuh jarak sejauh itu, ia mendekati pohon beringin itu, tempat dimana ia menemukan boneka itu.
Terdengar suara langkah kaki Sri yg menembus semak, kini, ia berdiri tepat di bawah pohon itu, melihat Dela yg seperti sudah menunggunya, ia hanya duduk, menggoyangkan kakinya, seakan tahu, Sri akan menemukanya.
Gerak tubuh Dela, membuat Sri tidak nyaman, terkadang, ia menggedek kepalanya, seakan tulang lehernya tidak dapat menyangga isi kepalanya.
“Wong tuwek iku, rupane gak goblok yo” (orang tua itu, rupanya tidak bodoh ya) kata Dela, “percuma, aku ra isok metu tekan alas iki”(percuma saja, ternyata, aku tetap tidak dapat keluar dari hutan ini)
Sri hanya diam, ia, juga bingung harus melakukan apa.
“wes cidek waktune, diluk engkas” (sudah dekat waktunya, sebentar lagi)
Kalimat terakhir Dela seperti memberi isyarat tentang sesuatu.
“Jek rong ngerti” (masih belum ngerti) “rambut sing di culi kancamu iku, mbok pikir opo” (rambut yg di lepas temanmu kamu pikir apa)
“Rambut Dela” kata Sri menebak.
Sosok itu mengangguk, “teros”
Mata Sri terbelalak mendengarnya.
“Mbok pikir aku sengojo mbujuk awakmu to” (kamu pikir saya sengaja menipumu kan) jek rong ngerti pisan (masih belum mengerti juga)
“Erna” kata Sri,
Seketika itu, Dela tertawa, ia tidak pernah melihat suara tertawa semengerikan itu
Sri kmbali ke rumah tanpa Dela, langkah kakinya berat memikirkan kemungkinan yangg Sri pikirkan dari tadi, dan saat ia masuk ke rumah, ia bisa melihat genangan darah
Sri mengikuti jejak darah itu, yg berakhir di kamar mereka, disana, ia melihat Dini, menutupi wajah Erna dengan kain
“Erna mati Sri, muntah getih” (Erna meninggal Sri, dia muntah darah)
Sri bisa melihat wajah Erna, hidung dan bibirnya, bersimbah darah, sama seperti patung yg Erna banting, dimana di bagian kepala si patung. hancur, sekarang ia tahu penyebab sebenarnya santet ini.
Sri akhirnya menjelaskan semua kepada Dini, apa yg terjadi kepada Erna, apa yg terjadi kepada Dela, apa yg di sembunyikan orang tua itu, apa yg tidak dikatakan tentang pekerjaan ini.
Semuanya, berujung pada pemindahan santet saja, karena mereka yg memiliki garis weton sama
Sri mengambil boneka itu, menunjukkanya kepada Dini.
“Boneka iki, media kanggo nyantet Dela, dibulet rambute Dela ket awal, sopo sing wani mbukak rambut iki, kudu siap konsekuensi nompo santet’e Dela, masalahe, nek wong biasa seng bukak, mek nekakno nyowo dados”(Boneka ini, media untuk mencelakai Dela, di ikat rambut Dela sejak awal, siapa yg berani membukanya harus siap menerima konsekuensi santetnya si Dela, masalahnya, bila orang biasa yg melakukanya hanya mendatangkan kematian belaka)
“Bedo maneh nek sing mbukak wetone podo karo Dela, yo iku kene, sisok mateni kene, isok ngeringano santet e Dela, aku yakin, boneka iki, gak mek siji, isok onok telu sampe sepuluh, aku gak eroh Din, tapi Erna wes dadi korban sawijine, kari awakmu karo aku”
(Beda lagi bila yg membuka boneka ini satu garis weton dengan Dela, ya itu kita, bisa membunuh, bisa meringankan beban untuk Dela, aku yakin, bonekanya gak hanya satu, bisa tiga sampai sepuluh, aku tidak tahu. tapi, Erna sudah menjadi korban salah satu bonekanya, tinggal kita)
“Goblok’ku, aku ra ngerti Erna bakal mbanting bonekane, boneka sing wes dadi ganti sukmane dee, nek bonekane rusak, sing mbukak ikatan kui, nompo akibat perbuatane”(bodohnya aku, aku tidak mengerti kalau akhirnya Erna malah membanting bonekanya, yg sudah jadi pengganti penerimaan Santet itu, jadi bila boneka itu ikut rusak, dia juga akan menuntut balas akibat perbuatanya)
Dini yg mendengar itu, hanya diam, wajahnya kebingungan.
Malam itu, mereka lalui dengan akhir yg tragis itu.
Keesokan harinya, mobil Sugik datang, Sri dan Dini sudah menunggu mereka, mbah Tamin yg pertama keluar, di ikuti Sugik si sopir, ia menggendong Dela di punggungnya, dan tampaknya, mbah Tamin dan Sugik sudah tahu semuanya.
Yanh tidak di ketahui mereka adalah, Erna meninggal.
Melihat hal itu, wajah mbah Tamin merah padam, ia tidak berbicara banyak, hanya mengatakan, mereka harus membawa Erna pulang, kematian Erna di luar perkiraan mbah Tamin.
Namun, ketika Sri ingin bertanya lebih jauh tentang ini,
mbah Tamin menatapnya dingin. “tutupen ae lambemu, bayi ra eroh opo-opo ae, gegabah temen” (tutup saja mulutmu, dasar bayi, tidak tahu apa-apa, seenaknya sendiri ambil resiko)
Itu adalah kali terakhir Sri keluar dari hutan itu.
Tidak ada percakapan apapun selama di mobil, mereka menuju kediamanya mbah Krasa.
Sri dan Dini duduk di luar rumah, di dalam, ia bisa melihat mbah Krasa tampak berbicara serius dengan mbah Tamin, entah apa yg mereka bicarakan, namun Sri tidak tahu lagi harus apa, ia hanya ingin pamit saja, namun, siapkah dia dengan konsekuensi bila ia memilih pamit.
Seperti halnya dirinya, Dini pun sama, bila pekerjaan dengan gaji besar itu memiliki resiko di luar nalar seperti ini, tidak akan ada orang waras yg mau menerimanya.
Setelah menunggu lama, Sri dan Dini di panggil untuk menghadap mbah Krasa.
Sri dan Dini melangkah masuk, ia di persilahkan duduk, memandang wanita yg selalu saja membuat Sri merasa segan setiap melihat matanya.
“Aku melok sedih ambek nasih kancamu ndok” (saya ikut sedih mendengar nasib temanmu) “tapi, aku wes jamin keluargane, bakal oleh kewajibane, sing pantes diterimo” (tapi, saya sudah menjamin keluarganya akan dapat semua kewajiban yg memang pantasi dia dapatkan)
“Sak iki, opo sing kepingin mok omongno nang ngarepku” (sekarang, katakan, apa yg ingin kamu bicarakan sama saya)
“Kulo bade mundur mbah” (saya mau mundur)
Mbah Krasa memandang Sri, cukup lama, ada jeda keheningan diantara mereka.
Suasana itu sama sekali tidak mengenakan bagi Sri dan Dini, sebelum, mbah Krasa tersenyum.
“Boleh” (bisa) “tapi, aku ra jamin nyowomu yo ndok” (tapi aku tidak mau menjamin nyawamu ya)
Sri dan Dini melihat satu sama lain, mereka tidak mengatakan apapun lagi.
“sak iki yo opo, mundur?” tanya mbah Krasa, matanya mengintimidasi.
“Mboten mbah” kata Dini dan Sri bersamaan.
mbah Krasa mengangguk puas.
“Asline, raperlu onok korban, nak podo nurut ambek si mbah, mek butuh norot tok ndok, opo angel, ngerungokne wong tuwo” (aslinya tidak perlu ada korban, kalau kalian mengikuti apa yg si mbah katakan, cuma butuh nurut saja. apa susahnya dengerin orang tua)
Mbah Tamin, menatap Sri
Sri menyimpan sesuatu yg selama ini ia tahu, bahwa dalang di balik semua ini adalah si mbah Tamin sendiri, namun, Sri masih merasa ia tidak memiliki bukti apapun, mata mbah Tamin seperti mengawasinya, tidak memberinya ruang leluasa untuk bicara dengan mbah Krasa secara pribadi.
Namun entah, bagaimana sekelebat pikiran itu muncul, Sri lantas mengatakan apa yg ia temukan di kamar mbah Tamin, bahkan, Sri menunjukkan boneka yg ia temukan di bawah pohon beringin, sebuah pesan dari cucunya Dela Atmojo.
Mendengar itu, mbah Krasa mengerutkan kening. ia, diam
Mbah Krasa memandang mbah Tamin yg sedari diam sembari berdiri, lalu, ia tertawa, cukup membuat Dini dan Sri tersentak, seakan ucapan Sri hanya omong kosong.
Lalu, mbah Krasa mengatakanya. “koen rung cerito ta nang cah-cah iki, opo sing asline kedaden?” (kamu belum cerita, ke anak-anak ini apa yg sebenarnya terjadi?) ucap mbah Krasa tenang,
“kemeroh” (sok tau) kata mbah Tamin, beliau, mengambil sesuatu di sakunya, boneka yg sama, termasuk foto keluarga Atmojo, Sri terlihat bingung. apa yg terjadi sebenarnya.
“Tak ceritakno kabeh sak iki, rungokno, nanging, nek aku wes cerito, opo sing bakal kedaden nang koen-koen iki, ra isok di cabut, awakmu, kudu nurut yo”(saya ceritakan semuanya, dengarkan, tapi, bila aku sudah cerita, apa yg akan terjadi sama kalian, tidak akan bisa di cabut, lantas, kalian harus nurut ya)
“nurut sampe Dela isok selamet, utowo, nyowo koen koen, ra bakal selamet podo karo Dela” (nurut sampai Dela bisa selamat, atau, nyawa kalian-kalian tidak akan selamat, sama seperti Dela)
Sri dan Dini, masih diam, mendengarkan.
“Santet Sewu dino iku jenenge, santet gur mateni sak garis keluarga nganggo mateni sukmone tekan anak Ragil, keluarga Atmojo, wes nduwe musuh nang ndi nang ndi, dadi asal muasal kabeh iki, tekan lengahe aku, ngawasi keluarga iki, Dela, gak tak songko bakal dadi target santet iki”(santet seribu hari itu namanya, santet yg bisa membunuh garis keluarga besar melalui sukma anak terakhir/ keturunan terakhir, keluarga Atmojo sebenarnya sudah memiliki musuh dimana-mana, jadi, asal mula semuanya bersal dari sini, saya sudah lengah mengawasi keluarga ini, saya tidak pernah menduga sebelumnya bila Dela akan menjadi korban Santet model seperti ini, dikarenakan, Santet ini adalah santet untuk para pendosa yang juga akan menghabisi keluarga yang mengirim santet ini)
suara mbah Tamin terdengar keras, menahan dendam kesumat atas insiden ini.
“Media kanggo santet iki, macem2, salah sijine, gawe boneka sing di isi rambut sing kepingin di entekno keluargane, nasib’e Dela, sak iki, di tentuno nang ndi boneka iki sak iki”
(media yg di gunakan santet ini bermacam2, salah satunya, melalui boneka yg diisi rambut keluarga yg ingin di habisi, nasib Dela sekarang, ada di boneka ini sekarang)
“masalahe, aku ra isok nggolek nang ndi kae boneka iku di tandor”(masalahnya, saya tidak tahu, dimana saja boneka itu di tanam)
“lan onok piro, aku gak eroh”
(dan ada berapa saya tidak tahu)
“Boneka sing mok temoni, iku salah sijine boneka sing tau tak temokno nang omah iki” “aku sengojo nandor nang kunu, ben engkok, nek waktune, isok di gawe ngeringano beban lorohe Dela”(boneka yg kamu temukan, adalah salah satu dari boneka yg saya temukan di rumah ini) (saya sengaja, menanam boneka itu disana, biar nanti, saat waktunya tepat, bisa di gunakan untuk meringankan beban sakit Dela)
“Iling, ben bengi aku wes ngilingno awakmu, ojok mbukak lawang tapi awakmu jek nambeng” (ingat waktu saya mengingatkan kamu jangan membuka pintu, tapi kamu tidak mendengarkan)
“Asline, keluarga sing ngirim santet iki, jek goleki Dela, soale, sak durunge Banarogo ketemu Sengarturih, Dela gak bakal isok mati”
(sebenarnya, keluarga yg mengirim santet ini, masih mencari dimana keberadaan Dela, itulah alasan kenapa saya menyembunyikanya disana, karena tempat itu, terlalu ramai untuk mencari keberadaan Dela. karena, Dela tidak akan bisa meninggal bila sang Banarogo, belum bertemu dengan Sengarturih, Dela belum bisa mati, secara otomatis, santet ini belum akan menghabisi keluarga Atmojo)
“Sinten sengarturih niku?” (siapa sengarturih itu?)
“sing sak iki, tangi, nek Dela gak di cancang tali ireng iku”(yang sekarang bisa bangun sewaktu-waktu, bila Dela tidak di ikat tali hitam itu)
“jadi?” tanya Sri.
“kari ngenteni waktu, kanggo tekane Banarogo, nggoleki bojone Sengarturih sing onok nang awake Dela”
(tinggal menunggu waktu, datangnya Banarogo buat mencari isterinya Sengarturih yg ada di tubuh Dela saat ini, bila dia sudah menemukanya, keluarga Atmojo, sudah tamat!!)
Bagi Sri, apa yang baru saja di ucapkan oleh mbah Tamin persis seperti dongeng untuk anak kecil yg serba ingin tahu sebuah kenyataan dari dunia yang tidak dapat ia lihat, rasa seperti kenapa ada hal-hal yang tidak masuk akal seperti ini, namun, presepsi itu harus ia pertimbangkan lagi.
Terutama, saat Sri melihat wajah Dini, ia menampilkan ekspresi ketakutan yg tidak pernah ia saksikan sebelumnya, ibu dari 2 anak.
Satu-satunya yg Sri tuakan, meski usia mereka hanya terpaut 2 tahun, Dini memilih menikah muda, hal itu, yg membawanya ke tempat ini.
Ke tempat dimana, ia, harus meninggalkan 2 anaknya, membantu sang suami guna menutup kebutuhan dari buah kecil cinta mereka, Dini, lebih memilih diam, sembari menutup luka di daun telinganya yg harus ia relakan, di bibir Dela, atau mungkin, Senggarturih.
Setelah penjelasan mbah Tamin yg dirasa Sri bahwa ada beberapa kecil bagian yg seakan tidak di ceritakan, membuat Sri merasa, orang tua ini, memiliki tujuan tersendiri, tidak dapat ditebak, tidak dapat diterka, namun, sorot matanya, seakan memberitahu, ada rahasia yg ia tutupi.
“Wes mari to ndok penjelasane, nek wes dirasa mari, ibuk pamit, engkok, ben Sugik sing ngeterno awakmu karo, nang Dela” (sudah selesaikan penjelasanya nak, kalau sudah, ibu mau pamit, nanti, biar Sugik yg mengantar kamu, ke tempat dimana Dela berada)
mbah Krasa pergi,
Mbah Tamin pun ikut undur diri, ia mengatakan bahwa setelah ini, apa yg mereka alami di rumah gubuk alas itu, masih belum ada apa-apanya, dengan apa yg akan mereka saksikan dengan mata kepala sendiri, ada kilatan mata dengan sudut bibir melengkung, mbah Tamin, punya rencana lain.
Sugik belum kembali, kabarnya, ia akan menjemput sore hari, Sri masih belum tahu dimana Dela sekarang berada, yg jelas, Alas itu bukan tempat dimana Dela di sembunyikan lagi, entah tempat seperti apalagi, Sri merasa, ia sedang di persiapkan untuk sesuatu, sesuatu yg lebih besar.
Ketika Sri sedang mempersiapkan perbekalan yg akan ia bawa, Sri melihat Dini berdiri di luar pintu kamar, tempat ia beristirahat sebentar sebelum perjalanan berikutnya, entah apa yg dilakukan Dini, membuat Sri akhirnya mendekatinya, mempertanyakan apakah ada yg ingin ia sampaikan
Wajah Dini’pun tidak tertebak sama sekali, namun, setelah dirasa ia cukup menahan diri, Dini berujar dengan suara gemetar.
“Siji takan kene, sing bakal urip sampe iki mari, Sri, sepurane nak aku bakal ngelakoni opo ae ben isok tetap urip”(satu dari kita yg akan tetap bertahan hidup sampai semua ini selesai, saya minta maaf, saya akan melakukan apapun untuk tetap bertahan hidup)
Ucapan Dini, membuat Sri kebingungan, apa yg ia ucapkan, darimana ia dengar, setelah Sri mempertanyakan itu, Dini menunjuk telinga cacat, ia berujar dengan nada yg lebih percaya diri.
“sak durunge kupingku pedot, Dela mbisiki aku, siji sing bakal selamet kanggo Kembang klitih”(sebelum telingaku putus, Dela membisikkan sesuatu kepadaku, satu dari kita yg akan selamat untuk berbagi sari bunga dari sisa Santet ini)
Sebuah mobil hitam yang Sri kenal baru saja masuk ke kediaman Atomojo, Sugik melangkah keluar, Sri dan Dini pun melangkah masuk, setelah berpamitan dengan mbah Krasa, Sugik pun mengantar Sri dan Dini, menuju tempat dimana Dela sekarang berada.
“Aku melok berduka ambik kancamu Sri, mbak Din” (aku ikut berduka ya Sri, mbak Din) kata Sugik, ia tidak henti-hentinya memandang Sri dan Dini, yg sejak pertama mereka masuk, tidak ada interaksi diantara mereka, seakan memilih untuk diam bersama, hal itu, membuat canggung.
Benar dugaan Sri sebelumnya, jalan yg mereka tempuh bukan jalan menuju alas itu, melainkan jalan menuju ke luar kota, menuju sebuah desa, karena ketika mobil masuk ke sebuah gapura, suasana sepi dari kehidupan Desa ketika malam, langsung menyambut mereka.
Banyak rumah yg masih menggunakan gedek (bambu anyam) di samping kiri kanan, setiap jengkal rumah, saling berjauhan, dari dalam mobil, Sri hanya bisa mengamati, bahwa tempat ini, tidak berbeda jauh dari nuansa ketika mereka tinggal di hutan, masalahnya, Sri belum melihat satu manusia pun disini, seakan ini adalah sebuah Desa mati.
Mobil masuk ke sebuah gang, dengan pemandangan yang sama, batu kerikil keras di sepanjang jalan, menambah kesan bahwa Desa ini pasti desa pinggiran, jauh darimana-mana, dan ketika mobil berhenti, saat itulah, Sri melihatnya.
Mbah Tamin tengah berdiri di sebuah rumah, menyerupai gaya bangunan pondok dengan atap melebar, rumah dengan kayu jati menjadi corak bahan utama, sekana memberitahu Sri ini adalah tempat yang ia janjikan.
Mbah Tamin berdiri, di teras rumah, disampingnya, ada Dela.
Hal yg membuat Sri dan Dini tidak bisa berhenti melihat hal itu, mereka seakan ngeri dengan pemandangan itu, Dela berdiri persis disamping mbah Tamin, senyumanya, menjadi pembuka dari sambutan yg tidak pernah Sri bayangkan.
Sugik melangkah keluar, membuka pintu mobil, Sri dan Dini, ikut keluar, meski dengan langkah ragu, mereka mendekati mbah Tamin dan Dela, yg sejak tadi, menatap kedatangan mereka.
“Mbak Sri ya” kata Dela, suaranya layaknya seperti gadis muda lainya,
“Maturnuwun purun nerima kerjaan niki ngih mbak” (terimakasih sudah mau menerima pekerjaan ini)
Sri hanya menyambut tangan Dela, ia masih bisa melihat luka borok, dan perut buncitnya, tidak ada yg berubah dari penampilan fisiknya yg membuat siapapun tidak akan sanggup melihatnya
Setelah melihat Sri dengan tatapan sumringahnya, Dela beralih pada Dini, ia melakukan hal yg sama, Sri hanya bingung, ia tidak pernah melihat ini sebelumnya, apa yg membuat Dela yang ini, sangat berbeda dengan Dela yg selama ini, Sri dan Dini lihat.
Mbah Tamin, hanya mengamati saja.
Setelah berbasa-basi, mbah Tamin mempersilahkan Sri dan Dini masuk, didalam, Sri langsung bisa merasakan bahwa rumah ini, jauh berbeda dari rumah gubuk itu, rumah disini, berkali-kali lipat lebih besar, tentu dengan nuansa jawanya yg kental, meski begitu, Sri merasa ngeri memasukinya
Setiap ruangan di rumah, besarnya bukan maen, banyak lukisan dengan corak kental adat budaya jawa yg bisa Sri saksikan langsung, namun, dari semua itu, ada satu lukisan yg menarik perhatian Sri, sebuah lukisan yg familiar.
Sri menatap lekat-lekat foto itu.
Seorang wanita tengah berpose dengan sanggul, mengenakan kebaya, menatap lurus, ia tengah memegang jabang bayik.
Yang membuat Sri tidak bisa mengalihkan perhatianya adalah, jabang bayik di lukisan itu, memiliki 2 kepala.
“Sri, kamarmu nang mburi, ayok tak terna” (Sri kamarmu ada di belakang, sini, aku antar) kata mbah Tamin
Sri baru menyadari, Dini tidak ada di belakangnya, entah kemana, ia mengikuti mbah Tamin, menelusuri setapak demi setapak dan melihat banyak ruangan tanpa pintu.
Kamar Sri hanya ruangan kecil, dengan beberapa perabot tua, ia tidak lagi sekamar dengan Dini, hanya ada jendela yg di tutup oleh Gorden, disana, mbah Tamin mengatakanya.
“Nek wes jam 12, lawang kamarmu ojok lali di tutup, ojok sampe mok bukak yo, pesenku iku tok”(Kalau sudah jam 12, pintu kamarmu jangan di buka, jangan sampai kamu membukanya, ingat pesanku ini) tegas mbah Tamin, lalu ia pergi.
Sri membuka gorden di jendelanya, ia bisa merasakan, bahwa keberadaanya disini, tidak ada bedanya dengan keberadaanya di alas itu, entah kenapa, tempat ini sama saja, seperti memintanya menguak apa yg ada disini.
Sebelum, ia melihat Dela, barusaja melewati kamarnya, menatapnya
Lalu menghilang, dengan senyuman yg memancing keingintahuan.
Sri sudah mengunci pintu kamar dan jendelanya, kini, ia berbaring di atas kasur tua, yg setiap ia bergerak mengeluarkan suara tidak mengenakan.
Hanya dengan menatap cahaya lilin di meja, Sri merasa ia aman, selebihnya, ia terjaga, tidak bisa tidur dengan pertanyaan dipikiranya
Waktu terasa begitu lambat, setiap ketukan detik yg Sri bayangkan terasa mengambang dalam sepi di kamar itu, lalu, terdengar suara lirih,
Suara yg membuat Sri merasa tidak sendiri lagi, suara itu, terdengar dari luar kamar.
“Mbaaak Sriii, mbaaak, iki aku Dela”
mendengar itu, Sri langsung tercekat, entah apa itu, suara itu seakan mengancamnya
“Mbak sampun tilem, niki aku Dela mbak, di bukak lawange mbak” (Mbaknya sudah tidur, ini aku Dela mbak, di buka dulu pntunya mbak)
Sri masih diam, ia mencoba menahan diri, suara itu, menganggunya
“Mbak Srii, aku loh eroh nek sampean jek melek, di bukak dilek nggih mbak, engkok, tak keki’i panuturan” (Mbak Sri, saya tau kamu masih terjaga, dibuka dulu pintunya, nanti, saya kasih tahu rahasia)
Kaki Sri, mulai melangkah turun, ia bernjak dari tempatnya, namun, ia masih ragu
Sri belum menjawab, ia masih diam, membiarkanya ditelan sunyi, di obrak-abrik sepi, sampai, keheningan itu menguasai.
Senyap. suasana saat itu sangat senyap, namun, perasaan itu, seakan menekan Sri dalam kegilaan dan rasa penasaran yg saling melahap satu sama lain. Sri gila.
Benar saja, keheningan itu membuat sebagian pikiran Sri tertekan, hingga, Sri merasa, bahwa Dela telah pergi.
Sri mencoba untuk menenangkan diri, ia terduduk dengan kaki yg sudah lemas, namun, tiba-tiba.
“BRAKK!!” pintu kamar Sri, di hantam oleh sesuatu yg sangat keras,
setelah gebrakan itu, suara tertawa yg pernah Sri dengar itu muncul.
“Cah GOBLOK, nyowomu iku sampe sepiro seh, tak kandani, jumat kliwon, pikirno iku yo ndok, PIKIRNO OMONGANKU!!”(Anak Bodoh, nyawamu itu sampe mana sih, tak kasih tahu, jumat kliwon, pikirkan itu, PIKIRKAN!!)
Sri hanya meringkuk, ia tidak mau menjawab siapapun itu, lalu, “Sri, nek kate tilem, liline di pateni yo” (Sri, kalau sudah mau tidur, lilinya, dimatikan dulu ya)
Saat itu juga, lilin itu mati dengan sendirinya. kegelapan itu, menenggelamkan Sri dalam tangisan ketakutan tergila.
“Dela yo marani awakmu mambengi” (Dela juga datangin kamu semalam) tanya Dini, ia tengah sibuk membasuh baju disumur belakang, Sri yg baru tiba, hanya mengangguk, lalu duduk di sampingnya
“Nek wes bengi, Dela kumat, jare mbah, ngunu”(kalau malam tiba, Dela kumat kata si mbah)
“Si mbah sing ndudui awakmu” (si mbah yg kasih tau kamu)
“iyo” “awakmu gak didudui ngunu” (Emangnya kamu gak dikasih tau)
Sri tidak menjawab pertanyaan itu, ia hanya melihat air mengalir, yang ada di hadapannya. “Jumat kliwon” kata Sri tiba-tiba, Dini mengangguk
Rupanya, ia tahu
Siang itu, si mbah memanggil Sri dan Dini, mereka melihat Dela yg tengah duduk sendirian, ia seperti sibuk dengan dunianya sendiri.
“Dela lahir nang kene, mangkane, gak tak perlakokno koyo nang alas kui, nang kene, wes tak pasang payung penduso nang ben sudut omah”(Dela lahir diisni, makanya, saya tidak perlakukan dia seperti saat tinggal di hutan, setiap sudut rumah ini sudah saya pasang payung untuk orang meninggal, jadi, jangan khawatir”)
Mbah Tamin, menyesap rokok, menghembuskanya perlahan, “masalahe sak iki nang kene”(masalahnya, sekarang disini)
“Mene, kamis legi, aku arep jalok tolong nang awakmu, Dini, tolong, golekono, nang ndi Pepetane disingitno, isok”(besok, kamis manis, saya mau minta tolong, bisa kamu caritahu dimana jimat itu disimpan)
“Jimat sing kanggo nyantet Dela”
Benar. di malam itu, Sri dan Dini, masuk ke kamar si mbah, disana ia bisa melihat banyak tergantung kepala kerbau yg dipasang di tembok, selain itu, kamar mbah Tamin banyak dihiasi kain merah, bau kemenyan tercium sampai menusuk hidung. mbah Tamin, kemudian melangkah masuk.
Ia menyuruh Dini duduk didepanya, membiarkan Sri berada di samping Dini, “awakmu bakal ndelok kebon tebu, golekono wong sing mok temoni nang kunu, tutno, nang ndi wong iku engkok longgoh”(Nanti, kamu akan melihat kebun tebu, disana ada orang, cari dan ikuti dia, sampai ia duduk disebuah tempat)
Mbah Tamin kemudian meminta Dini meminum air degan hijau, memijat-mijat kepalanya, sambil mengusap asap kemenyan, ia lalu menghantam kepala Dini dengan telapak tangan,
“Sri, tolong jogo dini, mbah kate metu” (Sri tolong jaga Dini, si mbah, mau keluar dulu)
Mbah Tamin pergi, sementara Dini, tersungkur pingsan, di dahinya, ia terus berkeringat, berkali-kali, ia tampak seperti orang yg meracau, mengatakan sesuatu seperti “peteng” (gelap)
Namun, Sri telaten, membersihkan keringat Dini, ia juga membantu Dini agar bisa tidur dengan posisi yg benar. ia terus menjaga Dini sepanjang malam, si mbah, tidak juga kembali, semakin malam, Dini semakin kacau, ia menjerit, seperti tengah berlari, nafasnya terengah-engah.
Yang membuat Sri tersentak ketika Dini mengatakan “Pak’ e ndelok, pak ‘e ndelok!! aku dikejar, aku dikejar!!” (bapaknya melihat saya, bapaknya sudah melihat, saya dikejar, saya dikejar)
Badan Dini, tiba-tiba panas, panas sekali. Sri mulai khawatir, namun ia bingung, harus apa
Tidak beberapa lama, mbah Tamin kembali, ia hanya menepuk bahu Dini, dan ia langsung bangun, wajahnya tampak kaget, seperti ingin mengatakan sesuatu, namun ia urungkan saat melihat mbah Tamin melotot, seakan menahan bahwa ia tidak boleh mengatakanya disini.
Mbah Tamin dan Dini keluar, Sri tidak mengerti, kenapa si mbah seakan menghindarinya.
Setelah menunggu, si mbah memanggil Sri, menyuruhnya agar kembali ke kamar, perjalanan ke kamar Sri, melewati sebuah kamar tanpa pintu, disana, ada Dela melihatnya, ia hanya tersenyum menatap Sri
Hal terakhir yang Sri ingat saat melihat Dela adalah, ia seakan memberitahu, bahwa akhir dari semuanya, adalah rumah ini.
Rumah, yang akan Sri ingat sampai akhir nanti.
Sri menutup pintu, menguncinya, ia terlalu lelah malam ini. apa yang ia lihat, ingin ia lupakan dalam tidurnya.
Saat Sri memejamkan mata.
Seseorang membelai rambutnya. memakasanya untuk melihat siapa yg tengah menganggu tidurnya.
“Dela” kata Sri saat melihatnya.
“kok isok” (bagaimana bisa)
“aku, ket mau nang jeroh kamarmu loh Sri, nang nisor bayangmu, wong tuwek iku, gak goleki aku kan”(Aku dari tadi sebenarnya ada di dalam kamarmu loh Sri, tepatnya di bawah ranjangmu, apa orang tua itu masih mencari saya)
“Aku jalok tolong, sak iki, nyowomu nang tangane wong tuwek iku, nek awakmu nuruti aku, awakmu isok selamet, lan tak duduhi perkara masalahe, awakmu percoyo ambek aku ndok”(aku minta tolong, sekarang, nyawamu ada di tangan si mbah, kalau kamu menuruti apa kata saya kamu akan selamat, dan tak kasih tahu sumber masalahnya, kamu percaya sama saya kan)
“Tolong opo” tanya Sri ragu. ia masih ingat bagaimana ia melakukan kesalahan fatal itu.
“Obongen payung pendusan iku gawe aku” (bakar payung orang meninggal itu, untuk saya)
Dela melangkah pergi, ia memberikan tatapan terakhir kepada Sri, seakan yakin, Sri akan melakukannya
Malam, semakin larut, Sri melihat sebuah mobil datang, Sugik. ucap Sri mengawasi dari jendela, mbah Tamin dan Dini, melangkah masuk ke dalam mobil, mereka pergi dari kediaman ini
Sri hanya membatin, kemana mereka pergi, dan kenapa ia tidak diajak pergi, semua ini tiba-tiba mengingatkannya pada pesan Dela, nyawanya ada di tangan, si mbah.
Meski ragu, Sri membuka pintu, ia melihat Dela, tersenyum, berdiri didepan kamar, seakan, sudah menungguinya.
Sri dan Dela menyusuri rumah, ia pergi ke dapur, mencari korek dan minyak tanah, kemudian, mulai berjalan ditengah kegelapan malam
Bulan sedang tidak menampakkan diri, Sri berdiri, disudut sebuah pagar, disana, ada sebuah payung kecil berwarna hijau, “payung penduso” ucap Sri
“Bakar kabeh payung iki, onok pitu payung nang lemah iki, percoyo ambek aku” (bakar semua payung ini, ada 7 payung diatas tanah ini, percaya sama saya)
Sri menyiram payung itu, membakarnya, setiap kobaran api yang menyala-nyala, Dela tertawa melihatnya, ia seperti menari-nari
Sri seperti ikut dalam setiap bisikan Dela ketika ia menunjuk dimana saja, payung itu disembunyikan, dan setiap satu payung terbakar, Dela menari-nari, merentangkan tangan, tertawa begitu senang, sampai, Sri menatap, payung terakhir
payung itu, terletak tepat didepan lukisan itu
Sri berhenti, ia melihat lagi lukisan itu, memperhatikan setiap detail siapa yang dilukis dalam balutan palet warna yg seakan familiar di mata Sri, apa maksud lukisan itu, seakan ia, mengenal siapa yang ada dalam lukisan
Sampai, Sri baru memahami sesuatu, namun Dela tiba2 berbisik
“kok ragu Sri”
Dela melihat Sri, mengawasinya, dari ujung kaki hingga ujung kepala, tatapannya, membuat Sri merinding, ia masih tersenyum, memaksa Sri melakukannya
“Wes sadar yo, sopo aku” (sudah sadar ya, siapa saya)
Sri beringsut mundur, namun, Dela terus mendekatinya
Sri langsung berlari, sementara Dela hanya melihatnya begitu saja, ia tidak tahu apa-apa, tidak sampai ia yakin sekarang, ia mengerti semuanya
Kenapa ia bisa sampai ada disini, siapa Sengarturih dan Banarogo yg sebenarnya, dan tempat ini, semua ini adalah?!
Sri tersandung, jatuh
Sri merangkak, lantas, ia kemudian bersembunyi
Dela barusaja datang, suara langkah kakinya, bayangannya ketika melewatinya, seakan membuat Sri hampir kehilangan akalnya, Sri terus diam, Dela tidak akan tahu dimana ia berada
sebelum, “SRI”
Dela menarik rambut Sri, mencengkramnya
Sri melawan sebisanya, namun, ia tidak bisa menghadapi bala kekuatan yg entah darimana datangnya, Dela seperti orang kesurupan, caranya menghantam wajah Sri dengan telapak tanganya, membuat wajah Sri babak belur, bahkan, ia menginjak wajah Sri dengan kakinya
Dela terus berteriak meminta Sri menyelesaikan tugasnya, ia harus menyelesaikannya, tidak boleh tidak, disini, Sri menyadari sesuatu, lagi
Sewu dino sudah semakin dekat,
Artinya, tidak ada kesempatan lagi untuk membuang-buang waktu,
Sampai, terdengar suara mobil datang, Dela dan Sri terdiam, manakala, ada seseorang datang mendekat
Langkahnya pelan, ia menyusuri ruangan, kemudian, menampakkan dirinya didepan Sri dan Dela
mbah Krasa melihat Sri, tatapannya kecewa, lalu, ia mendelik melihat Dela, yang entah bagaimana, langsung duduk bersimpuh di depan mbah Krasa,
Ia, membelai rambut Dela, seakan dia adalah binatang peliharaannya,
“Wes ngerti yo nduk awakmu” (rupannya kamu sudah mengerti ya)
“Terno Sri nang kamare” (antarkan Sri ke kamarnya) kata mbah Krasa, orang yg berdiri dibelakangnya, membawa ikut Sri.
Ia hanya bisa melihat, mbah Krasa yg masih menatapnya, Dela, hanya melirik Sri dengan tatapan penuh ancaman, seakan ia, belum selesai dengan semuanya.
Seseorang mengetuk pintu kamar, lalu membukanya, Sri melihat wanita tua anggun itu, tidak ada segan lagi untuknya, Sri justru merasa kesal setiap melihat tatapan matanya yg terbungkus kaca mata tebal menggerikan itu,
“Sri, bantu mbah nggih” (Sri, tolong, bantu saya)
“Jumat kliwon, guk lahir e Dela ta mbah, tapi weton lahire sing nyantet putune njenengan, opo aku salah mbah”(Jumat kliwon, bukanlah hari lahir Dela, tetapi hari lahir dari orang yg menyantet cucu Anda, apa saya salah mbah)
Mbah Krasa mengangguk, ia mengakuinya
“Njenengan pingin tiange sedo, ngelalon kulo ambek Dini” (Anda ingin mengakhiri nyawa dia melalui saya dan Dini)
Mbah Krasa mengangguk lagi,
Sri tidak tahu harus bilang apalagi, namun kemudian, sebelum tangisanya meledak, mbah Krasa membisikkan sesuatu,
“Tolong” lalu pergi
pagi itu, mbah Tamin dan Dini sudah kembali.
Seseorang memanggil Sri dari dalam kamar, ia melihat mbah Krasa duduk bersama Dela, ditengah meja, Sri melihat kotak itu, lagi
Lantas, Dini mulai membukanya, dari dalam, Dini mengeluarkannya, “Pasak jagor”
Semua orang menatap Sri
Pasak Jagor, boneka yanh Sri lihat, nyaris sama persis, jadi, mbah Tamin dan Dini, semalaman mencari benda ini, di badan boneka, ada lilitan rambut kusut yang sama persis seperti Sri lihat, mengingatkannya pada Erna.
“Engkok bengi, kabeh mari nang kene”
(nanti malam, kita akhiri disini)
Dela mendekati Sri, ia menatap Sri seakan ingin tahu, tatapanya lebih lembut, ia berucap dengan suara lirih
“Matur nuwun nggih mbak, gak bakal tak lalino jasane sampeyan” (terimakasih ya kak, saya gak akan pernah lupa jasa kamu)
Sri hanya mengangguk, ia sudah tidak perduli
Setelah memotong rambut Sri dan Dini, mbah Tamin, mengikat rambut itu pada boneka, di belakang rumah, ia sudah memutari 3 lubang galian itu, tempat Dela, Sri dan Dini terduduk didalamnya
Mbah Tamin, duduk, menyirami boneka itu dengan air, sementara bau kemenyan semakin menyengat
Tangan dan kaki mereka diikat dengan ranting muda daun kelor, sehingga ketiga-tiganya, tidak ada yg bisa bergerak, hanya pasrah di dalam setiap lubang yg sudah di gali untuk mereka semuanya,
Mbah Tamin, perlahan, mencabut satu persatu rambut itu.
Terdengar sebuah suara yg tidak asing, sebuah kerbau meraung, Sri yg sudah terjebak dalam lubang, tidak tahu apa yang terjadi, karena setelah suara itu hilang, ia mendengar Dela dan Dini menjerit, lalu, hening..
Hening..
Sesuatu baru saja membasahi tubuh Sri, baunya amis, darah
Darah kental itu, membuat Sri merasa tidak nyaman, tanpa sadar, ketakutan sudah merasukinya, ia tersenggal, karena di dalam lubang itu, Sri kesulitan untuk bernafas,
Tiba-tiba, Dini berteriak lagi, kali ini, ia meronta dari suaranya, seperti ia tengah disiksa
Suara Dini, lalu, suara Dela, suara mereka saling bersahutan satu sama lain, Sri yg tidak bisa melihat apa yg terjadi, hanya bisa gemetar, menahan ketakutan yg semakin menguasainya, mbah Tamin, sedang membalas perbuatan si pengirim santet, lalu, Sri merasakan tubuhnya mati rasa
Rasanya, seperti terjebak dalam keadaan tidak sadar, seakan Sri tidak lagi bisa merasakan apapun, namun, rupanya, itu hanya awalnya saja, sebelum, rasa sakit seakan merobek-robek daging di tubuhnya
Sri berkelakar, itu adalah rasa sakit terhebat yang pernah ia rasakan
suara Sri menggelegar, mereka sama-sama berteriak, namun, ada suara lain yang ia dengar, suara seorang lelaki, ia tidak hanya berteriak, ia mencaci maki dengan suaranya yang gemetaran, suara asing yang tidak di ketahui darimana datangnya.
Suara si pengirim santet
Kesakitan itu benar-benar, membuat Sri tidak tahu seperti apa ia harus menggambarkannya, karena setelah sentakan itu, nyawanya seperti di tarik, saat itulah, Sri yakin melihatnya, Dela, selama ini, menggendong seorang wanita, ia memiliki perut buncit, hanya saja, sosok itu, tak berkaki.
Selama itu juga, Sri melihatnya lagi, selama Dela dikurung dalam keranda bambu kuning, sosok wanita itu, mendampinginya, menjilati borok dan luka biru Dela dengan lidah panjangnya yg selama ini Sri lihat seperti penyakit menjijikkan, dan sosok itu, melotot melihat Sri
Lalu, Sri melihatnya, sosok yg datang bertamu pada malam itu rupanya, adalah seorang lelaki, Sri tidak mengenal siapa lelaki itu, hanya saja, si lelaki mengacak-acak kamar si mbah, namun tampaknya ia tidak mendapatkan benda yang ia cari, lalu ia mengambil kain hitam itu, menukarnya.
ia hanya meninggalkan sebuah patek “peti mati” bertuliskan Atmojo, lalu pergi begitu saja
Lingkaran itu seperti berputar, Sri menyadarinya, kini, mereka terikat satu sama lain, Santet sewu dino, sebenarnya adalah Santet yang tersambung satu sama lain
Nyawa dibayar nyawa
Lelaki itu, ia memiliki sesuatu yg sama seperti Dela, kembar, hanya saja, ia senantiasa berjalan di belakangnya, kakinya panjang nyaris 2 kali tinggi si lelaki, ia terus menerus mengikutinya,
“Banarogo”
Sri terbangun, dengan kaki lumpuh, ia melihat mbah Tamin, menatapnya
Didepanya, Dela berdiri, meski berlumuran darah yg sama seperti Sri, Dela menatapnya, ia membungkuk berterimakasih, Dini, hanya duduk, matanya kosong, mereka semua sama, berbagi rasa sakit, namun tidak bagi si pengirim santet, mungkin ia, sudah tewas saat ini.
Mbah Krasa mendekati Sri, memberinya handuk untuk membersihkan badannya, iya ikut menuntun Sri, membasuhnya dengan air, lalu mengantarkanya ke kamar, ia butuh istirahat, sampai tubuhnya, pulih kembali
Sri hanya diam saja, ia terus mendengar mbah Krasa bahwa si pengirim pantas mendapatkanya, atas perbuatanya selama ini terhadap keluarganya,
Bahkan, mbah Krasa sudah berjanji, Sri akan mendapatkan sesuatu yang pantas, uang, bukan masalah baginya.
Setelah, mbah Krasa selesai memandikan Sri, ia mengantarkanya di kamar, untuk terakhir kalinya, mereka saling melihat satu sama lain, sebelum akhirnya, mbah Krasa bersiap untuk pamit pergi, namun Sri, mengatakanya
“Sing asline jahat, iku dee opo njenengan mbah”(yang sebenarnya jahat disini, dia apa Anda mbah?)
Ucapan itu, membuat mbah Krasa menghentikan langkahnya, tanganya yg tengah membuka pintu, kembali menutupnya, senyuman yg tadi terpancar di wajahnya, kini, kian pudar menatap wajah Sri yang penasaran
Mbah Krasa lantas kembali duduk, ia menatap wajah Sri, mereka saling menantang satu sama lain.
“Tau krungu gak Sri, pribahasa, gak eroh iku ngunu berkah tekan pangeran” (kamu pernah dengar, pribahasa, ketidaktahuan adalah berkah dari tuhan)
Sri yg mendengarnya, menegang
“Kuncoro, opo iku keluarga sing njenengan babat, sampe meniko wani gawe awake dewe nganggo mbales keluarga njenengan” (Kuncoro, apakah itu nama keluarga yg semuaya sudah anda habisi, dan untuk membalasnya, ia sampai rela menggadaikan nyawanya biar keluarga Anda menerima balasan)
mbah Krasa menatap Sri, ia tersenyum, sudut bibirnya seakan memuji dan memberi pujian betapa Sri pintar dalam menghubungkan semua ini, hanya dengan, mengikat batin, antara Sri dan Kuncoro, Sri langsung tahu semuanya.
“teros” (lalu?) kata mbah Krasa menunggu, kejutan lain..
“Sengarturih lan Banarogoh iku ngunu ingu-inguan njenengan, sing njenengan gawe mbabat nyowo keluarga Kuncoro, tapi, keturunane sing ragil, nyekel Banarogoh ben Sengarturih isok nyikso Dela, gantine, dee sing nerimo duso iki”(Sengarturih dan Banarogoh adalah peliharaan Anda, yang anda jadikan alat untuk menghabisi semua keluarga Kuncoro, tapi rupanya, keturunan terakhirnya, bisa menangkap Banarogoh, menggunakanya, agar Sengarturih bisa menyiksa Dela, sebagai gantinya, ia yg menerima semua dosanya)
Mbah Krasa tersenyum, lalu tertawa, ia terhibur dengan semua ucapan Sri, lantas, ia bertanya.
“Mati nang kene, opo nang omah ndok?”
(kamu mau mati disini, apa kalau sudah sampai di rumah)
Sri hanya diam, ia tidak mengatakan apapun lagi
“Koen bakal tetep urip kok nduk, mbah wes yakin, koen iku sing paling bedo ambek liyane, nyowomu gak onok regane gawe aku, nanging, ojok sampe onok sing eroh sak durunge mbah sedo, ngerti ndok”(kamu, akan tetap hidup, mbah sudah yakin, sedari awal, kamu yang paling berbeda dibandingkan yang lain, nyawamu tidak ada harganya bagiku, tapi, jangan ceritakan kepada siapapun, sebelum, saya meninggal, mengerti)
“Kabeh menungso iku ra isok di tebak yo nduk, jahat gak jahat, menungso nduwe dalapatur, sing gak isok rumongso mok gerabak sak enake, sak iki, awakmu, jek melok aku opo igak?”(semua manusia itu sama, tidak tertebak, berkata ia jahat atau tidak, tetap saja manusia punya tujuanya sendiri yang tidak akan bisa kamu jangkau seenaknya saja, sekarang, saya tanya, kamu, masih mau ikut saya atau tidak?) tanya mbah Krasa, ia menunggu jawaban
“Mboten, kulo pamit mantok mawon mbah”
(tidak, saya mau pamit pulang saja)
Mbah Krasa tampak mengerti, lantas, ia memanggil Sugik, membopong badan Sri yg masih lemas, membawanya menuju ke mobil, sekilas, ia melihat sorot mata mbah Tamin, ia tersenyum, seakan tahu apa yang terjadi
Sebelum masuk ke mobil, Dela menghentikanya, meminta agar Sri tetap bekerja disini, berapapun bayaranya, namun, Sri menolak, ia menatap mbah Krasa tajam, membuat ia mengatakanya
“wes ta lah, engkok golek maneh sing luwih pinter”(sudahlah, nanti cari lagi, yg lebih pintar)
Sri juga melihat Dini, ia hanya duduk memandangnya, seakan menegaskan bahwa ia akan bertahan disini, Sri tidak punya hak memintanya keluar, terlepas apakah ia juga tahu apa yang sebenarnya terjadi dibalik semua peristiwa ini.
Sugik, menutup pintu mobil, membiarkan Sri beristirahat.
Mobil perlahan meninggalkan kediaman Atmojo, Sugik terus membawa Sri menuju perjalanan pulang, namun, tiba-tiba, ia menghentikan mobil, disamping sebuah tebing.
Ia keluar dari mobil, mengeluarkan sebatang rokok, lalu menghisapnya, lantas ia bertanya pada Sri, yg kebingungan
“Sri, awakmu wes ngerti kan, sak iki, sopo iku Atmojo”(Sri, sekarang, kamu mengerti kan siapa keluarga Atmojo)
Sri mengangguk,
“Tapi opo awakmu yo ngerti sopo iku keluarga Kuncoro”
(tapi apa kamu mengerti siapa itu keluarga Kuncoro)
Sri terdiam memandang Sugik,
“aku ngerti”
“aku biyen kerjo nang keluarga Kuncoro, sak durunge, keluarga iku wani nentang Atmojo, aku eroh kabeh, yo opo, siji gal siji, keluarga iku mati, loro kabeh, sampe onok sing bunuh diri, tapi, sing gak di erohi ambek keluarga kuncoro iku”(dulu, aku bekerja di keluarga Kuncoro, sebelum keluarga itu berani menentang keluarga Atmojo, saya tahu semuanya, bagaimana keluarga itu di bantai satu persatu dengan penyakit yang aneh, sampai ada yang bunuh diri, tapi ada yang tidak di ketahui oleh keluarga Kuncoro”
Sugik diam,
“aku sing nandur Pasak jagor nang omahe keluarga Kuncoro, aku sing berkhianat nang keluarga iki, aku wedi Sri, sampe sak iki, nek iling iku, aku kudu nangis”(aku yang menanam Pasak Jagor di rumah keluarga Kuncoro, aku yg berkhianat pada keluarga ini, aku takut Sri)(bila ingat itu saya ingin menangis rasanya)
“mbah Tamin sing mekso, nek igak, anak bojoku bakal nerimo kirimane” (mbah Tamin yg memaksaku, bila tidak, anak isteriku yg akan menerima kiriman dari beliau)
Sri tidak habis pikir, sekarang, kepingan puzle itu selesai sudah.
Itu adalah kali terakhir Sri berhubungan dengan keluarga Atmojo, sudah sebulan lebih ia tidak mendapatkan kabar itu lagi, sampai, di suatu pagi, ia mendengar seseorang mengetuk pintu.
Bapak pergi keluar untuk memeriksa, namun, ia tidak kunjung kembali. Sri pun pergi memeriksanya
Ia mendapati bapak memegang sebuah kresek hitam besar, mata bapak melotot kaget, melihat isi kresek itu, ketika Sri merebutnya, ia langsung tahu apa itu.
Uang,
Uang yg memenuhi kantung kresek itu, baru saja di tinggalkan atau sengaja di tinggalkan di rumah ini..
Melihat itu, Sri lantas membawa uang itu, bapak coba menghentikan Sri namun, Sri keras kepala, ia membuangnya ke pembuangan sampah, mengatakan kepada bapak agar tidak mengambilnya lagi, bila tidak ingin, ia terjerat lagi dalam lingkaran keluarga Atmojo.
Sampai disini, gw akhiri saja cerita ini, 3 narasumber itu, sebenarnya memang salah satunya adalah Sri, namun, 2 narasumber lain adalah beberapa orang yg mengaku tahu, cara kerja ilmu hitam seperti ini, bahkan nama angon (peliharaan) itu juga gw ganti, karena konon,
sedikit sulit menggambarkan penggambaran sebenarnya dari angon (peliharaan) ini,
yang paling gw inget dari ucapan mbak Sri adalah,
“kabeh wong gede paling yo podo nduwe cekelan, gak usah kaget”(Semua orang besar di negeri ini, pastilah punya pegangan jadi tidak usah kaget)
“nek igak, yo gampang gawe matenine”(Kalau tidak, ya mudah buat cara matiin dia)
Saya pikir, cerita ini adalah cerita tergila yang awalnya saya dengar dari tukang pijit, sampai setelah mendengarnya langsung, saya langsung merasa bahwa cerita ini akan bagus bila saya angkat
saya tidak tahu harus ngomong apa sebagai penutup, karena kalau ingat ini, rasanya saya cuma miih diam saja, yang jelas, apa yang kamu lakukan di dunia kelak akan di pertanggungjawabkan, karma itu ada.
gw simpleman, pamit saja, terimakasih yang sudah meluangkan waktu membaca cerita ini, mohon maaf atas kentang dan typo selama pembuatan dalam pengetikan cerita ini, gw mau undur diri dulu, dan semoga, gw bisa kembali mendapat cerita pengalaman lain, yg tentu tidak kalah dari ini
Selamat tinggal.
Wassalam
Sumber : SimpleMan