Cerita Horror Misteri dibalik Foto Tua “Si Anak” #Part2
Horror Story Lanjutan!!
***
“Silvi kenapa diam saja dari tadi?” tanya Nia, “Silvi marah ya sama Nia?”
Tugiman Blog – Si kecil Silvi masih diam, ia tidak melihat Nia sedikitpun, lalu ia pergi, suara lonceng kepergiannya setelah menutup pintu, membuat Nia merasa heran. tidak ada yang tahu isi kepala anak itu.
Nia menuruni anak tangga, kakinya semakin menghitam, bahkan, ada kerak luka disana, awalnya, ni Elin memberi saran agar Nia dibawa ke rumah sakit, namun, Nia menolak, Nia berpendapat kakinya baik-baik saja, namun, pandangan mata ni Elin, seakan menyimpan sesuatu, sebuah rahasia seseorang memanggil Nia, gadis yang tinggal di ujung kamar, ia berkata kepada Nia, “ada temanmu, sekarang dia ada di luar”.
Dengan langkah terpincang-pincang, Nia berjalan menuju pintu, disana, ia melihat Ica, tersenyum, menyapa Nia
“Masuk saja” kata Nia, pertama kali Ica masuk, Nia melihat gelagat aneh Ica, ia sempat berhenti meski hanya sepersekian detik, Ica, menggosok hidungnya, persis seperti cara seseorang yang mencium bau tidak sedap, namun, Nia tidak bertanya pada Ica, apa yg ia lakukan barusan,
“Rumahnya besar ya” kata Ica, matanya menyorot semua tempat, tingkahnya hampir sama seperti pertama kali Nia datang ke rumah ini, kekagumannya pada bangunan dengan gaya lama, menyelidik sejengkal-demi sejengkal, sampai, mata Ica berhenti pada satu titik
Sebuah foto dalam pigura
“Itu foto siapa Nia?” tanya Ica
Nia juga tidak tahu, ia juga ingin bertanya perihal itu, namun, tak satupun ada yang tahu siapa perempuan yanb tengah berdiri dengan pose seakan menggendong bayi kecil dalam pelukannya, bahkan, anak-anak lain sekalipun, meski Nia tidak menjawab, Ica tidak memaksa Nia, Ica kemudian mendekati foto itu, seakan ingin menyentuhnya, sebelum,
“Temanmu” ucap ni Eva tiba-tiba, ia adalah salah satu pamong yang memiliki perawakan paling besar disini, ia melihat Ica, sebelum memberikan senyuman itu,
“Iya ni, teman sekolah saya” Sahut Nia, ia lupa, setidaknya Nia seharusnya mengatakan kepada pamong disini, bahwa akan ada temannya yang datang berkunjung, namun, ni Eva sepertinya bisa memaklumi itu
“Suruh temanmu ikut bergabung sama yang lain ya, sudah waktunya, makan malam”
Ica membantu Nia menuju ruang makan, samping dapur.
Disana, mereka menemukan anak-anak sudah ada di tempat duduk mereka masing-masing, semuanya, kecuali, kursi Silvi, Nia tidak menemukan anak itu disana.
Ica, akhirnya duduk di kursi Silvi, menggantikannya, untuk malam ini , selama makan, tidak ada satupun yg bicara, seperti biasa.
Anehnya, Ica seakan tidak perduli, untuk orang yang baru merasakan sensasi makan dalam keheningan, Ica seakan menunjukkan gelagat sudah biasa dengan ini semua, hal itu, membuat Nia bertanya-tanya.
Selepas semua anak sudah pergi, Ica menatap Nia, “kamu mencium bau amis tidak?”
Nia yang mendengar itu, berbalik bertanya pada Ica, “bau amis? tidak ada pun”
“Iya, bau amis, mirip bau, ari-ari bayi gak sih”
Nia yang mendengar itu hampir saja tersedak dibuatnya, Ica tampak serius
“Aku boleh keliling rumah ini gak Nia” tanya Ica tiba-tiba,
“Apa?” Nia tambah kaget mendengarnya, “gelap-gelap seperti ini, entahlah, pamong akan marah”
“Sebentar saja, aku kok penasaran, rumah ini besar sekali loh” Ica berusaha meyakinkan Nia,
Nia tidak menjawab
Tanpa persetujuan Nia, Ica langsung melesat pergi, Nia dengan kaki terpincang-pincang berusaha mengejarnya, namun, Ica lenyap begitu saja, seakan ia mengejar-sesuatu disini.
Nia berhenti, tatapannya mencari tahu, kemana kira-kira anak itu pergi, sebelum Nia menatap lorong, ada sesuatu yang paling Nia hindari sebelum lorong adalah, kamar tanpa tangga, setiap kali Nia melewati kamar itu, ia merasa, dari sela kayu pintu, seakan ada mata yang menatapnya, namun, tidak ada yang lebih mengerikan dibanding, suara menangis yang kadang terdengar dari dalam.
Kaki Nia semakin nyeri, ia memaksa kakinya berjalan lebih cepat, sesaat sebelum sampai di lorong, Nia berhenti menatap kamar itu
Lagi-lagi, Nia mendengarnya kembali, namun, Nia mencoba mengabaikannya, ia terus bergerak menelusuri lorong gelap. Rumah ini selalu menyimpan misteri, seakan ada dua sisi yang saling berseberangan, dan dibagian lorong, adalah sisi dimana kadang Nia merasa tidak sendirian lagi, padahal ia tahu, saat ini, tidak ada satupun yg menginjakkan kaki disana, kecuali, Nia seorang diri.
Selain lorong panjang, ada kamar bangsal yang tidak terpakai, sama seperti kamar lain, ada lonceng diatas pintu, namun, bedanya, ada jendela besar disetiap bangsal dengan pasak besi terpasang, nyaris menyerupai kamar rumah sakit jiwa, setiap kali Nia melewati jendela itu, seakan Nia merasa, ada seseorang yang berbaring diatas ranjang-ranjang kosong itu. Namun, tidak ada siapapun disana, hingga, Nia sampai, di pintu terakhir, satu pintu yang konon kata ni Ika adalah kuburan dari pemilik yayasan ini sebelumnya, Nia berhenti lama, sebelum, membuka pintu
Nia mendapati Ica sedang meringkuk, saat Nia memanggilnya, Ica berbalik lantas kemudian berdiri, kakinya seakan menutupi sesuatu, wajah Ica, panik
“Kamu ngapain?”
“Nia, aku gak ngapa-ngapain kok” ucap Ica
“Kamu nanam sesuatu kan disana?” kata Nia, Ica tetap menolak tuduhan itu
“Aku lihat kamu nanam sesuatu” Nia mendorong Ica, memintanya menyingkir, lantas, menggali dengan tangan kosong, sama seperti Ica, di tanganya, jelas-jelas ia baru saja menggali sesuatu, meletakkan entah apa itu disini, namun, aneh, saat Nia selesai membongkar gundukan itu,
Nia tidak mendapati apapun disana.
Ica yang masih terlihat panik, lantas berucap “aku gak nanam apa-apa kan, aku, malah nyari sesuatu disini”
“Apa” Nia lantas bertanya,
“Apa yang kamu cari?” tanya Nia,
“Kuburan janin-janin yang sudah mati itu, disini kan?”
“Si anak adalah janin yang sudah digugurkan”
Nia yang mendengar itu, tiba-tiba merinding.
“Kamu jangan ngawur ya ca kalau ngomong” bentak Nia, lantas, Ica menunjuk tempat ini, sebuah lahan kosong yang di kelilingi tembok tua, hanya saja, tidak ada atap disana, dan, di sekeliling, Nia baru sadar, tempat ini, dipenuhi tumbuhan Salak,
Nia masih tidak mengerti
“Aku penasaran sejak awal, rumah ini dulu adalah rumah Berangon kan” ucap Ica,
“Berangon?”
“Rumah tempat gugurin janin pada jaman dahulu”
“Kamu tau darimana?” Nia masih beriskeras menolak kata-kata Ica,
“Tumbuhan Salak, dulu, digunakan untuk menyamarkan bebauan darah janin”
“Dan kamu tau kenapa harus salak” tanya Ica
Nia menggelengkan kepala,
“Konon, setiap tumbuhan Salak, selalu ada yang jaga, untuk menahan roh dari janin-janin yang sudah digugurkan” Ica mendekati Nia, “dia suka sekali dengan darah janin, dia selalu menjilati darah janin”
“Siapa” tanya Nia,
“Genderuwo” bisik Ica, saat itu juga, pintu tiba-tiba dibanting dengan keras, lalu tertutup dengan sendirinya.
Ica dan Nia, memandang pintu, mereka berdua saling menatap satu sama lain.
Ica membuka pintu, menarik Nia kemudian mereka pergi, Ica juga beberapa kali melihat ke kamar bangsal, kaki Nia semakin nyeri, tapi Ica mengatakan, “denger suara mereka gak, banyak sekali yg jerit di kamar-kamar kosong ini”
Nia tidak menjawab Ica, ia ingin segera sampai di kamar
Nia menarik Ica, ia harus segera pergi dari sana, sebelum pamong tahu apa yang mereka lakukan, saat melewati pintu tanpa tangga, tiba-tiba, Nia berhenti, ia memandang tajam pintu kamar itu, untuk pertama kalinya, Nia berkeringat, dengan wajah tegang, matanya tertuju pada pintu itu Nia melihat sekelebat bayangan sosok wanita masuk kesana, bayangan mata itu lenyap, Ica, tidak kalah dengan Nia, kaki dan tangannya gemetar hebat, lantas, Ica berucap dengan kalimat terbata-bata,
“wanita di foto itu bukan”
Ica menatap Nia, mereka pergi dari tempat itu
Saat Ica menggandeng tangan Nia yang merasakan nyeri yg luar biasa, tiba-tiba, ni Ika muncul, lantas memegang tangan Nia,
“Kamu bisa pulang kan dek, sudah malam loh, ibumu pasti khawatir kalau anaknya kenapa-kenapa”
ni Ika mengatakan itu sembari tersenyum, Ica pun pamit, ia pergi
Nia menatap ni Ika, ekspresinya tidak berubah, ia tetap tersenyum, namun, sebelum Nia menjelaskan apa yg terjadi, ni Ika langsung memotongnya.
“Kamu bisa kembali ke kamar sendirian kan Nia,” ucapnya, “Silvi, sudah menunggu kamu daritadi”
Tanpa pamit, ni Ika pergi begitu saja.
Nia membuka pintu, saat itu juga, Nia bisa melihat Silvi, ia duduk di lantai, meringkuk, sendirian, suara lonceng pintu Nia, membuat anak itu mengangkat punggungnya, kemudian, ia menatap Nia selama beberapa detik sebelum mengatakan
“ook aaah, oook aaaah iaaa”
“Kamu ngomong apa” Nia mendekatkan diri,
“Oook aaah, aam ii oook aaan aaang!” Silvi masih bersikeras menjelaskan “laaaa” Silvi menunjuk Nia, “eeeiii aaaa aaiii iii”
Nia tetap tidak mengerti, lantas, Silvi berdiri, keluar dari kamar, sebelum ia menutup pintu, Silvi menangis
“Kamu mau pergi? kamu gak tidur disini?” Nia bertanya,
Silvi mengelengkan kepalanya, lantas, menutup pintu perlahan, suara lonceng pintu terdengar, Nia sendirian di dalam kamar itu, ia masih memikirkan apa yang ingin Silvi sampaikan, namun, Nia tahu, malam ini, ia akan sendirian.
Nia beranjak menuju ranjang, setelah ia yakin sudah mengunci pintu, Nia mengangkat kakinya, saat itu, Nia baru tahu, luka memar di kakinya, tidak hanya menghitam, namun mulai berbau busuk, nyaris seperti borok yang mengerikan, Nia mulai berpikir untuk membawa kakinya ke rumah sakit.
Nia mulai memejamkan matanya, memanjakan dirinya dengan lelap yang sudah memenuhi isi kepalanya, keheningan seketika menelan Nia, dalam sunyi, Nia tertidur, namun, tiba-tiba, terdengar suara pintu terbuka, lonceng berdenting, dan Nia membuka matanya, sekilas, saat Nia membuka mata, ia melihat seorang perempuan berambut panjang, ia mengenakan gaun putih hingga menutupi kakinya, berjalan melintasi kamar Nia, perut wanita itu buncit, menyerupai wanita yang tengah mengandung
Nia, beranjak dari tempat tidurnya, lalu pergi memeriksa.
Nia tidak melihat siapapun disana, dengan cepat ia langsung menutup pintu kembali, menguncinya, namun, belum juga Nia kembali ke ranjang, ia merasa, dibelakang, seseorang tengah membelai rambutnya yang panjang, menciuminya, nafasnya terasa ditengkuk Nia,
Nia mulai menangis
Nia yang sudah tidak tau lagi harus bagaimana, lantas, nekat untuk melihat siapa yang ada dibelakangnya, namun, saat Nia berbalik, ia tidak menemukan siapapun disana, namun, pintu yang sudah dikunci oleh Nia, terbuka kembali, Nia mendengar langkah kaki ditangga, Nia mengikutinya
Nia merasa ia harus mengikutinya, seakan memang Nia dituntun untuk tahu lebih jauh apa yg sebenarnya terjadi di rumah ini, sampai, sosok itu melangkah di anak tangga kamar misterius itu, sebelum ia masuk kesana, ia melihat Nia, aneh, Nia tidak tahu, bila sekarang, ada anak tangga didepan kamar misterius itu, tanpa berpikir apapun lagi, Nia menaiki anak tangga, lalu masuk kesana.
Saat Nia sudah masuk, pintu, tiba-tiba tertutup dengan sendirinya.
Hal pertama yang Nia rasakan adalah, bau apek yang membuat Nia tidak nyaman, selain bau apek, Nia juga merasa, ruangan ini jauh berbeda dari semua ruangan yang pernah Nia masuki, hal yang mengganjal tentu adalah, hampir disetiap sudut ruang, Nia bisa melihat semua benda berserakan, ruangan ini tidak lebih besar dari ruangan tempat Nia menumpang tidur, hanya saja, di dalam ruang ini hanya terdapat satu ranjang, dengan beberapa perabotan, tak terkecuali, satu kursi usang yang berdiri kokoh, tepat ditengah ruang.
“Aneh” pikir Nia, melihat kursi lusuh itu
Dengan kaki terpincang-pincang, Nia memaksa diri menuju ranjang tempat tidur, disamping sisi ranjang, terdapat sebuah jendela dengan tirai putih transparan, manakala, Nia memeriksa kemana jendela itu tertuju, Nia terperanjat, ia semakin yakin, di ruangan ini, ia melihat dia debu seakan menjadi kawan, Nia menelisik setiap sisi ruang ini, benar, guratan disepanjang tembok, tidak diciptakan dengan sengaja, ada goresan dari darah yg menghitam, ada sayatan kasar, dan geligih daging kering yg terkelupas masuk kedalam guratan itu, siapa pemilik kamar ini?.
Satu yang Nia tahu, siapapun yang mendiami kamar ini, setiap detik, ia pasti menggaruk atau meronta mencakar sisi tembok dan segala apa yang bisa ia dapat, percikan darah kering disana-sini, membuat Nia merasakan perasaan merinding yg tak terjelaskan, sampai, ia kembali menatap kursi, dengan perasaan ragu, Nia berhenti tepat didepan kursi usang itu, Nia perlahan menatap langit-langit, mencoba menebak dari presepsi liar ketika mengamati ruang ini, mata Nia terbelalak menyaksikannya, tepat seperti dugaan Nia, disana, ada tali gantung yg masih tersampul si pemilik kamar ini, mati, gantung diri.
Semakin lama didalam ruang ini, Nia merasa bahwa dirinya semakin terancam, ia berlari meski harus menyeret kakinya, Nia menuju pintu, namun, pintu terkunci, dengan nafas memburu, Nia menggebrak pintu, berteriak-teriak, namun, tak ada satupun yg menjawab perlahan-lahan, terdengar suara tawa ringkih, menyerupai suara bayi yg tergelak, suara itu, terdengar dari bawah ranjang, Nia yang benar-benar mendengarnya, tak berniat untuk memeriksanya, ia harus keluar dari tempat ini, Nia terus menerus berteriak sembari menggebrak pintu, frustasi karena tak kunjung mendapat jawaban, Nia mengintip dari lubang kunci, tempat biasa Nia melihat pintu dari bawah anak tangga, siapa sangka, kini Nia ada didalam ruang itu, dan darisana, Nia melihat sesuatu, Silvi, tengah ada dibawah anak tangga, melihat pintu, sendirian
“SILVI!! SILVI!!” bentak Nia, namun, gadis kecil itu, melangkah pergi, “SILVI, BUKA!! BUKA!!”
Nia terdiam, tidak mengerti, sampai, pandanganya tertuju pada sisi bawah ranjang, Nia, mendekatinya
Rasa nyeri di kaki Nia semakin menyiksa, namun, suara-suara mengerikan itu, memancing rasa penasaran bagi Nia, seakan suara itu ingin menunjukkan eksistensinya, kini, Nia berjongkok, menahan perih, menekuk kakinya, Nia, menyentuh kain putih yg menutup ranjang, perlahan membukanya.
Tidak ada apapun disana, kecuali ruang kosong dibawah ranjang, tidak ada, sampai, Nia merasakan sentuhan di kakinya, perlahan, hanya ada satu sentuhan, namun, semakin lama, tangan-tangan asing seperti berebut menyentuhnya, Nia melirik sosok itu.
Nia melihat dengan mata kepala sendiri, sosok kecil merangkak dengan lendir merah darah, berebut menjilat kaki Nia, mengerumuninya, ada puluhan, lebih, memenuhi sisi ruang lain, mereka seakan-akan memenuhi tubuh Nia, jeritan Nia, memutus malam itu.
Nia terbangun, tepat di bawah kamar, ia seperti gadis yg kosong, tidak tahu apa yg terjadi dan bagaimana semua berlangsung secepat itu, namun, Nia hanya ingat satu hal, kakinya bernanah, semakin nyeri, manakala Nia mencoba untk bangun, ia terjatuh, dengan kepala menghantam lantai, setiap Nia memaksa untuk bangun, kakinya seperti kehilangan tenaga, Nia akan tersungkur, wajahnya terus menerus menghantam lantai, sampai darah terus mengalir dari hidung, Nia mulai menangis, berteriak meminta tolong kepada siapapun, dengan perasaan kacau balau, Nia hanya bisa menggunakan kedua tangannya, ia merangkak dan terus meminta tolong, sampai, seorang anak memergokinya, ia tampak shock melihat Nia, lantas mendekatinya dan bertanya apa yg terjadi.
“AKU TERJEBAK DI KAMAR ITU!!”
Aneh, wajah anak itu, tampak kebingungan.
“PANGGIL NI IKA DAN SEMUA PAMONG”
Anak itu, masih memandang Nia kebingungan, apa, anak itu, seperti tidak mengerti apa yg dikatan oleh Nia, sampai, anak lain datang dan bertanya, anak itu lantas menjawabnya.
“Nia, tidak bisa bicara”
Di ruang kecil, Nia terduduk lemas, matanya kosong, menerawang jauh entah kemana
ni Elin dan ni Eva hanya menatapnya prihatin, mereka melihat kaki Nia yg semakin dilihat semakin membuat mereka berdua bingung, bagaimana luka sepele tiba-tiba menjadi seperti ini, tak beberapa lama, ni Ika melangkah masuk, ia menatap Nia, seakan tahu apa yg menimpa gadis malang itu, ia berbisik pada Nia, “ikut saya ya nak” detik itu juga, Nia dibawa pergi.
Selama di perjalanan, Nia masih menatap kosong, ia tidak mau berbicara, dan memang, tidak akan ada yg bisa mengerti apa yg ia ucapkan, bahkan, saat ni Elin membujuknya untuk bercerita, Nia enggan menuliskannya, ia hanya terbayang Silvi kecil, kenapa dan apa yg ia lakukan, tak beberapa lama, sampailah mereka disebuah rumah duku, dengan pohon besar familiar, Nia dibantu oleh ni Elin, ia dituntun menuju pintu rumah, mengetuknya, dari dalam, terdengar suara serak, yg menyuruh mereka masuk, saat pintu dibuka.
Terlihat seorang wanita tua duduk di kursi roda, di belakangnya, ada seseorang yg gaya berbusananya sama persis seperti busana milik para Pamong, namun, dilihat dari usianya, tampaknya ia masih sangat muda, sementara, si wanita tua, di bibirnya, ia menggigit gambir.
Dengan rambut disanggul menyerupai wanita jawa, ia menatap Nia, matanya picing, seakan tidak suka dengan kehadiran Nia, pun, dia meludahi Nia seakan tidak sudi dan tahu apa yg akan ni Ika sampaikan, si wanita, dengan nada marah berujar, “Ka, melok aku” (ikut aku)
ni Ika mengambil alih kursi roda, mendorong si wanita tua itu, masuk ke dalam kamar, sementara Nia, ia duduk, dengan tatapan kosong ia mencoba mencari tahu, dimana ia dibawa oleh para pamong, sebelum Nia tahu jawabannya, ni Elin mendekati Nia, ia berbisik,
“gadis yg ada di depanmu itu, dia juga mengalami hal yg sama seperti kamu”
Nia yang mendengarnya lantas terperanjat, ia baru menyadari, gadis muda di depan Nia, mungkin usianya tidak terlalu jauh dari dirinya, tepat di kakinya, Nia menemukan bekas luka yg sama.
Gadis itu mendekati Nia, ia tersenyum lantas bertanya pada Nia, “kamu sudah melihatnya, Momok” ucapnya, Nia yg sedari tadi tidak mau bicara, lantas menjawabnya, membuat ni Elin mengangkat alis pertanda tidak mengerti, namun, si gadis, ia mengerti apa yg Nia katakan, ia mengangguk terdengar suara perdebadan antara ni Ika dengan wanita tua itu, Nia merasa bersalah mendengar bagaimana ni Ika di cerca dengan kalimat yg menghina.
Si gadis itu, menenangkan Nia, bahwa, ia akan baik-baik saja, hanya saja, ia akan sedikit terkejut dengan apa yg akan ia terima, tak beberapa lama, si wanita keluar bersama ni Ika, ia memperkenalkan dirinya sebagai pemilik yayasan itu, ia biasa di panggil, Asih.
ni Asih, meminta Nia mengikutinya, ia, membawa Nia masuk jauh kedalam rumah, yg memiliki bangsal yg sama persis dengan rumah yg Nia tinggali, dibantu si gadis, Nia dituntun untuk ikut, namun, ada kejadian menarik, Nia juga menemukan foto wanita dengan pose menimang anak, sama persis dengan yg ada di yayasan itu, dan bila ditelisik lebih jauh, ni Asih, menyerupai wanita dalam foto itu, namun, Nia tidak mau berspekulasi.
Disebuah kamar kayu, ada sebuah ranjang tepat ditengah-tengah, dengan meja dipenuhi congkak dari tanah liat, debu dan asap dari kemenyan, serta air dalam caruk, Nia dipaksa berbaring diatas ranjang itu, sementara ni Asih, membuang gambir di bibirnya, ia berdiri dari kursi rodanya, cara ni Asih berjalan nyaris seperti melihat diri Nia sendiri, ia pincang di sebelah kakinya, ia mengambil beberapa dedauan dan kembang yg ada di sekitaran ruang, rempah-rempah dan bebauan yg bahkan tidak dapat Nia kenali, si gadis muda, menutup pintu, menguncinya dengan pasak.
Si gadis muda mencoba menenangkan Nia, sementara kedua tangan dan kakinya di ikat dengan jabrak, tali dari sulur yg dikeringkan, saat Jabrak sudah melilit, rasa nyeri akan terasa menyiksa bila Nia memaksa untuk menariknya, si gadis mengambil beberapa bahan yg sudah dipilih oleh ni Asih, ia kembali ke meja disamping ranjang, lalu, menyalakan lilin, dan kemudian bersiap pamit, ia sempat melirik Nia, sorot matanya, tampak memelas, seakan tahu, apa yg terjadi selanjutnya.
ni Asih kembali, wajahnya masih tampak keras, tak nampak senyuman sedikitpun disana, bahkan saat menyentuh Nia, ia menyentuh dengan kasar, seakan ia melakukan ini karena sebuah paksaaan yg tidak ia kehendaki,
Ia meletakkan sanggah besi diatas lilin, memanaskan sebilah pisau.
“Padahal dia cuma nyentuh kakimu saja ya, tapi akibatnya bisa sampai seperti ini, saya tidak mau membayangkan pada apa yg terjadi pada anak kecil itu, yg lidahnya sampai ditarik olehnya” ucap ni Asih, ia menyeringai.
“Anak itu” tanya Nia, ni Asih mengangguk.
Ia lantas menyuruh Nia menggigit gambir, sebelum mulai memijat kakinya, di sela-sela ia melakukan itu, ni Asih mengunyah banyak sekali bahan yg sudah ia persiapkan, setelah semua dirasa siap, ia, mengambil sebilah pisau yg ia panaskan sedari tadi,
“Ini akan sangat sakit nak”
Tanpa membuang waktu, ni Asih mengiris luka Nia, dan Nia meronta-meronta, teriakannya tertahan gambir yang ia gigit, ototnya mengejang, rasa sakit luar biasa yang bahkan Nia tidak pernah bayangkan sebelumnya, Nia terus menerus mencoba melepaskan diri dari jeratan, namun, sia-sia.
Ada saat-saat dimana Nia bahkan berpikir untuk mati saja, namun,ia terus sadar dan merasakan semuanya, dunia seperti beputar semakin cepat, ni Asih terus bergumam jampi-jampi yang bahkan Nia tidak tahu apa yang ia katakan, yang Nia sadar adalah, ada sosok dibelakang ni Asih, sosok yang pernah Nia lihat, berdiri dibelakang ni Asih, menatapnya dengan kepala miring, seakan menikmati rasa sakit yang Nia rasakan, ni Asih lalu berteriak “AKU EROH KOEN NANG KENE!!” “saya tahu kamu ada disini”
Nia masih menekan rasa sakitnya, bercampur dengan rasa takutnya
“Jangan takut nak, yang kamu lihat, adalah ibu saya” untuk kali pertama, Nia mendengar suara ni Asih begitu lirih, begitu menenangkan, sosok itu hanya berdiri sebelum Nia akhirnya tidak sadarkan diri, ia terbangun, menatap ni Ika yang duduk disampingnya.
ni Ika lantas bangun, membelai rambut Nia, memintanya untuk istirahat, sebelum, ni Asih masuk dan mengatakannya, “malam ini, kunci anak ini lagi di kamar itu”
“Apa tidak bisa ni, bila dilakukan saat Nia sudah jauh lebih baik”
ni Asih tersenyum sinis, ia menatap Nia,
“Ia masih menganggap anaknya masih hidup, anak yg sudah digugurkan itu. anak yg memang tidak ada sejak kejadian itu, ia tidak akan melepaskan Nia, tidak sampai Nia sendiri yg mengatakan, si Anak bukanlah Nia itu sendiri, Nia harus bertemu ibu saya”
Hari mulai petang, mobil yg membawa Nia mulai memasuki pagar, Nia melihat semua anak berkumpul menungguinya, namun, Nia tidak melihat kehadiran Silvi, lantas, Nia duduk di kursi roda, ni Ika mendorongnya, menuju, kamar itu.
Sekarang, Nia tahu, bagaimana ni Ika menyembunyikan tangga, rupannya, begitulah cara pamong menyembunyikan segalanya, ni Eva dan ni Elin membantu Nia, menuntunnya perlahan-lahan, hingga Nia bisa mencium lagi, bau apak yg pernah ia hirup di dalam kamar ini.
Ni Ika mendudukkan Nia di sebuah kursi lusuh yang pernah Nia lihat sebelumnya, Nia hanya duduk sembari mengawasi ni Ika yg membersihkan apa yg bisa ia bersihkan.
“dulu, rumah ini adalah rumah tempat wanita-wanita mengaborsi janin yang ia kandung” ucap ni Ika, ia beberapa kali melirik Nia, memastikan gadis itu tetap nyaman ditempat duduknya.
“Setiap hari, berkali-kali, jeritan ibu-ibu yang tidak siap mengurus anak terdengar di kamar bangsal-bangsal” ni Ika menatap nanar jendela, “dan mungkin, pemilik rumah ini adalah sosok paling berdosa dibalik semua peristiwa kelam itu”
“namun, tidak ada yg pernah berpikir bahwa ia menyimpan penderitaan itu sendirian, berkabung seorang diri, sampai, suatu malam, ia bermimpi, mimpi, bahwa ia tengah mengandung seorang anak” ni Ika menatap Nia, “namun, yg sebenarnya terjadi, ia tidak pernah mengandung”
“Setiap kali ia diingatkan, bahwa ia tidak mengandung janin didalam perutnya, ia menolak, bersikeras bahwa ia mengandung” “ia akan marah dan meronta mengatakan bahwa kami membohonginya dan mencuri bayi miliknya, lantas, ia menjadi gila” ni Ika berbisik pelan.
“Untuk dosa dari banyak janin yang telah berhasil ia bantu gugurkan, justru, ia menanggung, kesedihan teramat dalam yg membuat isi kepalanya rusak berkeping-keping” ni Ika masih menatap Nia, “ia memanggil bayi kecilnya, si Anak”
“Sianak” “sianak” “sianak” itulah yang ia katakan
“Setiap hari, ia melukai dirinya, mengurung diri dikamar sendirian, mencakari tubuhnya, menjambak rambutnya, terus dan terus, menutup diri hingga,” ni Ika melihat keatas, langit-langit “mengakhiri dirinya di tali gantung, di kamar ini”
“Lalu, siapa ni Asih, ia bilang, dia adalah ibunya?”
ni Ika tersenyum, “ia, dia adalah ibunya, ibu kami juga”
Nia tampak bingung, sebelum ni Ika mengatakannya, “kami semua anak angkat, dan ia tidak pernah bisa memiliki bayi, karena ia”
“mandul” sahut Nia, ni Ika mengangguk
“Bila Nia bertanya, alasan kenapa disetiap pintu terdapat lonceng adalah, ia sangat suka menimang anak yang tidak pernah ada dengan suara lonceng itu, ia menimang anak, yang bahkan tidak pernah aku lihat ada” “ia mati dengan membawa kegilaan bahwa ia memiliki sianak”
“Lewati malam ini, katakan padanya, bahwa kau bukan sianak, dan setelah itu, aku akan mengatakan kepadamu, ada sebuah keluarga yang siap menerimamu Nia, selesaikan semuanya malam ini” ucap ni Ika, ia melangkah ke pintu, menutupnya, setelah ni Eva dan ni Elin berpamitan.
Nia hanya duduk sendirian, sementara malam semakin larut, sayup angin masuk, Nia merasakannya, kehadirannya, ia berdiri dibelakang Nia, menyentuh rambutnya, membelainya dengan lembut, membisiki Nia dengan satu kalimat yg menusuk “anakku”
Terdengar riuh saat sesuatu merangkak keluar dari bawah ranjang tempat Nia melihat sosok janin yg pernah menghantuinya keluar, gelagat mengerikan itu seakan tercium manakala, sosok yg keluar adalah, Silvi
Nia terperanjat menatap Silvi, yg sedari tadi, rupannya bersembunyi disana
“Nia” kata Silvi, “Nia jangan bicara”
Silvi menatap Nia, kali ini ia bisa menangkap bibir Silvi, apa yg coba ia sampaikan, apa yg ia coba katakan, Nia bisa mendengarnya, sosok itu masih membelai rambut Nia, seakan Nia bukan anaknya, sementara Silvi, ia berdiri dan memperhatikan Nia, memintanya untuk tidak mengatakan sepatah katapun, seakan Silvi pernah mengalaminya,
“Diam Nia, diam saja”
Ia memperhatikan Nia dengan seksama, sebelum, ia mengalihkan pandanganya pada Silvi, sosok itu mendekati Silvi.
“Nia boleh pergi, Nia bukan sianak, pergi Nia”
Pintu tiba-tiba berderit terbuka, Nia melihat Silvi dan sosok itu, bersamaan itu Nia melangkah turun, ada dorongan dimana ia harus mengikuti ucapan teman sekamarnya yg bahkan tidak dipahami oleh banyak orang, namun Silvi ia, lebih tau, siapa dan kenapa ia harus menurutinya saat Nia turun, ia melihat ni Ika rupannya sudah menungguinya, “anak itu disana ya”
Nia mengangguk pasrah,
“Sial sekali nasib anak itu,” sahut ni Ika, “sejak pertama di rumah ini, anak itu tak pernah punya kawan selain teman sekamarnya, karena ia berteman dengan mereka”
“Mereka” ni Ika tersenyum lesuh, “ia selalu bercerita, ada bayi-bayi kecil yang selalu menemaninya bermain, membuatnya dikucilkan dan dijadikan sumber masalah, sampai ia masuk ke kamar itu dan mendapati penghuni kamar”
“Momok” kata Nia,
“butuh waktu berbulan-bulan dulu, untuk membuatnya bisa menjadi seperti sekarang, karena setiap kali ia mengingat kejadian itu, trauma yang membuatnya tidak bisa bicara lagi akan kembali, selama ini, aku yg menyembunyikan dia di kamar agar ia tidak menemuimu dulu,”
“Namun, ia pergi lagi dan bersikeras membantumu, Silvi anak yg baik Nia, sama seperti kamu” “setidaknya, biarkan Silvi bersamanya, ia tidak sendirian” ni Ika menuntun Nia, memperhatikan kamar itu, sebelum meninggalkan tempat itu.
“Pagi-pagi sekali, kamu harus langsung pergi darisini, tempat ini tidak bagus lagi untuk kamu tinggal, pun dengan keadaan Silvi setelah ini, maaf Nia, kamu nurut saja ya” bisik ni Ika, sebelum ia, menutup pintu.
Namun, setelah berjam-jam Nia mencoba menutup mata, ia terbayang wajah Silvi, gadis itu, tahu banyak tentang tempat ini, namun, ia menutupi semua, menyimpannya rapat-rapat, hingga, terdengar suara bising dari luar kamar, Nia mendekat ke jendela, menatap 2 pamong, mengangkat seseorang, memasukkanya dalam mobil, lantas kemudian pergi, Nia berjalan mundur, ia tahu, siapa yg ada disana.
“Silvi”
Pagi-pagi buta, Nia tidak tidur semalaman, ia melihat ni Ika, menatapnya biasa saja, seakan tidak mengatakan apapun, begitupun Nia, ia tidak membicarakan apapun yg ia lihat, lantas, kemudian ia mengatakannya, “kamu bisa pergi, sekarang”
Sebelum meninggalkan tempat itu, Nia terdiam menatap foto, memandanginya lama, lantas kemudian berjalan pergi, “nanti ada keluarga yang akan menerima kamu sama baiknya seperti kami menerima kamu, jaga diri baik-baik, satu lagi, Silvi baik-baik saja”
“bohong” batin Nia,
Namun Nia tidak mengatakannya, ia pergi seperti perintah, namun, bila memang gadis kecil itu baik-baik saja, maka setidaknya Nia ingin bertemu sekali saja, namun, hal itu, tidak akan terjadi, Nia pergi, meninggalkan tempat itu, mengunci dirinya sendiri dengan segala hal buruk
Rahasia apapun yang dimiliki rumah itu, Nia merasa seperti memang sengaja tidak di ungkap, namun satu yang ia pelajari, bila memang dulu, rumah itu adalah tempat untuk pijat aborsi, apakah, selamanya mereka yang gagal untuk lahir, terus dan terus akan membayangi sisi rumah ini?.
Entahlah, Nia pergi dan tidak akan menengok rumah itu lagi, tidak, bahkan hingga saat ini, terimakasih buat kontributor yang cerita tentang cerita ini, gara-gara cerita ini, saya jarang tidur, tapi apapun itu, saya pribadi mengucapkan banyak sekali terimakasih, untuk kontributor yang mengirim ceritanya di DM, lain kali saya baca ya kalau senggang, saya mau rehat. Btw, saya mau tanya, kemarin ada yang ngomong “LEMAH LAYAT” padahal, perasaan saya belum pernah bahas ini?? kok bisa tahu?!
kita adu, LEMAH LAYAT apakah bisa mengalahkan SEWU DINO, tunggu aja, kali ini, saya akan serius dalam menggarapnya
Sebuah fenomena tentang “LEMAH LAYAT” yang menjadi salah satu cerita wajib di tanah jawa, tunggu saja ya,
btw, saya pergi dulu ya, terimakasih, selamat malam.
Source