Asmara 2 Dunia Episode 2



Lanjutan Thread Story Horror Story

Gambar cover asmara dua dunia



Malam itu, terasa begitu dingin, angin malam sudah mulai berhembus lebih awal dari biasanya.
Sosok seorang ibu yang begitu mencintai putranya itu tetap bertahan, meski suaminya sudah berkali-kali menyuruhnya masuk kedalam rumah.
“Wes lah buk, nteni njero bae. Ora ilok wes dalu kok izek ning ngarep omah.” (Sudahlah bu, tunggu didalam saja. Tak baik, sudah larut kok masih diluar rumah).


“Iyo pak, tapi perasaanku ora penak. Wes bengi, anakmu kae durung tekan ngomah. Ora eling wayah, opo ora ngemat nek iki malem jumat kliwon”
(Iya pak, tapi perasaanku tak tenang. Sudah selarut ini, anakmu belum sampai rumah. Lupa waktu, apa tak tau kalau ini malam jumat kliwon?)


Tiba-tiba bulu kuduk ibu itu berdiri, saat ia menyebut nama malam yang sering dikeramatkan itu.


Hawa dingin pun semakin kuat terasakan olehnya. Dan akhirnya ia memutuskan masuk kedalam rumah, menunggu bersama suaminya.


Sementara itu, Johan sedang berada dijalanan hendak mengantarkan gadis yang telah menjadi pacarnya itu pulang ke rumahnya.


Ia berusaha mengendarai motornya lebih cepat, khawatir kalau ia kehujanan dijalan.
Ia ingin segera sampai di rumah Nur, setidaknya sebelum hujan turun. Jadi, ia tak kehujanan disaat yang tak tepat.
Johan pun menyadari bahwa malam itu adalah malam jumat kliwon.


Ia tak ingin ada kejadian yang tak di inginkan seperti saat pertama kali ia mengantarkan Nur ke rumahnya.


Begitu motornya telah berhasil menyeberang jalan raya, dan masuk ke gang yang menuju rumah Nur, Johan sedikit merasa lega.


“Akhire wes meh tekan. Biso tenang wes saiki.”(Akhirnya sudah hampir sampai. Bisa tenang deh sekarang).


Hanya terdengar suara tawa Nur yang hampir mirip suara cekikikan, tapi lirih. Johan tak merasa aneh dengan hal itu, karena memang suara tawa Nur yang dikenalnya memang seperti itu.
Belum terlalu jauh ia masuk dalam gang, tiba tiba area sekitar menjadi gelap. Sepertinya, ada pemadaman listrik saat itu.
Seketika johan kaget dan menarik gas motornya secara tiba-tiba.
Nur hampir saja terjatuh kalau saja ia tak segera memeluk Johan.


“Ati-ati rha mas. Meh bae aku tibo”.
(Hati-hati dong mas. Hampir saja aku jatuh). Tegur Nur, sambil menabok pundak Johan.


Johan pun sedikit tertawa, lalu meminta maaf. Nur memberi tau Johan agar hati-hati, karena jalanan menuju rumahnya agak rusak. Johan pun menurunkan kecepatan


Dari arah yang berlawanan, johan melihat ada sepeda motor yang melintas. Lampu motornya cukup terang dan menyilaukan mata Johan saat hampir berpapasan.


Johan sedikit bisa melihat wajah pengendaranya saat berpapasan.


Saat Johan mencoba memberikan senyuman, wajah bapak-bapak itu bukan membalasnya malah seakan seperti ketakutan, dan langsung mempercepat laju motornya.


Johan pun keheranan dengan tingkah pengendara itu.


Akhirnya mereka berdua sampai di rumah Nur.


Setelah membuka kan pintu, Nur menyuruh Johan membawa motornya masuk ke halaman rumahnya.
Nur mencegahnya langsung pulang, dengan alasan, ada sesuatu yang ingin dibicarakan dengan Johan.


Johan pun menuruti permintaan Nur.


Ia memarkirkan motornya di depan tempat yang mirip seperti gazebo, di halaman rumah Nur. Kemudian sambil menunggu Nur yang sedang masuk kedalam rumahnya, Johan mendekat kearah gazebo itu.


Ia terduduk di atas sesuatu yang mirip amben / dipan kayu, sambil matanya sesekali melihat kearah jalan depan rumah Nur.


Sesekali ia lihat ada pengendara yang melintas, tapi dengan kecepatan yang tidak wajar. Johan berpikiran, mungkin karena listrik padam dan jalanan jadi gelap, orang-orang jadi takut dan terburu-buru.


Nur tak kunjung keluar, karena merasa agak bosan, Johan mencoba berkeliling halaman sekitar. Diamatinya, di halaman rumah Nur seperti banyak pohon-pohon kecil yang tumbuh.
Aromanya seperti tak asing bagi johan.


Ada aroma lembab yang sedikit tercium disekitar halaman rumah itu.
Dari arah pintu rumah, terlihat Nur berjalan mencarinya.
Johan pun segera kembali ke arah gazebo kecil itu yang segera disusul oleh Nur yang telah membawakan lilin yang sudah menyala.


“Ngopo toh mas, petengan kok malah mlaku-mlaku” (Ngapain sih mas, gelap-gelap kok malah mondar mandir).


“Ngenteni kowe kesuwen kok, timbang pak opo, yo mending tak nggo mlaku-mlaku ndelok plataran”(Nungguin kamu kelamaan kok, bingung mau apa, ya mending aku jalan-jalan)


Tak ingin terlalu mempermasalahkan hal itu, Nur pun meminta Johan untuk duduk disampingnya.
Dengan tenang, Nur pun mengatakan sesuatu.


“Mas. Jare kan kowe meh serius karo aku.” (Mas. Katanya kamu mau serius denganku)


Johan seketika jadi gugup mendengar ucapan Nur.


“Sesuk, aku meh nusul ibukku ning jakarta. Nek pancen kowe serius karo aku, yo mengko aku pak ngomong karo wong tuwoku” (Besok, aku mau menyusul ibuku di jakarta. Kalau kamu memang serius denganku, nanti aku akan bilang ke orang tuaku).
Nur melanjutkan ucapannya.


Johan tak tau harus menjawab apa. Nyatanya, memang ia ingin segera melamar Nur untuk dijadikan istrinya.
Jadi, mendengar Nur yang sudah terlebih dulu menanyakan, Johan pun akhirnya mengiyakan.


“Koyone si, mengko wong tuoku meh bali bareng aku. Lha mengko, nek wes tekan omah, yo aku pingin kowe moro bareng wong tuo mu mrene. Ketemu karo wong tuoku.”(Sepertinya, nanti orang tuaku akan pulang bersamaku. Nanti, kalau sudah dirumah, aku harap kamu dan orang tuamu datang kesini. Bertemu orang tuaku.)


Johan benar-benar tak menyangka, malam itu ia akan membahas hal yang seserius itu dengan pacarnya.


Nur memang lebih banyak bicara saat berada di rumahnya. Berbeda saat mereka sedang berada di luar.
Tapi malam itu, apa yang dikatakan Nur benar-benar membuat hatinya berbunga-bunga


“Iyo, mengko wong tuoku tak ajak mrene.”(Ya, nanti orang tuaku aku ajak kesini)
Jawab Johan, dengan antusias.


“Temenan lho mas. Paling aku bali ne mengko dino kamis ngarep. Nek pancen kowe niat, yo berarti dino minggu ne, kowe ngajak wong tuomu merene”
(Beneran lho mas. Mungkin aku sudah pulang hari kamis depan. Kalau kamu memang sungguh-sungguh, nanti hari minggunya kamu ajak orang tuamu kesini).


“Serius pok dek?” Johan masih tak percaya dengan apa yang ia dengar.


Nur seakan tidak ingin lagi mengulang kata-katanya, dan hanya merespon pertanyaan Johan dengan mengangguk.


Setelah itu, Nur seperti mengambil sesuatu dari kantong bajunya.


Sebuah cincin perak, kemudian diserahkan pada Johan.


“Lha iki opo?”
(Apa ini?)


“Tanda nek kowe pancen serius karo aku mas”(Tanda kalau kamu memang serius denganku mas.)


Johan pun menerima cincin itu, hendak ingin ia pakai, sebelum Nur mencegahnya.


“Ra usah dinggo disik, mas. Mengko bae, nek kowe mrene bareng wong tuomu”(Jangan dipakai dulu mas. Nanti saja, kalau kamu kesini bersama orang tuamu).


Mendengar penjelasan Nur, Johan pun menyimpan cincin itu di kantong bajunya.


Setelah menyerahkan cincin itu, Nur segera meminta Johan untuk pulang. Nur tak ingin Johan terlalu lama ditunggu ibunya.


Setelah berpamitan, Johan pun segera pergi meninggalkan rumah Nur.


Sebelum sampai di jalan raya, mata Johan seakan kaget dengan cahaya yang tiba-tiba menyala dari rumah sekitar kampung itu.


Akhirnya listrik sudah kembali dialirkan, dan lampu jalan pun sudah terlihat kembali menerangi jalanan.


Johan segera menjalankan motornya untuk kembali pulang ke rumah.
Langit malam itu masih terus bergemuruh, hujan akhirnya turun tepat sebelum Johan sampai di rumahnya.


Sayup terdengar dari kejauhan, suara ibu Johan yang sedang mengaji, membaca surat Yasin.


Dikiranya, ibunya baru selesai tahlil yang biasa dilakukan secara rutin setiap malam jumat.
Perlahan, Ia membuka pintu rumah dan memasukkan motornya.
Lalu segera mendekat kearah ibunya.


Belum sempat ia hendak mencium tangan ibunya, si ibu keburu langsung memeluknya.


“Kowe dek ngendi bae si nang? Dek mau ibuk ngenteni kowe bali. Ibuk wedi nek kowe kenopo-kenopo”(Kamu darimana saja si nak? Dari tadi ibu nunggu kamu pulang. Ibu takut terjadi apa-apa sama kamu)


“Ah, ibuk ki kebiasaan”.


“Kebiasaan opo nang? Ibumu kui, awet mau ngenteni kowe bali. Nganti moco surat yasin entek ping rong puluh”(Kebiasaan apa nak? Ibumu itu dari tadi nungguin kamu. Sampai selesai baca surat yasin sebanyak dua puluh kali.)
Timpal Ayahnya, yang sudah terlihat berdiri dibelakang ibunya.


Johan pun meminta maaf pada kedua orang tuanya. Ia menjelaskan, bahwa ia baru saja mengantar pacarnya pulang, dan sempat diajak ngobrol sebentar.


Berhubung kedua orang tuanya masih terjaga, dan belum tidur, johan pun langsung mengatakan apa yang telah ia bahas dengan Nur malam itu. Kedua orang tua Johan sempat kaget, mendengar anaknya menyampaikan keinginan untuk melamar seseorang.


Sebenarnya, orang tua Johan pun masih agak kecewa dengan hubungan Johan dengan mantan pacarnya, yang sudah lama terjalin, namun harus kandas disaat keluarganya sudah bersiap untuk melamarnya.


Johan belum pernah secara langsung menjelaskan apa yang terjadi antara ia dan mantan pacarnya itu, sehingga ia membatalkan sendiri acara pertunangan yang sudah dipersiapkan, tepat di hari itu juga.


Orang tua Johan masih belum bisa menghilangkan rasa malu pada sanak keluarga yang saat itu sudah terlanjur datang untuk mengiring proses pertunangannya.


Dan malam itu, Johan kembali memohon agar orang tuanya melamarkan gadis yang belum lama dikenalnya.


Sebenarnya, orang tua Johan masih keberatan dengan rencana putranya itu.
Tapi, keinginan anaknya seakan sudah begitu bulat, hingga kedua orang tuanya tak kuasa untuk menolak ataupun melarang.


Johan pun sempat menunjukkan cincin perak yang diberikan oleh Nur malam itu.


Kamis sore setelah pulang kerja, Johan berniat pergi ke rumah Nur. Ia yakin, pasti Nur sudah pulang dari Jakarta bersama kedua orang tuanya.
Ia hampir menyeberang jalan, ke arah gang yang menuju rumah Nur.
Namun tiba-tiba ada motor yang melaju cukup kencang, dan terjadilah kecelakaan yang cukup parah.


Nasib baik masih menimpa Johan, Ia terlempar dari motornya, dan terpental hingga kepinggir jalan. Motornya rusak cukup parah, dan sepertinya tak bisa dipakai lagi.
Sedangkan pengendara motor yang menabraknya, terlihat mengalami luka yang serius.


Keduanya langsung dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan.
Johan yang hanya mengalami memar dan lecet disekitar kaki dan tangan nya, masih bisa diajak berkomunikasi dan dimintai keterangan oleh pihak kepolisian.


Sedangkan pengendara yang satunya sedang kritis di ruang ICU.
Orang tua Johan yang dikabari tentang kecelakaan yang menimpa anaknya, segera datang ke rumah sakit tempat Johan dirawat.
Orang tuanya begitu khawatir dengan keadaan putranya itu.


Mereka tak henti mengucap syukur setelah mengetahui kondisi Johan yang tidak mengalami luka serius.


Malam itu pun, terpaksa Johan harus menginap di rumah sakit, dengan ditemani oleh Ayahnya.


Karena kecelakaan itu, Johan jadi kepikiran dengan rencana untuk melamar pacarnya.


Apakah rencana itu harus dibatalkan?


Johan hampir tak bisa tidur memikirkannya.


Entah saat itu jam berapa, ada seseorang yang datang ke kamarnya.
Johan bisa mengenali dengan baik siapa orang itu.


Nur, tiba-tiba datang dan menghampirinya yang sedang terbaring di tempat tidur.


Johan agak kaget, dan mencari keberadaan ayahnya. Yang tak ada diruangan itu.


Rupanya, sebelum Nur tiba di ruangan itu, Ayahnya baru saja keluar untuk cari minuman dan berniat untuk merokok di area luar rumah sakit.


“Loh dek, kamu kok biso nang kene?”
(Loh dek, kamu kok bisa kesini?)
“Jare sopo aku mlebu rumah sakit?”
(Siapa yang memberitaumu aku masuk rumah sakit?)


Nur menyenderkan tubuhnya disamping tempat tidur Johan, dengan posisi agak duduk dipinggirannya.
Tangan Nur pun, seketika mengelus rambut Johan, membelai rambutnya, seakan berusaha menenangkannya.


“Mau ki aku weruh ono rame-rame mas, nang ngarep gang”(Tadi aku lihat ada keramaian mas didepan gang)
“Lha aku weruh motormu. Terus jarene wong-wong ono tabrakan”(Lalu aku melihat motormu. Dan kata orang-orang ada kecelakaan).


Nur coba menjelaskan, dengan suaranya yang pelan, dan seakan agak berbisik.


“Tak ematke, kok aku weroh kowe digowo ambulan. Asline aku pingin ngejar, tapi aku isin”(Ku perhatikan, kamu dibawa ambulan. Sebenarnya aku ingin mengejar, tapi aku malu).


“Yo wes, sukur nek kowe ora kenopo-kenopo mas”(Ya sudah, syukurlah kamu tidak apa-apa mas)


Johan seakan merasa begitu nyaman saat itu, hingga lupa menanyakan bagaimana Nur bisa masuk ke kamarnya, sedangkan saat itu harusnya tidak boleh ada orang yang menjenguk pasien.


“Terus, sidone kowe meh nggowo wong tuomu nang ngomahku rak mas?” (Lalu, kamu jadi membawa orang tuamu ke rumahku nggak mas?)


“Lha priye dek? Aku sek koyo iki. Aku yo bingung”.(Gimana ya dek? Aku kan masih seperti ini. Aku juga bingung).


“Yo nek jarene ibuk, nek misal sing moro wong tuomu disik yo rapopo mas. Gawe koyo acara nyangsangi kae si” (Kalau kata ibuku semisal yang datang orang tuamu dulu juga tak apa-apa mas. Acaranya dibuat seperti seserahan).
“Soale wong tuoku meh langsung bali nang jakarta meneh. Nek ora sido dino minggu, yo co’e malah dadi rak sido ne.”(Masalahnya, orang tuaku akan langsung balik ke jakarta lagi. Kalau tak jadi ada acara di hari minggu nanti, ya mungkin akhirnya akan dibatalkan).


Mendengar curhatan Nur, Johan pun kembali merasa bingung.
Apa yang harus ia katakan pada orang tuanya?


Johan tak ingin hubungannya dengan Nur jadi berakhir.


“Yo wes mas, mending diomongke disik karo bapak ibumu. Men wong tuo mu bae sing mutusi”(Yasudah mas, lebih baik dibahas dulu dengan orang tuamu. Biar mereka yang memutuskan).


Nur kembali membelai rambut Johan. Terus berusaha menenangkan kekasihnya itu.


“Cincin sing dek aku kae sek mok simpen kan mas?” (Cincin dariku itu, masih kamu simpan kan mas?)


“Iyo, isek tak simpen dek. Kui kan amanah dek kowe”(Iya, masih kusimpan dek. Itu kan bentuk kepercayaan darimu)


“Yo wes. Bener. Dijogo yo mas. Ojo nganti ilang” (Yasudah. Bagus. Dijaga ya mas, jangan sampai hilang).
Johan mengangguk kan kepalanya.


Tak terasa, belaian Nur membuat Johan merasa begitu nyaman. Saking nyamannya, ia sampai terlelap, dan tak menyadari kapan Nur pergi meninggalkan ruangan itu.


Ayah Johan pun kembali ke kamar anaknya dirawat, dan melihat anaknya telah tertidur lelap.


Digelarnya tikar yang dibawanya dari rumah, dan berniat untuk ikut beristirahat.


Pandangannya tertuju ke langit-langit kamar. Sambil mencoba menghela nafas.


Tapi, ada bau aneh yang tercium olehnya. Bau yang sebelumnya tak tercium di ruangan itu.


Bau aroma melati.


Baunya tak begitu menyengat, bisa dikatakan sudah hampir memudar. Namun aroma yang tertinggal masih bisa terasa dan membuat bulu kuduk ayah Johan berdiri.


Segera saja ditariknya sarung hingga menutup kepalanya.
Malam itu, ia seakan ingin segera tidur, agar tak menyaksikan apapun yang mungkin saja akan menakutinya.
Ia berusaha memejamkan matanya. Tapi tak kunjung bisa terlelap.


Meski kamar itu tergolong kelas 2, tapi hanya dia dan anaknya yang berada di ruangan itu.


Tiba-tiba, ia mendengar suara seperti kaki yang diseret.


Arahnya berasal dari kamar mandi tempat itu. Ayah johan sedikit mengintip dari celah sarungnya.


Ada sekelebat bayangan putih, yang baru saja keluar dari kamar mandi.
Tiba-tiba saja, bau aroma melati itu kembali tercium begitu kuat.


Ia langsung membuka sarung yang menutupi wajahnya, dan betapa kagetnya ia dengan apa yang dilihatnya, sosok wanita berpakaian serba putih, dengan rambut yang acak-acakan, berjalan ke arah pintu keluar.


Dan sebelum sosoknya menghilang, wajahnya menoleh ke arah ayah johan.


Terlihat dengan jelas, raut wajahnya yang disertai senyuman menyeringai, begitu menyeramkan, sampai akhirnya ayah Johan pingsan ditempat.


Keesokan harinya, ayah johan seakan syok dengan apa yang dilihatnya malam itu. Cerita itu ia sampaikan pada istrinya yang malah menyalahkannya.


“Paling bapak lali sholat isya, dadine diweruhi sing ora-ora” (Kayaknya bapak lupa sholat isya, jadinya melihat yang tidak-tidak)


Hari itu juga Johan dibolehkan pulang ke rumah.
Sejak dari rumah sakit, Johan terus membujuk orang tuanya, agar tetap melaksanakan rencana yang sudah dibahas dan sudah pernah disetujui orang tuanya.


Kalau pun, ia tak bisa ikut, setidaknya orang tuanya bersedia menjadi walinya, yang bisa menjelaskan dan menunjukkan keseriusannya untuk meminang Nur.


Akhirnya, orang tua Johan pun bersedia. Mereka menghubungi beberapa sanak keluarga terdekat saja, untuk menemani mereka sebagai penghormatan pada calon besan.
Tak lupa, mereka pun mempersiapkan beberapa makanan ringan untuk dibawa ke rumah Nur.


Dan sesuai rencana, hari minggu itu orang tua Johan pergi mendatangi kediaman Nur, yang alamatnya sudah dijelaskan oleh Johan.


Dalam perjalanan, orang Tua Johan sempat ditanyai oleh kerabat yang ikut dalam acara itu.


Darimana Johan mengenal calonnya itu, dan sudah berapa lama mereka menjalin hubungan.


Orang Tua Johan menjelaskan apa adanya, sesuai dengan yang diceritakan oleh anaknya.


Mereka hampir sampai di rumah Nur.
Setelah memastikan gang yang disebutkan oleh Johan, dan masuk kedalam gang yang tak begitu lebar itu.


Mobil rombongan itu telah sampai di alamat yang diberikan oleh Johan.
Arahannya sudah sesuai.


Dari dalam mobil pun, salah satu kerabat Johan bisa melihat rumah yang dimaksud oleh Johan. Yang ada gazebo kecil di halaman rumahnya.
Semua orang hampir turun dari mobil. Namun, ibunya Johan tiba-tiba merasakan perasaan yang tak enak.


Saat melihat ke arah rumah Nur, ibunya Johan samar samar melihat hal yang seakan tak disadari oleh orang-orang yang masih berada dalam mobil.


“Mas, iki bener alamate?”
“Iyo, bener iki aku nembe nelpon Johan, nggo mastike.”(Iya benar. Aku baru menelpon Johan untuk memastikan).


“Tapi mas, kui kan…”(Tapi mas, itu kan…)


Belum sempat meneruskan perkataannya, pintu mobil satu persatu telah dibuka.


Dan betapa terkejutnya semua orang dalam rombongan itu.


Yang ada di lokasi alamat yang diberikan Johan adalah sebuah area pemakaman umum.


Pagar pembatas halaman rumah Nur, yang selama ini dilihat oleh Johan, ternyata adalah pagar pembatas area pemakaman.


Dan gazebo kecil yang dikatakan oleh Johan, ternyata adalah sebuah tempat yang khusus dibuat untuk meletakkan keranda dan perlengkapan pemakaman.


Cerita itu pun kemudian tersebar hampir ke penjuru daerah, dari kabupaten hingga wilayah kota.


Johan yang dijelaskan perihal kejadian itu seakan tak bisa menerima kenyataan.


Ia terus tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh semua orang yang dikenalnya.


Ia masih meyakini bahwa Nur, adalah seorang gadis yang nyata. Nur adalah manusia. Nur adalah takdirnya. Nur adalah kekasih yang selalu di idamkannya. Bahkan, Johan sudah menetapkan bahwa Nur adalah segalanya di kehidupannya.


Beberapa orang yang pernah melihat Johan, pun akhirnya mengatakan apa yang sebenarnya dialami oleh johan.


Dari tukang parkir H*******t, yang mengatakan pernah melihat seorang pemuda yang aneh, karena berbicara sendiri diarea depan lokasi perbelanjaan itu.


Awalnya Johan dianggap tak waras, karena sering kali terlihat duduk sendiri di emperan gedung tua, sambil ketawa-ketawa sendiri.


Ada seorang penarik becak yang pernah melihat seorang pemuda mendorong gerobak sampah kearah pohon besar di dekat warung yang sudah tutup.


Setelah memindahkan gerobak sampah itu, ia kembali ke pohon besar itu dan duduk disamping pohon, padahal saat itu sedang hujan cukup deras.


Ada juga seorang warga yang melihat seorang pengendara motor yang dibelakangnya memboncengkan seseosok makhluk ghaib wanita.


Dan warga sekitar makam itu pun, pernah beberapa kali melihat seorang pemuda yang keluar dari area makam ditengah malam.


Dan juga, seorang pengendara motor yang melihat seonggok makhluk yang terbungkus, membonceng seorang pemuda ke arah makam.


Banyak orang yang mengatakan bahwa apa yang dialami oleh pemuda itu, merupakan ulah makhluk ghaib yang terlanjur menyukai pemuda itu.


Dan sosok makhluk ghaib itu, tak hanya sekali itu mengganggu manusia.


Dari apa yang dikatakan oleh warga sekitar Di makam itu memang sering ada orang yang tertipu oleh penunggunya yang mewujud sebagai sosok gadis cantik, yang minta dinikahi.


Sosok yang akhirnya dikenal sebagai “Sosok Nur” yang ceritanya pernah populer dipenjuru daerah sekitar.


Cerita ini, mengingatkan kita agar lebih berhati-hati di jalanan.


Saat mengendarai motor atau kendaraan apa pun, jangan sampai pikiran kosong, sehingga mudah dipengaruhi oleh hal-hal ghaib yang tak pernah kita duga asalnya.


Dan yang terpenting, jangan mudah terpikat pada seseorang yang baru dikenal.
Karena resikonya, dapat menyebabkan baper, yang bisa berujung dengan kecewa.


Akhir kata, thread ini saya tutup.
Semoga dapat menghibur dan memberi pelajaran, apapun bentuknya, pada para pembaca.


Kurang lebihnya saya mohon maaf apabila ada kekurangan dalam cerita yang saya sampaikan.


Wassalam.


Sumber : No Name